HUBUNGAN USIA, JENIS KELAMIN, TINGKAT PENGETAHUAN, AKTIVITAS FISIK, KEJADIAN ACUTE MOUNTAIN SICKNESS, PENDAKI GUNUNG

 

Gentani Mayang Sari, Dasti Anditiarina, Dewi Utary, Ayu Anulus

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar, Makasar, Indonesia

Email: gentanimayangsari@gmail.com, dasprodiefka@gmail.com,

sydneydewi01@gmail.com, anulusayu@gmail.com

Keywords:

Age; Gender; Level of Knowledge; Physical Activity; Acute Mountain Sickness (AMS).

 

 

 

 

 

 

 

Kata Kunci: 

Usia; Jenis Kelamin; Tingkat Pengetahuan; Aktivitas Fisik; Acute Mountain Sickness (AMS).

ABSTRACT

Acute Mountain Sickness (AMS) is a disorder that is very common at altitudes (> 2500 meters). Pherice, Nepal (altitude 4,343 m), 43% of climbers experience symptoms of Acute Mountain Sickness (AMS). In Indonesia, there are still very few studies and research that discuss AMS among mountain climbers. An increase in the number of climbers occurred in the West Nusa Tenggara region, namely Mount Rinjani with an altitude of 3,726 meters above sea level. This should be balanced with knowledge about AMS, physical and mental readiness, tools and maximum first aid measures to prevent the occurrence of Acute Mountain Sickness (AMS). This study was conducted to determine the relationship between age, gender, level of knowledge, and physical activity with the incidence of Acute Mountain Sickness (AMS) among mountain climbers in Lombok. Descriptive study with a cross-sectional research design. The sampling technique uses the consecutive sampling method. This research was conducted at Arrow Praya Basecamp, Central Lombok on December 20-21, 2022. The research sample consisted of 96 respondents. The data obtained were analyzed with the Chi-Square correlation test. The results of the analysis reported that the relationship between age (p-value 0.186), gender (p-value 0.916), and level of knowledge (p-value 0.476), to AMS was reported to be statistically insignificant. Physical activity (p-value 0.022) was reported to be statistically associated with AMS. Conclusion: There was no significant relationship between age, sex, and level of knowledge with the incidence of Acute Mountain Sickness (AMS) among mountain climbers in Lombok, but there was found a significant relationship between physical activity and the incidence of Acute Mountain Sickness (AMS) among mountain climbers in Lombok.

 

ABSTRAK

Acute Mountain Sickness (AMS) adalah kelainan yang sangat umum muncul di ketinggian (>2500 meter). Pherice, Nepal (ketinggian 4.343 m), 43% pendaki mengalami gejala Acute Mountain Sickness (AMS). Di Indonesia, masih sangat sedikit studi dan penelitian yang membahas AMS di kalangan pendaki gunung. Peningkatan jumlah pendaki terjadi di wilayah Nusa Tenggara Barat yaitu Gunung Rinjani dengan ketinggian 3.726 mdpl. Hal ini seharusnya diimbangi dengan pengetahuan tentang AMS, kesiapan fisik, mental, alat dan tindakan P3K yang maksimal untuk mencegah kejadian Acute Mountain Sickness (AMS). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok. Penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang). Teknik pengambilan sampel menggunakan metode consequtive sampling. Penelitian ini dilakukan di Basecamp Arrow Praya, Lombok Tengah pada tanggal 20-21 Desember 2022. Sampel penelitian sebanyak 96 responden. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji korelasi Chi-Square. Hasil analisis dilaporkan bahwa hubungan usia (p-value 0,186), jenis kelamin (p-value 0,916), dan tingkat pengetahuan (p-value 0,476) terhadap AMS secara statistik dilaporkan tidak signifikan. Aktivitas fisik (p-value 0,022) dilaporkan secara statistik berhubungan dengan AMS. Tidak didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara usia, jenis kelamin, dan tingkat pengetahuan dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok, tetapi didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok.

