HUBUNGAN
USIA, JENIS KELAMIN, TINGKAT PENGETAHUAN, AKTIVITAS FISIK, KEJADIAN ACUTE
MOUNTAIN SICKNESS, PENDAKI GUNUNG
Gentani Mayang Sari, Dasti Anditiarina,
Dewi Utary, Ayu Anulus
Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar, Makasar, Indonesia
Email: gentanimayangsari@gmail.com, dasprodiefka@gmail.com,
sydneydewi01@gmail.com, anulusayu@gmail.com
Keywords: Age; Gender; Level of Knowledge; Physical Activity; Acute Mountain
Sickness (AMS). Kata Kunci: Usia; Jenis Kelamin; Tingkat
Pengetahuan; Aktivitas Fisik; Acute Mountain Sickness (AMS). |
ABSTRACT Acute Mountain Sickness (AMS)
is a disorder that is very common at altitudes (> 2500 meters). Pherice,
Nepal (altitude 4,343 m), 43% of climbers experience symptoms of Acute
Mountain Sickness (AMS). In Indonesia, there are still very few studies and
research that discuss AMS among mountain climbers. An increase in the number
of climbers occurred in the West Nusa Tenggara region, namely Mount Rinjani
with an altitude of 3,726 meters above sea level. This should be balanced
with knowledge about AMS, physical and mental readiness, tools and maximum
first aid measures to prevent the occurrence of Acute Mountain Sickness (AMS).
This study was conducted to determine the relationship between age, gender,
level of knowledge, and physical activity with the incidence of Acute
Mountain Sickness (AMS) among mountain climbers in Lombok. Descriptive study
with a cross-sectional research design. The sampling technique uses the
consecutive sampling method. This research was conducted at Arrow Praya
Basecamp, Central Lombok on December 20-21, 2022. The research sample
consisted of 96 respondents. The data obtained were analyzed with the
Chi-Square correlation test. The results of the analysis reported that the
relationship between age (p-value 0.186), gender (p-value 0.916), and level
of knowledge (p-value 0.476), to AMS was reported to be statistically
insignificant. Physical activity (p-value 0.022) was reported to be
statistically associated with AMS. Conclusion: There was no significant
relationship between age, sex, and level of knowledge with the incidence of
Acute Mountain Sickness (AMS) among mountain climbers in Lombok, but there
was found a significant relationship between physical activity and the
incidence of Acute Mountain Sickness (AMS) among mountain climbers in Lombok. ABSTRAK Acute Mountain
Sickness (AMS) adalah kelainan yang sangat umum muncul di ketinggian
(>2500 meter). Pherice, Nepal (ketinggian 4.343 m), 43% pendaki mengalami
gejala Acute Mountain Sickness (AMS). Di Indonesia, masih sangat sedikit
studi dan penelitian yang membahas AMS di kalangan pendaki gunung.
Peningkatan jumlah pendaki terjadi di wilayah Nusa Tenggara Barat yaitu
Gunung Rinjani dengan ketinggian 3.726 mdpl. Hal ini seharusnya diimbangi
dengan pengetahuan tentang AMS, kesiapan fisik, mental, alat dan tindakan P3K
yang maksimal untuk mencegah kejadian Acute Mountain Sickness (AMS).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan usia, jenis kelamin,
tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain
Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok. Penelitian deskriptif dengan
desain penelitian cross sectional (potong lintang). Teknik pengambilan sampel
menggunakan metode consequtive sampling. Penelitian ini dilakukan di Basecamp
Arrow Praya, Lombok Tengah pada tanggal 20-21 Desember 2022. Sampel
penelitian sebanyak 96 responden. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji
korelasi Chi-Square. Hasil analisis dilaporkan bahwa hubungan usia (p-value
0,186), jenis kelamin (p-value 0,916), dan tingkat pengetahuan (p-value
0,476) terhadap AMS secara statistik dilaporkan tidak signifikan. Aktivitas
fisik (p-value 0,022) dilaporkan secara statistik berhubungan dengan AMS.
Tidak didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin,
dan tingkat pengetahuan dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada
pendaki gunung di Lombok, tetapi didapatkan adanya hubungan yang signifikan
antara aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada
pendaki gunung di Lombok. |
Info Artikel |
Artikel
masuk 02-04-23, Direvisi 17-04-23, Diterima 22-04-23 |
PENDAHULUAN
Peningkatan
popularitas olahraga ekstrim (mendaki gunung tinggi, ski dan snowboarding)
dan kemudahan serta ketersediaan perjalanan saat ini, sehingga setiap tahun,
ada jutaan orang dapat terpapar bahaya High-Altitude Illness (HAI). Pherice,
Nepal (ketinggian 4.343 m), 43% pendaki mengalami gejala Acute Mountain Sickness (AMS). Studi yang dilakukan
pada tempat wisata di resort ski Colorado, kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) 22% pada ketinggian 1.850
m sampai 2.750 m, sementara penelitian lain menunjukkan 42% memiliki gejala
pada ketinggian 3000 m (Elvira,
2017). Lebih dari 300.000
pengunjung setiap tahun mendaki di Gunung Fuji, dan telah dilaporkan beberapa
juta orang mengalami Acute Mountain
Sickness (AMS)
di setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan sedikitnya informasi yang tersedia
mengenai Acute Mountain
Sickness (AMS)
terkait pendakian di Gunung Fuji (Horiuchi et al., 2016).
High-Altitude Illness
(HAI)
merupakan sekumpulan gejala pada organ paru dan otak yang terjadi pada orang
yang baru pertama kali mendaki ke ketinggian. HAI terdiri dari Acute Mountain
Sickness (AMS), High-Altitude Cerebral Edema
(HACE), dan High-Altitude Pulmonary Edema
(HAPE) (Elvira,
2017). Acute Mountain Sickness (AMS) adalah kelainan yang sangat umum muncul di ketinggian (>2500 meter).
Pada ketinggian lebih dari 3.000 meter, 75% orang akan mengalami gejala ringan AMS. Terjadinya AMS tergantung pada
elevasi, laju pendakian, dan kerentanan individu. Banyak orang mengalami AMS
ringan selama proses aklimatisasi (penyesuaian fisiologis atau adaptasi
terhadap lingkungan baru). Gejala biasanya mulai 12 sampai 24 jam setelah tiba
di ketinggian dan mulai penurunan keparahan sekitar hari ketiga. Adapun klasifikasi dari AMS yaitu ringan, sedang, dan berat (Ariyanto
et al., 2017). Sepanjang tahun 2019, 11 orang dinyatakan
meninggal di Everest yang
sebagian dikarenakan AMS (Kristo, 2019).
Data publikasi dari
Military Medical Research oleh Murdoch
(2019) menyebutkan angka prevalensi kejadian
AMS yang cukup tinggi, yaitu sebesar 88.6% pada para pendaki di Nepal (Permatasari
& Sidarta, 2021). Di Indonesia peningkatan
minat para pendaki untuk mendaki gunung tidak sebanding dengan informasi
mengenai AMS atau masih sedikit studi yang membahas AMS di kalangan pendaki
yang menyebabkan 8,3 % responden yang berpengetahuan kurang memiliki angka
kejadian AMS sebesar 50% (Sakina,
2015). Data dari BASARNAS pada
tahun 2015 terjadi kecelakaan di gunung sebanyak 12 kasus, tahun 2016 dan 2017
terjadi 17 kasus, dan pada tahun 2018 terjadi 23 kasus dan 6 diantaranya
meninggal dunia (Outdoorgear,
2019). Pada tahun 2018 terjadi gempa di Lombok,
dan BASARNAS harus mengevakuasi 548 pendaki, dan 2 diantaranya meninggal dunia,
sementara tahun 2019 terdapat 3 pendaki yang meninggal saat dalam perjalanan menuju
puncak Gunung Tampomas di Jawa Barat, korban tersebut berusia dibawah 17 tahun (Puspita,
2019). Terjadinya trouble saat
pendakian biasanya karena mengalami AMS, terlalu cepat ingin mencapai
puncak membuat para pendaki lupa melakukan proses aklimatisasi, kadar oksigen
yang menurun menyebabkan hipoksia, udara yang lebih dingin dan berakhir
hipotermi, serta banyaknya pengeluaran keringat hingga menyebabkan dehidrasi,
bahkan terjadi peningkatan kematian pada pendaki yang melakukan pendakian dimusim
panas (Gatterer et
al., 2019).
Peningkatan jumlah
pendaki terjadi di wilayah Nusa Tenggara Barat yaitu Gunung Rinjani dengan
ketinggian 3.726 mdpl dengan jumlah pengunjung 91.412
orang pada tahun 2016 dan 30% diantaranya berasal dari mancanegara (Outdoorgear,
2019; Wicaksono, 2019). Semakin tinggi gunung yang
didaki, maka semakin besar kesempatan yang bisa diperoleh untuk lebih tinggi
dari awan, hingga hal ini menjadi penyemangat dalam melakukan pendakian, baik untuk
melatih kebugaran tubuh, menguji kekuatan fisik, atau bahkan untuk mencari
tempat untuk mengambil gambar dan mempublikasikannya ke sosial media. Banyaknya
hal yang menjadi alasan melakukan pendakian, seharusnya diimbangi dengan
pengetahuan tentang AMS, kesiapan fisik, mental, alat dan tindakan P3K yang
maksimal, karena saat melakukan kegiatan di alam terbuka, tidak ada yang
mengetahui bagaimana alam akan memperlakukan, penting untuk selalu melakukan
aklimatisasi yang sempurna disetiap ketinggian agar tidak ada gejala AMS, ataupun
AMS ringan tidak menuju ke AMS berat karena semakin tinggi gunung maka suhunya
akan semakin dingin (Moyen et
al., 2020).