Info Artikel

Artikel masuk 02-04-23, Direvisi 17-04-23, Diterima 22-04-23

 


PENDAHULUAN

Peningkatan popularitas olahraga ekstrim (mendaki gunung tinggi, ski dan snowboarding) dan kemudahan serta ketersediaan perjalanan saat ini, sehingga setiap tahun, ada jutaan orang dapat terpapar bahaya High-Altitude Illness (HAI). Pherice, Nepal (ketinggian 4.343 m), 43% pendaki mengalami gejala Acute Mountain Sickness (AMS). Studi yang dilakukan pada tempat wisata di resort ski Colorado, kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) 22% pada ketinggian 1.850 m sampai 2.750 m, sementara penelitian lain menunjukkan 42% memiliki gejala pada ketinggian 3000 m (Elvira, 2017). Lebih dari 300.000 pengunjung setiap tahun mendaki di Gunung Fuji, dan telah dilaporkan beberapa juta orang mengalami Acute Mountain Sickness (AMS) di setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan sedikitnya informasi yang tersedia mengenai Acute Mountain Sickness (AMS) terkait pendakian di Gunung Fuji (Horiuchi et al., 2016).

High-Altitude Illness (HAI) merupakan sekumpulan gejala pada organ paru dan otak yang terjadi pada orang yang baru pertama kali mendaki ke ketinggian. HAI terdiri dari Acute Mountain Sickness (AMS), High-Altitude Cerebral Edema (HACE), dan High-Altitude Pulmonary Edema (HAPE) (Elvira, 2017). Acute Mountain Sickness (AMS) adalah kelainan yang sangat umum muncul di ketinggian (>2500 meter). Pada ketinggian lebih dari 3.000 meter, 75% orang akan mengalami gejala ringan AMS. Terjadinya AMS tergantung pada elevasi, laju pendakian, dan kerentanan individu. Banyak orang mengalami AMS ringan selama proses aklimatisasi (penyesuaian fisiologis atau adaptasi terhadap lingkungan baru). Gejala biasanya mulai 12 sampai 24 jam setelah tiba di ketinggian dan mulai penurunan keparahan sekitar hari ketiga. Adapun klasifikasi dari AMS yaitu ringan, sedang, dan berat (Ariyanto et al., 2017). Sepanjang tahun 2019, 11 orang dinyatakan meninggal di Everest yang sebagian dikarenakan AMS (Kristo, 2019).

Data publikasi dari Military Medical Research oleh Murdoch (2019) menyebutkan angka prevalensi kejadian AMS yang cukup tinggi, yaitu sebesar 88.6% pada para pendaki di Nepal (Permatasari & Sidarta, 2021). Di Indonesia peningkatan minat para pendaki untuk mendaki gunung tidak sebanding dengan informasi mengenai AMS atau masih sedikit studi yang membahas AMS di kalangan pendaki yang menyebabkan 8,3 % responden yang berpengetahuan kurang memiliki angka kejadian AMS sebesar 50% (Sakina, 2015). Data dari BASARNAS pada tahun 2015 terjadi kecelakaan di gunung sebanyak 12 kasus, tahun 2016 dan 2017 terjadi 17 kasus, dan pada tahun 2018 terjadi 23 kasus dan 6 diantaranya meninggal dunia (Outdoorgear, 2019). Pada tahun 2018 terjadi gempa di Lombok, dan BASARNAS harus mengevakuasi 548 pendaki, dan 2 diantaranya meninggal dunia, sementara tahun 2019 terdapat 3 pendaki yang meninggal saat dalam perjalanan menuju puncak Gunung Tampomas di Jawa Barat, korban tersebut berusia dibawah 17 tahun (Puspita, 2019). Terjadinya trouble saat pendakian biasanya karena mengalami AMS, terlalu cepat ingin mencapai puncak membuat para pendaki lupa melakukan proses aklimatisasi, kadar oksigen yang menurun menyebabkan hipoksia, udara yang lebih dingin dan berakhir hipotermi, serta banyaknya pengeluaran keringat hingga menyebabkan dehidrasi, bahkan terjadi peningkatan kematian pada pendaki yang melakukan pendakian dimusim panas (Gatterer et al., 2019).

Peningkatan jumlah pendaki terjadi di wilayah Nusa Tenggara Barat yaitu Gunung Rinjani dengan ketinggian 3.726 mdpl dengan jumlah pengunjung 91.412
orang pada tahun 2016 dan 30% diantaranya berasal dari mancanegara
(Outdoorgear, 2019; Wicaksono, 2019). Semakin tinggi gunung yang didaki, maka semakin besar kesempatan yang bisa diperoleh untuk lebih tinggi dari awan, hingga hal ini menjadi penyemangat dalam melakukan pendakian, baik untuk melatih kebugaran tubuh, menguji kekuatan fisik, atau bahkan untuk mencari tempat untuk mengambil gambar dan mempublikasikannya ke sosial media. Banyaknya hal yang menjadi alasan melakukan pendakian, seharusnya diimbangi dengan pengetahuan tentang AMS, kesiapan fisik, mental, alat dan tindakan P3K yang maksimal, karena saat melakukan kegiatan di alam terbuka, tidak ada yang mengetahui bagaimana alam akan memperlakukan, penting untuk selalu melakukan aklimatisasi yang sempurna disetiap ketinggian agar tidak ada gejala AMS, ataupun AMS ringan tidak menuju ke AMS berat karena semakin tinggi gunung maka suhunya akan semakin dingin (Moyen et al., 2020).

Antusiasme tidak hanya terjadi pada pendaki remaja, melainkan di usia dewasa awal juga banyak yang melakukan pendakian dan jumlah pendakian semakin meningkat terlebih pada waktu perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, hari Sumpah Pemuda, atau hanya sekedar mengisi akhir pekan saja. Kasus AMS tidak dipengaruhi oleh usia yang semakin tua, namun dapat diperparah karena adanya riwayat penyakit diketinggian sebelumnya (Small et al., 2021).

AMS biasanya ditandai dengan berbagai macam gejala antara lain seperti sakit kepala, pusing, muntah, anoreksia, kelelahan, dan insomnia setelah pendakian mencapai dataran tinggi. Beberapa studi mengatakan bahwa gejala-gejala tersebut dapat terjadi secara langsung atau terjadi setelah beberapa hari atau beberapa minggu setelah kejadian berlangsung. Biasanya perubahan ini terjadi akibat penurunan tekanan yang sangat drastis maupun secara bertahap. Selain tingkat pengetahuan dan perubahan lingkungan yang menjadi penyebab munculnya AMS, kondisi tubuh manusia itu sendiri, yaitu tingkat aktivitas fisik juga menjadi salah satu faktor yang berkontribusi. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan derajat AMS yang dapat dialami oleh para pendaki (Permatasari & Sidarta, 2021).

Berdasarkan penelitian yang disampaikan oleh Richalet et al (2014), tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit ketinggian dengan aktivitas fisik yang lebih tinggi karena masih terdapat faktor penyebab lainnya. Akan tetapi, menurut penelitian Permatasari & Sidarta (2021) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada para pendaki gunung.

Pada penelitian Sakina (2015) menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan yang kurang menyebabkan angka kejadian AMS semakin tinggi. Dari hasil penelitian Wahyuni (2022) ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS, karena responden tetap mengalami AMS meskipun mengetahui apa penyebab AMS, penatalaksanaan korban AMS, sehingga responden yang memiliki kebiasaan mendaki tidak hanya membekali diri dengan pengetahuan tentang pendakian, tetapi harus memiliki fisik yang kuat, bugar dan sudah terbiasa dengan latihan fisik yang melatih kerja sistem kardiovaskular dan respirasi. Di indonesia, masih sedikit studi dan penelitian yang membahas AMS di kalangan pendaki gunung, meskipun minat mereka yang melakukan pendakian gunung semakin meningkat. Dari permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti apakah terdapat hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok.

 

Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok.

 

Manfaat Penelitian

Sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui angka kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok dan diharapkan adanya upaya penyuluhan secara berkala serta tatalaksana bagi penderita Acute Mountain Sickness (AMS).

  

METODE PENELITIAN

Penelitian   ini   merupakan   suatu penelitian deskriptif Cross-Sectional, populasi   dalam   penelitian   ini   adalah semua  orang yang pernah melakukan pendakian gunung di Lombok dengan kurun waktu ≤ 6 bulan sebelum kegiatan penelitian ini dilakukan. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode consequtive sampling, yang mana semua subjek yang memenuhi kriteria secara berurutan dan dimasukkan ke dalam penelitian, yaitu sebesar 96 sampel. Jenis  variabel pada    penelitian    ini    diklasifikasikan menjadi  dua  yaitu variable dependent yaitu Acute Mountain Sickness (AMS) dan  variabel Independent yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik. Data dianalisa menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji statistik Chi-Square.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20-21 Desember 2022. Penelitian ini dilakukan menggunakan Teknik pengambilan sampel yaitu Non-Probability Sampling dimana sampel yang diambil dibagi menjadi 2 kriteria yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, kriteria yang tidak sesuai dengan kriteria penelitian maka masuk ke dalam kriteria eksklusi. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consequtive sampling, dimana semua pendaki gunung yang memenuhi kriteria secara berurutan dimasukkan ke dalam penelitian, yaitu sebesar 96 sampel.