Antusiasme tidak
hanya terjadi pada pendaki remaja, melainkan di usia dewasa awal juga banyak
yang melakukan pendakian dan jumlah pendakian semakin meningkat terlebih pada
waktu perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, hari Sumpah Pemuda, atau
hanya sekedar mengisi akhir pekan saja. Kasus AMS tidak dipengaruhi oleh usia
yang semakin tua, namun dapat diperparah karena adanya riwayat penyakit
diketinggian sebelumnya (Small et
al., 2021).
AMS biasanya
ditandai dengan berbagai macam gejala antara lain seperti sakit kepala, pusing,
muntah, anoreksia, kelelahan, dan insomnia setelah pendakian mencapai dataran tinggi.
Beberapa studi mengatakan bahwa gejala-gejala tersebut dapat terjadi secara
langsung atau terjadi setelah beberapa hari atau beberapa minggu setelah
kejadian berlangsung. Biasanya perubahan ini terjadi akibat penurunan tekanan yang
sangat drastis maupun secara bertahap. Selain tingkat pengetahuan dan perubahan
lingkungan yang menjadi penyebab munculnya AMS, kondisi tubuh manusia itu
sendiri, yaitu tingkat aktivitas fisik juga menjadi salah satu faktor yang
berkontribusi. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya
hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan derajat AMS yang dapat dialami
oleh para pendaki (Permatasari
& Sidarta, 2021).
Berdasarkan penelitian yang disampaikan oleh Richalet et al (2014), tidak ada hubungan yang
signifikan antara penyakit ketinggian dengan aktivitas fisik yang lebih tinggi
karena masih terdapat faktor penyebab lainnya. Akan tetapi, menurut
penelitian Permatasari &
Sidarta (2021) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada para pendaki gunung.
Pada penelitian Sakina (2015) menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan yang kurang menyebabkan angka kejadian AMS
semakin tinggi. Dari
hasil penelitian Wahyuni (2022) ditemukan bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS, karena responden
tetap mengalami AMS meskipun mengetahui apa penyebab AMS, penatalaksanaan
korban AMS, sehingga responden yang memiliki kebiasaan mendaki tidak hanya
membekali diri dengan pengetahuan tentang pendakian, tetapi harus memiliki
fisik yang kuat, bugar dan sudah terbiasa dengan latihan fisik yang melatih
kerja sistem kardiovaskular dan respirasi. Di indonesia, masih sedikit studi dan
penelitian yang membahas AMS di kalangan pendaki gunung, meskipun minat mereka
yang melakukan pendakian gunung semakin meningkat. Dari permasalahan tersebut,
peneliti tertarik untuk meneliti apakah terdapat hubungan usia, jenis kelamin,
tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain
Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok.
Tujuan Umum
Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan,
dan aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki
gunung di Lombok.
Manfaat Penelitian
Sebagai sumber
informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui angka kejadian Acute Mountain
Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok dan diharapkan adanya upaya
penyuluhan secara berkala serta tatalaksana bagi penderita Acute Mountain
Sickness (AMS).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
suatu penelitian deskriptif Cross-Sectional, populasi dalam
penelitian ini adalah semua
orang yang pernah melakukan pendakian gunung di Lombok dengan kurun
waktu ≤ 6 bulan sebelum kegiatan penelitian ini dilakukan. Pengambilan
sampel penelitian dilakukan dengan metode consequtive sampling, yang mana semua
subjek yang memenuhi kriteria secara berurutan dan dimasukkan ke dalam
penelitian, yaitu sebesar 96 sampel. Jenis
variabel pada penelitian ini
diklasifikasikan menjadi dua yaitu variable dependent yaitu Acute Mountain
Sickness (AMS) dan variabel Independent
yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik. Data
dianalisa menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji
statistik Chi-Square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20-21
Desember 2022. Penelitian ini dilakukan menggunakan Teknik pengambilan sampel
yaitu Non-Probability Sampling dimana sampel yang diambil dibagi menjadi 2
kriteria yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, kriteria yang tidak
sesuai dengan kriteria penelitian maka masuk ke dalam kriteria eksklusi. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consequtive sampling, dimana
semua pendaki gunung yang memenuhi kriteria secara berurutan dimasukkan ke
dalam penelitian, yaitu sebesar 96 sampel.