Subjek penelitian adalah orang yang pernah melakukan pendakian gunung di Lombok dengan kurun waktu ≤ 6 bulan sebelum kegiatan penelitian ini dilakukan. Sampel diambil melalui data primer. Setelah dilakukan penelitian dan diperoleh data, selanjutnya data tersebut akan dianalisis secara univariat dan bivariat untuk memperoleh gambaran distribusi atau frekuensi dari masing-masing variabel dan menilai hubungan antar variabel penelitian.

 

Analisis Univariat

Tabel 1. Analisis Univariat Usia

 

Usia

Frekuensi

Jumlah (n)

Persentase (%)

≥ 40 tahun

20

20,8%

< 40 tahun

76

79,2%

Total

96

100,0%

             Sumber: Data Primer 2022

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan usia didapatkan responden yang berusia ≥ 40 tahun yaitu 20 responden (20,8%), sedangkan responden yang berusia < 40 tahun adalah 76 responden (79,2%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki yang berusia < 40 tahun daripada yang berusia ≥ 40.

 

Tabel 2. Analisis Univariat Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Frekuensi

Jumlah (n)

Persentase (%)

Laki-laki

78

81,3%

Perempuan

18

18,8%

Total

96

100,0%

Sumber: Data Primer 2022

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan jenis kelamin didapatkan responden yang berjenis kelamin laki-laki adalah 78 responden (81,3%), sedangkan responden yang bejenis kelamin perempuan yaitu 18 responden (18,8%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki laki-laki daripada perempuan.

 

Tabel 3. Analisis Univariat Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan

Frekuensi

Jumlah (n)

Persentase (%)

Baik

55

57,3%

Cukup

Kurang

36

5

37,5%

5,2%

Total

96

100,0%

 

 

Sumber: Data Primer 2022

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan tingkat pengetahuan didapatkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik adalah 55 responden (57,3%), yang memiliki tingkat pengetahuan sedang yaitu 36 responden (37,5%), sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan kurang yaitu 5 responden (5,2%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki yang memiliki tingkat pengetahuan baik.

 

Tabel 4. Analisis Univariat Aktivitas Fisik

Aktivitas Fisik

Frekuensi

Jumlah (n)

Persentase (%)

Ringan

13

13,5%

Sedang

24

25,0%

Berat

59

61,5%

Total

96

100,0%

 Sumber: Data Primer 2022

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari 96 responden, berdasarkan aktivitas fisik didapatkan responden yang memiliki aktivitas fisik ringan adalah 13 responden (13,5%), lalu yang memiliki aktivitas fisik sedang yaitu 24 responden (25,0%), sedangkan yang memiliki aktivitas fisik berat yaitu 59 responden (61,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari hasil diatas lebih banyak pendaki yang memiliki aktivitas fisik berat.

 

Acute Mountain Sickness (AMS)

Frekuensi

Jumlah (n)

Persentase (%)

AMS

31

32,3%

Tidak AMS

65

67,7%

Total

96

100,0%

Tabel 5.  Analisis Univariat AMS

Sumber: Data Primer 2022

 

Berdasarkan data yang diperoleh, responden yang AMS didapatkan sebanyak 31 responden (32,3%), sedangkan responden yang tidak AMS adalah sebanyak 65 responden (67,7%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa lebih banyak pendaki yang tidak AMS.

 

Tabel 6.  Analisis Univariat Derajat AMS

Derajat Acute Mountain Sickness (AMS)

Frekuensi

Jumlah (n)

Persentase (%)

Ringan

16

16,7%

Sedang

15

15,6%

Berat

0

0 %

Total

31

32,3%

            Sumber: Data Primer 2022

 

Berdasarkan data yang diperoleh, responden yang mengalami AMS ringan sebanyak 16 responden (16,7%), responden yang mengalami AMS sedang sebanyak 15 responden (15,0%), dan responden yang mengalami AMS berat adalah 0 responden (0%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa lebih banyak pendaki yang mengalami AMS ringan.

 

Analisis Bivariat

Tabel 7. Data Analisis Bivariat Berdasarkan Hubungan Usia dengan AMS

 

Usia

 

Acute Mountain Sickness (AMS)

AMS

Tidak AMS

PR

95% Cl

P-Value

n

%

n

%

 

BB

BA

≥ 40 tahun

< 40 tahun

4

 

27

12,9%

 

87,1%

16

 

49

24,6%

 

75,4%

0,454

0,138

1,495

0,186

Total

31

100,0%

65

100,0%

 

 

 

 

 

Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan usia didapatkan responden yang berusia ≥ 40 tahun mengalami AMS sebanyak 4 responden sedangkan 16 responden lainnya tidak mengalami AMS. Responden yang berusia < 40 tahun sebanyak 27 mengalami AMS sedangkan 49 responden lainnya tidak AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,186 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.

 

Tabel 8. Data Analisis Bivariat Berdasarkan Hubungan Jenis Kelamin dengan AMS

 

Jenis Kelamin

Acute Mountain Sickness (AMS)

AMS

Tidak AMS

PR

95% Cl

P-Value

n

%

n

%

 

BB

BA

Laki-laki

Perempuan

25

6

80,6%

19,4%

53

12

81,5%

18,5%

0,943

0,317

2,804

0,916

Total

31

100,0%

65

100,0%

 

 

 

 

 

Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan jenis kelamin didapatkan responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25 mengalami AMS sedangkan 53 responden lainnya tidak AMS. Responden yang berjenis kelamin perempuan mengalami AMS sebanyak 6 responden sedangkan 12 responden lainnya tidak mengalami AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,916 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.

 

Tabel 9. Data Analisis Bivariat Berdasarkan Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan AMS

Tingkat pengetahun

 

Acute Mountain Sickness (AMS)

AMS

Tidak AMS

P-Value

n

%

n

%

Baik

Cukup

Kurang

15

14

2

48,4%

45,2%

6,5%

40

22

3

61,5%

33,8%

4,6%

0,476

Total

31

100,0%

65

100,0%

 

 

 

 

 

 

Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan tingkat pengetahuan didapatkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik, sebanyak 15 responden mengalami AMS sedangkan 40 responden lainnya tidak mengalami AMS. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan cukup, mengalami AMS sebanyak 14 responden sedangkan 22 responden lainnya tidak AMS. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang, sebanyak 2 responden mengalami AMS sedangkan 3 responden tidak AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,476 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.

 

Tabel 10. Data Analisis Bivariat Berdasarkan Hubungan Aktivitas Fisik dengan AMS

Aktivitas fisik

 

Acute Mountain Sickness (AMS)

AMS

Tidak AMS

P-Value

n

%

n

%

Ringan

Sedang

Berat

7

11

13

22,6%

35,5%

41,9%

6

13

46

9,2%

20,0%

70,8%

0,022

Total

31

100,0%

65

100,0%

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berdasarkan hasil analisis Bivariat pada 96 responden, berdasarkan aktivitas fisik didapatkan responden yang memiliki aktivitas fisik ringan, sebanyak 7 responden mengalami AMS sedangkan 6 responden lainnya tidak AMS. Responden yang memiliki aktivitas fisik sedang, mengalami AMS sebanyak 11 responden sedangkan 13 responden lainnya tidak AMS. Responden yang memiliki aktivitas fisik berat, sebanyak 13 responden mengalami AMS sedangkan 46 responden tidak AMS. Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan nilai p-value 0,022 (p-value <0,05) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok.

 

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, dan aktivitas fisik dengan kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada pendaki gunung di Lombok. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang). Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan metode consequtive sampling.

Jumlah responden berdasarkan karakteristik pekerjaan terdiri dari 6 responden siswa/siswi, 47 responden mahasiswa/mahasiswi, 31 responden swasta, dan 12 responden serabutan. Jumlah responden berdasarkan karakteristik ketinggian gunung yang didaki terdiri dari 57 responden mendaki dengan ketinggian 2500-3500 mdpl, dan 39 responden mendaki dengan ketinggian 3500-4500 mdpl.

Hasil analisis univariat usia pada 96 responden, terdapat 20 responden yang berusia 40 tahun, sedangkan yang berusia < 40 tahun sebanyak 76 responden. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang berusia <40 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari & Sidarta (2021) menunjukkan bahwa dari 86 responden lebih banyak yang berusia 19-36 tahun daripada yang berusia 40-65 tahun.