Subjek penelitian adalah orang yang pernah
melakukan pendakian gunung di Lombok dengan kurun waktu ≤ 6 bulan sebelum
kegiatan penelitian ini dilakukan. Sampel diambil melalui data primer. Setelah
dilakukan penelitian dan diperoleh data, selanjutnya data tersebut akan
dianalisis secara univariat dan bivariat untuk memperoleh gambaran distribusi
atau frekuensi dari masing-masing variabel dan menilai hubungan antar variabel
penelitian.
Tabel 1. Analisis Univariat Usia
Usia |
Frekuensi |
|
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
|
≥ 40 tahun |
20 |
20,8% |
< 40 tahun |
76 |
79,2% |
Total |
96 |
100,0% |
Sumber: Data Primer 2022
Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan usia didapatkan responden yang berusia ≥ 40 tahun yaitu 20 responden (20,8%), sedangkan responden yang berusia < 40 tahun adalah 76 responden (79,2%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki yang berusia < 40 tahun daripada yang berusia ≥ 40.
Tabel 2. Analisis Univariat Jenis Kelamin
Jenis Kelamin |
Frekuensi |
|
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
|
Laki-laki |
78 |
81,3% |
Perempuan |
18 |
18,8% |
Total |
96 |
100,0% |
Sumber: Data Primer 2022
Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan jenis kelamin didapatkan responden yang berjenis kelamin laki-laki adalah 78 responden (81,3%), sedangkan responden yang bejenis kelamin perempuan yaitu 18 responden (18,8%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki laki-laki daripada perempuan.
Tabel 3. Analisis Univariat Tingkat
Pengetahuan
Tingkat Pengetahuan |
Frekuensi |
|
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
|
Baik |
55 |
57,3% |
Cukup Kurang |
36 5 |
37,5% 5,2% |
Total |
96 |
100,0% |
Sumber: Data Primer 2022
Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan tingkat pengetahuan didapatkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik adalah 55 responden (57,3%), yang memiliki tingkat pengetahuan sedang yaitu 36 responden (37,5%), sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan kurang yaitu 5 responden (5,2%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki yang memiliki tingkat pengetahuan baik.
Tabel 4. Analisis Univariat Aktivitas Fisik
Aktivitas Fisik |
Frekuensi |
|
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
|
Ringan |
13 |
13,5% |
Sedang |
24 |
25,0% |
Berat |
59 |
61,5% |
Total |
96 |
100,0% |
Sumber: Data Primer 2022
Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan aktivitas fisik didapatkan responden yang memiliki aktivitas fisik ringan adalah 13 responden (13,5%), lalu yang memiliki aktivitas fisik sedang yaitu 24 responden (25,0%), sedangkan yang memiliki aktivitas fisik berat yaitu 59 responden (61,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki yang memiliki aktivitas fisik berat.
Acute Mountain Sickness (AMS) |
Frekuensi |
|
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
|
AMS |
31 |
32,3% |
Tidak AMS |
65 |
67,7% |
Total |
96 |
100,0% |
Tabel 5. Analisis Univariat AMS
Sumber: Data Primer 2022
Berdasarkan data yang diperoleh, responden yang AMS didapatkan sebanyak 31 responden (32,3%), sedangkan responden yang tidak AMS adalah sebanyak 65 responden (67,7%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa lebih banyak pendaki yang tidak AMS.
Tabel 6.
Analisis Univariat Derajat AMS
Derajat Acute
Mountain Sickness
(AMS) |
Frekuensi |
|
Jumlah (n) |
Persentase (%) |
|
Ringan |
16 |
16,7% |
Sedang |
15 |
15,6% |
Berat |
0 |
0 % |
Total |
31 |
32,3% |
Sumber: Data Primer
2022
Berdasarkan data yang diperoleh, responden yang mengalami AMS ringan sebanyak 16 responden (16,7%), responden yang mengalami AMS sedang sebanyak 15 responden (15,0%), dan responden yang mengalami AMS berat adalah 0 responden (0%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa lebih banyak pendaki yang mengalami AMS ringan.
Analisis Bivariat
Tabel 7. Data Analisis Bivariat Berdasarkan
Hubungan Usia dengan AMS
Usia |
|
Acute Mountain
Sickness (AMS) |
||||||
AMS |
Tidak AMS |
PR |
95% Cl |
P-Value |
||||
n |
% |
n |
% |
|
BB |
BA |
||
≥ 40 tahun < 40 tahun |
4 27 |
12,9% 87,1% |
16 49 |
24,6% 75,4% |
0,454 |
0,138 |
1,495 |
0,186 |
Total |
31 |
100,0% |
65 |
100,0% |
|
|
|
|
Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan usia didapatkan responden yang berusia ≥ 40 tahun mengalami AMS sebanyak 4 responden sedangkan 16 responden lainnya tidak mengalami AMS. Responden yang berusia < 40 tahun sebanyak 27 mengalami AMS sedangkan 49 responden lainnya tidak AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,186 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.