Usia adalah lamanya seseorang hidup. Usia berkaitan dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga mempengaruhi status kesehatan seseorang (Cholid, 2018). Usia sendiri bukan penyakit dan modifikasi fisiologis terkait penuaan tubuh manusia tidak dapat dianggap sebagai gangguan fungsional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, diyakini bahwa dengan bertambahnya usia, kapasitas adaptif mempertahankan homeostasis terhadap perubahan lingkungan, seperti hipoksia, melalui adaptasi ventilasi dan kardiovaskular mungkin terganggu. Penuaan menyebabkan perubahan fisiologis dan fungsional, seperti penurunan curah jantung dan kapasitas vital paru (misalnya penurunan VO2 max). Anak-anak dan remaja memiliki tingkat kerentanan yang kurang terhadap AMS. Orang berusia > 40-60 tahun cenderung jarang terjadi AMS dari orang dewasa yang lebih muda (Luks et al., 2017).

Hasil analisis univariat dari jenis kelamin pada 96 responden terdapat 78 responden berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan sebanyak 18 responden. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang berjenis kelamin laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Sakina (2015) menunjukkan bahwa sebanyak 53 reponden adalah pria, sedangkan wanita sebanyak 43 responden, selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2022) menunjukkan bahwa dari 150 responden lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan.

Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan biologis dan fisiologis yang dapat membedakan laki-laki dan perempuan (Ariadi, 2015). AMS lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan Hypoxic Ventilator Response (HVR) oleh karena system hormonal wanita. Sistem hormonal wanita, yaitu esterogen, juga berhubungan dengan respon tubuh lain terhadap kondisi hipoksia. Esterogen diketahui menurunkan threshold atau batas ambang pelepasan ADH, sehingga memicu terjadi retensi cairan. Retensi cairan menyebabkan terjadi gangguan HVR hingga menyebabkan seseorang mengalami AMS (Venturino, 2015).

Hasil analisis univariat dari tingkat pengetahuan pada 96 responden memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, dari 96 responden terdapat 55 responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 36 responden memiliki tingkat pengetahuan cukup, dan 5 responden memiliki tingkat pengetahuan kurang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa dari 96 responden lebih banyak memiliki tingkat pengetahuan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2022) dari jumlah total 150 responden lebih banyak memiliki tingkat pengetahuan baik, selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Sakina (2015) menunjukkan bahwa dari 96 responden lebih banyak memiliki tingkat pengetahuan baik.

Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tindakan yang dilakukan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki (Notoadmojo, 2014). Pendaki dengan pengetahuan yang kurang menyebabkan angka kejadian AMS semakin tinggi. Dan bahkan jika pendaki tersebut mengalami AMS dan tidak tahu cara pencegahannya maka akan berdampak kepada gejala parah yang lain seperti terjadinya penurunan gangguan mental dan koordinasi pergerakan yang disebabkan edema serebral diikuti oleh peningkatan tekanan intra kranial sehingga dapat menyebabkan ataxia, stupor dan kelemahan saraf kranial III dan IV. Sehingga apabila dibiarkan atau tidak dapat dicegah ataupun tidak tahu cara penanganannya maka akan mengalami kematian (Sakina, 2015).

Hasil analisis univariat aktivitas fisik pada 96 responden yaitu 13 responden memiliki aktivitas fisik ringan, 24 responden memiliki aktivitas fisik sedang, dan 59 responden memiliki aktivitas fisik berat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang memiliki aktivitas fisik berat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari & Sidarta (2021) yang menunjukkan bahwa dari 86 responden lebih banyak yang memiliki aktivitas fisik kategori sedang ke tinggi.

Aktivitas fisik adalah seluruh pergerakan tubuh manusia mulai dari olahraga yang kompetitif sampai dengan latihan fisik sebagai hobi atau aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Selain itu, aktivitas fisik merupakan faktor penting dari pengeluaran energi yang bermanfaat dalam menyeimbangkan energi dan kontrol berat badan bagi seseorang (World Health Organization, 2010). Keadaan fisik seseorang akan menentukan tingkat keberhasilan seseorang dalam mendaki gunung. Para pendaki gunung harus memiliki performa fisik yang baik untuk melakukan suatu pendakian tanpa cepat mengalami kelelahan. Selain itu, terdapat adaptasi dari organ-organ tubuh terhadap perubahan tekanan udara karena perubahan ketinggian dari permukaan laut. Oleh karena itu, seorang pendaki memang dituntut untuk memiliki tingkat aktivitas fisik yang baik agar dapat melakukan pendakian (Permatasari & Sidarta, 2021).