Tabel 8. Data Analisis Bivariat Berdasarkan
Hubungan Jenis Kelamin dengan AMS
Jenis Kelamin |
Acute Mountain
Sickness (AMS) |
|||||||
AMS |
Tidak AMS |
PR |
95% Cl |
P-Value |
||||
n |
% |
n |
% |
|
BB |
BA |
||
Laki-laki Perempuan |
25 6 |
80,6% 19,4% |
53 12 |
81,5% 18,5% |
0,943 |
0,317 |
2,804 |
0,916 |
Total |
31 |
100,0% |
65 |
100,0% |
|
|
|
|
Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan jenis kelamin didapatkan responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25 mengalami AMS sedangkan 53 responden lainnya tidak AMS. Responden yang berjenis kelamin perempuan mengalami AMS sebanyak 6 responden sedangkan 12 responden lainnya tidak mengalami AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,916 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.
Tabel 9. Data Analisis Bivariat Berdasarkan Hubungan Tingkat
Pengetahuan dengan AMS
Tingkat pengetahun |
Acute Mountain Sickness (AMS) |
||||
AMS |
Tidak AMS |
P-Value |
|||
n |
% |
n |
% |
||
Baik Cukup Kurang |
15 14 2 |
48,4% 45,2% 6,5% |
40 22 3 |
61,5% 33,8% 4,6% |
0,476 |
Total |
31 |
100,0% |
65 |
100,0% |
|
Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan tingkat pengetahuan didapatkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik, sebanyak 15 responden mengalami AMS sedangkan 40 responden lainnya tidak mengalami AMS. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan cukup, mengalami AMS sebanyak 14 responden sedangkan 22 responden lainnya tidak AMS. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang, sebanyak 2 responden mengalami AMS sedangkan 3 responden tidak AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,476 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.
Tabel 10. Data Analisis Bivariat
Berdasarkan Hubungan Aktivitas Fisik dengan AMS
Aktivitas fisik |
Acute Mountain Sickness (AMS) |
||||
AMS |
Tidak AMS |
P-Value |
|||
n |
% |
n |
% |
||
Ringan Sedang Berat |
7 11 13 |
22,6% 35,5% 41,9% |
6 13 46 |
9,2% 20,0% 70,8% |
0,022 |
Total |
31 |
100,0% |
65 |
100,0% |
|
Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan aktivitas fisik didapatkan responden yang memiliki aktivitas fisik ringan, sebanyak 7 responden mengalami AMS sedangkan 6 responden lainnya tidak AMS. Responden yang memiliki aktivitas fisik sedang, mengalami AMS sebanyak 11 responden sedangkan 13 responden lainnya tidak AMS. Responden yang memiliki aktivitas fisik berat, sebanyak 13 responden mengalami AMS sedangkan 46 responden tidak AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,022 (p-value <0,05) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, dan aktivitas
fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung
di Lombok. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif,
dengan desain penelitian cross sectional (potong
lintang). Dalam penelitian ini teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan metode consequtive sampling.
Jumlah responden berdasarkan karakteristik
pekerjaan terdiri dari 6 responden siswa/siswi, 47 responden
mahasiswa/mahasiswi, 31 responden swasta, dan 12 responden serabutan. Jumlah
responden berdasarkan karakteristik ketinggian gunung yang didaki
terdiri dari 57 responden mendaki dengan ketinggian 2500-3500 mdpl, dan 39
responden mendaki dengan ketinggian 3500-4500 mdpl.
Hasil analisis univariat usia pada 96
responden, terdapat 20 responden yang berusia ≥ 40 tahun, sedangkan yang berusia
< 40 tahun sebanyak 76
responden. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa
lebih banyak responden yang berusia <40 tahun. Penelitian yang dilakukan
oleh Permatasari & Sidarta (2021) menunjukkan
bahwa dari 86 responden lebih banyak yang berusia 19-36 tahun daripada yang
berusia 40-65 tahun.
Usia adalah lamanya seseorang
hidup. Usia berkaitan dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga
mempengaruhi status kesehatan seseorang (Cholid, 2018). Usia sendiri bukan
penyakit dan modifikasi fisiologis terkait penuaan tubuh manusia tidak dapat
dianggap sebagai gangguan fungsional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir,
diyakini bahwa dengan bertambahnya usia, kapasitas adaptif mempertahankan
homeostasis terhadap perubahan lingkungan, seperti hipoksia, melalui adaptasi
ventilasi dan kardiovaskular mungkin terganggu. Penuaan menyebabkan perubahan
fisiologis dan fungsional, seperti penurunan curah jantung dan kapasitas vital
paru (misalnya penurunan VO2 max). Anak-anak dan remaja memiliki tingkat kerentanan yang kurang terhadap AMS. Orang berusia > 40-60 tahun cenderung jarang
terjadi AMS dari orang dewasa yang lebih muda (Luks et
al., 2017).
Hasil analisis univariat dari jenis kelamin pada 96 responden terdapat 78 responden berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan sebanyak 18 responden. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang berjenis kelamin laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Sakina (2015) menunjukkan bahwa sebanyak 53 reponden adalah pria, sedangkan wanita sebanyak 43 responden, selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2022) menunjukkan bahwa dari 150 responden lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan.
Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan biologis dan fisiologis yang dapat membedakan laki-laki dan perempuan (Ariadi, 2015). AMS lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan Hypoxic Ventilator Response (HVR) oleh karena system hormonal wanita. Sistem hormonal wanita, yaitu esterogen, juga berhubungan dengan respon tubuh lain terhadap kondisi hipoksia. Esterogen diketahui menurunkan threshold atau batas ambang pelepasan ADH, sehingga memicu terjadi retensi cairan. Retensi cairan menyebabkan terjadi gangguan HVR hingga menyebabkan seseorang mengalami AMS (Venturino, 2015).
Hasil analisis univariat dari tingkat pengetahuan pada 96 responden memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, dari 96 responden terdapat 55 responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 36 responden memiliki tingkat pengetahuan cukup, dan 5 responden memiliki tingkat pengetahuan kurang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa dari 96 responden lebih banyak memiliki tingkat pengetahuan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2022) dari jumlah total 150 responden lebih banyak memiliki tingkat pengetahuan baik, selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Sakina (2015) menunjukkan bahwa dari 96 responden lebih banyak memiliki tingkat pengetahuan baik.
Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki (Notoadmojo, 2014). Pendaki dengan pengetahuan yang kurang menyebabkan angka kejadian AMS semakin tinggi. Dan bahkan jika pendaki tersebut mengalami AMS dan tidak tahu cara pencegahannya maka akan berdampak kepada gejala parah yang lain seperti terjadinya penurunan gangguan mental dan koordinasi pergerakan yang disebabkan edema serebral diikuti oleh peningkatan tekanan intra kranial sehingga dapat menyebabkan ataxia, stupor dan kelemahan saraf kranial III dan IV. Sehingga apabila dibiarkan atau tidak dapat dicegah ataupun tidak tahu cara penanganannya maka akan mengalami kematian (Sakina, 2015).
Hasil analisis univariat aktivitas fisik pada
96 responden yaitu 13 responden memiliki aktivitas fisik ringan, 24 responden
memiliki aktivitas fisik sedang, dan 59 responden memiliki aktivitas fisik
berat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa lebih
banyak responden yang memiliki aktivitas fisik berat. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Permatasari & Sidarta
(2021) yang menunjukkan bahwa dari 86 responden lebih banyak yang memiliki
aktivitas fisik kategori sedang ke tinggi.
Aktivitas fisik adalah seluruh pergerakan tubuh manusia mulai dari
olahraga yang kompetitif sampai dengan latihan fisik sebagai hobi atau
aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Selain itu, aktivitas fisik merupakan
faktor penting dari pengeluaran energi yang bermanfaat dalam menyeimbangkan
energi dan kontrol berat badan bagi seseorang (World Health Organization, 2010). Keadaan fisik seseorang akan
menentukan tingkat keberhasilan seseorang dalam mendaki gunung. Para pendaki
gunung harus memiliki performa fisik yang baik untuk melakukan suatu pendakian
tanpa cepat mengalami kelelahan. Selain itu, terdapat adaptasi dari organ-organ
tubuh terhadap perubahan tekanan udara karena perubahan ketinggian dari
permukaan laut. Oleh karena itu, seorang pendaki memang dituntut untuk memiliki
tingkat aktivitas fisik yang baik agar dapat melakukan pendakian (Permatasari & Sidarta, 2021).
Hasil analisis univariat yang mengalami AMS dan
tidak mengalami AMS pada 96 responden yaitu sebanyak 31 responden mengalami
AMS, dan 65 responden tidak mengalami AMS. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
peneliti hasil menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang tidak mengalami
AMS. Penelitian Wahyuni
(2022) menunjukkan hasil bahwa dari 150 responden yang mengalami AMS sebanyak
111 responden, sedangkan yang tidak mengalami AMS sebanyak 39 responden.
Sedangkan penelitian Sakina (2015) menunjukkan bahwa sebanyak 33 responden mengalami AMS, dan
sebanyak 63 responden tidak mengalami AMS.
Hasil analisis univariat berdasarkan derajat AMS pada 96 responden yaitu
16 responden mengalami AMS ringan, 15 responden mengalami AMS sedang, dan 0
responden yang mengalami AMS berat. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang
mengalami AMS ringan. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yang et al (2020) yang menyatakan bahwa
kejadian AMS pada pendaki gunung Kinabalu, mayoritas mengalami AMS ringan, dan
AMS sedang menduduki posisi kedua. AMS berat tidak ditemukan pada penelitian
tersebut. Selain itu, penelitian yang dilakukan Permatasari & Sidarta
(2021) juga menunjukkan bahwa dari 86 responden lebih banyak yang mengalami
AMS ringan.
AMS adalah kelainan neurologis
yang biasanya menyerang pendaki gunung yang berada di ketinggian (>2.500
meter) dalam waktu yang singkat (Yi et al.,
2020). Hal
tersebut timbul akibat pendakian cepat tanpa adanya adaptasi tubuh terhadap
tekanan yang berbeda gunung. Diketahui bahwa hipoksia merupakan penyebab utama
dari AMS. Tingkat keparahan penyakit tersebut sangat berkaitan dengan kecepatan
pendakian dan tinggi maksimal yang dicapai. Biasanya individu dengan penyakit
penyerta (seperti diare dan infeksi saluran napas atas) memiliki potensi lebih
besar mengalami AMS. Sakit kepala masih menjadi ciri khas pada AMS yang
meliputi sakit kepala berdenyut, bilateral, dan pada bagian frontal. Hal ini
diperburuk pada pagi hari, dalam posisi telentang, dan juga karena olahraga
berat. Terdapat berbagai cara untuk mengetahui ada tidaknya kejadian AMS pada
seorang pendaki, antara lain melalui pemeriksaan fisik langsung dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis ada tidaknya AMS pada seseorang. Namun,
dapat juga dilakukan penilaian yang bersifat skrining dengan menggunakan
kuesioner yang sudah divalidasi (Permatasari & Sidarta, 2021).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat hubungan usia dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value 0,186 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Dari penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Yang et al., (2020) terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian AMS dengan nilai p-value 0,002, sehingga penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gianfredi et al., (2020) bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan kejadian AMS, hal ini dikarenakan usia tua bukan merupakan kontraindikasi untuk bepergian ke tempat yang tinggi. Namun demikian, orang yang lebih tua yang berencana untuk pergi ke ketinggian, serta pelancong yang lebih muda, disarankan untuk meminta saran pra-perjalanan dari penyedia yang memiliki pengetahuan tentang dampak ketinggian dan pencegahan AMS, sehingga dapat mencegah kejadian AMS.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat hubungan jenis kelamin dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value 0,916 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hou et al., (2019) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan risiko AMS dengan nilai p-value 0,000. Tetapi hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Horiuchi et al., (2021) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan gejala AMS.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value 0,476 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sakina (2015) yang menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan yang kurang menyebabkan angka kejadian AMS semakin tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2022) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada mahasiswa pecinta alam di Kota Makassar, dengan nilai p-value 0,517 (p-value >0,05). Menurut Wahyuni (2022) tidak terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS dikarenakan pengetahuan saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya AMS, tetapi harus mempersiapkan fisik yang sehat, bugar, kuat, dan membekali dengan latihan fisik yang rutin sebelum melakukan pendakian, agar sistem kardiovaskular dan sistem respirasi sudah terlatih. Selain fisik juga mental yang kuat harus dipersiapkan, karena tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di alam.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat
hubungan aktivitas fisik dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value
0,022 (p-value< 0,05) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan
antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Richalet
et al., (2014), tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit
ketinggian dengan aktivitas fisik yang lebih tinggi karena tingkat aktivitas
fisik tidak hanya menjadi faktor penentu tunggal dalam hubungannya dengan
gejala AMS. Namun, dikatakan bahwa terdapat faktor lain yang juga memberikan
pengaruh terhadap timbulnya gejala AMS, seperti migrain, penggunaan
acetazolamide, dan lokasi geografis. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari & Sidarta
(2021) yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat
aktivitas fisik dengan AMS pada pendaki gunung, hasil penelitian dengan nilai p-value
0,034 (p-value <0,05) maka
secara statistik terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS.
Menurut Permatasari & Sidarta
(2021) terdapat hubungan aktivitas fisik dengan kejadian AMS dikarenakan kegiatan
mendaki gunung memang merupakan jenis aktivitas fisik yang termasuk dalam
kategori berat. Para pendaki gunung harus memiliki performa fisik yang baik
untuk melakukan suatu pendakian tanpa cepat mengalami kelelahan. Selain itu,
terdapat adaptasi dari organ-organ tubuh terhadap perubahan tekanan udara
karena perubahan ketinggian dari permukaan laut. Oleh karena itu, seorang
pendaki memang dituntut untuk memiliki tingkat aktivitas fisik yang baik agar
dapat melakukan pendakian.
KESIMPULAN
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
usia dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan nilai p-value
0,186 (p-value >0,05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan nilai p-value
0,916 (p-value >0,05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan
nilai p-value 0,476 (p-value >0,05). Terdapat hubungan yang signifikan
antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan
nilai p-value 0,022 (p-value<0,05).
BIBLIOGRAFI
Ariyanto, Y., Pradibta, H., & Permatasari, C.
(2017). Diagnosa Ams : Sistem Pakar Untuk Pendaki Gunung. Jurnal
SimanteC, 6(2), 47–54.
Elvira,
D. (2017). High-Altitude Illness. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2),
582–589. https://doi.org/10.25077/jka.v4i2.304
Gatterer
H, Niedermeier M, Pocecco E, Fruhauf A, Faulhaber M, Menz V, Butsher J, Posch
M, Ruedl G, B. M. (2019). Mortality in Different Mountain Sport Activities
Primarily Practiced in The Summer Season-A Narrative Review. 16 (20).
https://doi.org/10.3390/ijerph16203920
Gianfredi,
V., Albano, L., Basnyat, B., & Ferrara, P. (2020). Does age have an impact
on acute mountain sickness? A systematic review. Journal of Travel Medicine,
27(6), 1–8. https://doi.org/10.1093/jtm/taz104
Horiuchi,
M., Watanabe, M., Mitsui, S., & Uno, T. (2021). Does change in barometric
pressure per given time at high altitude influence symptoms of acute mountain
sickness on Mount Fuji? A pilot study. Journal of Physiological Anthropology,
40(1), 1–5. https://doi.org/10.1186/s40101-021-00256-y
Hou,
Y., Wu, J., Tan, C., Chen, Y., Guo, R., & Luo, Y. (2019). Perbedaan
berdasarkan jenis kelamin dalam prevalensi penyakit gunung akut :
meta-analisis. 0.
Luks,
A. M., Swenson, E. R., & Bärtsch, P. (2017). Acute high-altitude sickness. European
Respiratory Review, 26(143), 1–14.
https://doi.org/10.1183/16000617.0096-2016
Moyen
N E, Somero G N, D. M. W. (2020). Mussel Acclimatization to High, Variable
Temperatures is Lost Slowly Upon Tranfer to Benign Conditions. The Journal
of Experimental Biology. https://doi.org/10.1242/jeb.222893
Murdoch,
D. (2019). Altitude Illness Among Tourists Flying to 3740 Meters Elevation in
The Nepal Himalayas. Journal Travel Med, 2 (4), 255–256.
https://doi.org/10.1111/j.1708-8305.1995.tb00671.x.
Outdoorgear,
A. (2019). Antusiasme Pendakian Gunung Indonesia.
Permatasari,
T., & Sidarta, N. (2021). Hubungan tingkat aktivitas fisik dengan acute
mountain sickness pada pendaki gunung. Jurnal Biomedika Dan Kesehatan, 4(3),
106–112. https://doi.org/10.18051/jbiomedkes.2021.v4.106-112
Puspita,
S. (2019). Kecelakaan Pendakian Gunung Indonesia Meningkat 4 Tahun Terakhir.
Richalet
JP, Larmignat P, P. E. (2014). Physiological Risk Factor For Severe
High-Altitude Illness: A Propective Cohort Study.
https://doi.org/10.1164/rccm.201108-1396OC
Sakina,
A. (2015). Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung tentang Acute Mountain Sickness
(AMS) Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU). Universitas Sumatera
Utara (USU).
Small
E, Phillips C, Marvel J, L. G. (2021). Older Age as a Predictive Risk Factor
For Acute Mountain Sickness. The American Journal of Medicine, 135
(3).
Wahyuni,
S. (2022). Analisis Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Acute Mountain Sickness
(AMS) pada Mahasiswa Pecinta Alam. Jurnal Keperawatan Silampari, 5
(2), 789–795. https://doi.org/https://doi.org/10.31539/jks.v5i2.3011
Wicaksono,
N. H. (2019). Sepanjang Tahun 2018, Gunung Semeru di Daki 853 Ribu Orang.
World
Health Organization, t. (2010). Global
recommendations on physical activity for health. World Health Organization.
Yang,
Su Lan, Jenarun, Grazele, Liew, B. H. (2020). Incidence and Determinants of
Acute Mountain Sickness. 21(3), 265–272.
https://doi.org/10.1089/ham.2020.0026
Yi,
H., Wang, K., Gan, X., Li, L., Zhang, Q., Xiang, J., Yuan, X., Zhang, Y., &
Wang, Y. (2020). Prophylaxis of ibuprofen in acute mountain sickness. October,
1–4.
Copyright holder: Gentani
Mayang Sari, Dasti Anditiarina, Dewi Utary, Ayu Anulus (2023) |
First publication right: Jurnal Health Sains |
This article is licensed
under: |