Hasil analisis univariat yang mengalami AMS dan tidak mengalami AMS pada 96 responden yaitu sebanyak 31 responden mengalami AMS, dan 65 responden tidak mengalami AMS. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti hasil menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang tidak mengalami AMS. Penelitian Wahyuni (2022) menunjukkan hasil bahwa dari 150 responden yang mengalami AMS sebanyak 111 responden, sedangkan yang tidak mengalami AMS sebanyak 39 responden. Sedangkan penelitian Sakina (2015) menunjukkan bahwa sebanyak 33 responden mengalami AMS, dan sebanyak 63 responden tidak mengalami AMS.

Hasil analisis univariat berdasarkan derajat AMS pada 96 responden yaitu 16 responden mengalami AMS ringan, 15 responden mengalami AMS sedang, dan 0 responden yang mengalami AMS berat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang mengalami AMS ringan. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yang et al (2020) yang menyatakan bahwa kejadian AMS pada pendaki gunung Kinabalu, mayoritas mengalami AMS ringan, dan AMS sedang menduduki posisi kedua. AMS berat tidak ditemukan pada penelitian tersebut. Selain itu, penelitian yang dilakukan Permatasari & Sidarta (2021) juga menunjukkan bahwa dari 86 responden lebih banyak yang mengalami AMS ringan.

AMS adalah kelainan neurologis yang biasanya menyerang pendaki gunung yang berada di ketinggian (>2.500 meter) dalam waktu yang singkat (Yi et al., 2020). Hal tersebut timbul akibat pendakian cepat tanpa adanya adaptasi tubuh terhadap tekanan yang berbeda gunung. Diketahui bahwa hipoksia merupakan penyebab utama dari AMS. Tingkat keparahan penyakit tersebut sangat berkaitan dengan kecepatan pendakian dan tinggi maksimal yang dicapai. Biasanya individu dengan penyakit penyerta (seperti diare dan infeksi saluran napas atas) memiliki potensi lebih besar mengalami AMS. Sakit kepala masih menjadi ciri khas pada AMS yang meliputi sakit kepala berdenyut, bilateral, dan pada bagian frontal. Hal ini diperburuk pada pagi hari, dalam posisi telentang, dan juga karena olahraga berat. Terdapat berbagai cara untuk mengetahui ada tidaknya kejadian AMS pada seorang pendaki, antara lain melalui pemeriksaan fisik langsung dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis ada tidaknya AMS pada seseorang. Namun, dapat juga dilakukan penilaian yang bersifat skrining dengan menggunakan kuesioner yang sudah divalidasi (Permatasari & Sidarta, 2021).

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat hubungan usia dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value 0,186 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Dari penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Yang et al., (2020) terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian AMS dengan nilai p-value 0,002, sehingga penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gianfredi et al., (2020) bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan kejadian AMS, hal ini dikarenakan usia tua bukan merupakan kontraindikasi untuk bepergian ke tempat yang tinggi. Namun demikian, orang yang lebih tua yang berencana untuk pergi ke ketinggian, serta pelancong yang lebih muda, disarankan untuk meminta saran pra-perjalanan dari penyedia yang memiliki pengetahuan tentang dampak ketinggian dan pencegahan AMS, sehingga dapat mencegah kejadian AMS.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat hubungan jenis kelamin dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value 0,916 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hou et al., (2019) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan risiko AMS dengan nilai p-value 0,000. Tetapi hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Horiuchi et al., (2021) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan gejala AMS.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value 0,476 (p-value >0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sakina (2015) yang menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan yang kurang menyebabkan angka kejadian AMS semakin tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2022) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada mahasiswa pecinta alam di Kota Makassar, dengan nilai p-value 0,517 (p-value >0,05). Menurut Wahyuni (2022) tidak terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS dikarenakan pengetahuan saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya AMS, tetapi harus mempersiapkan fisik yang sehat, bugar, kuat, dan membekali dengan latihan fisik yang rutin sebelum melakukan pendakian, agar sistem kardiovaskular dan sistem respirasi sudah terlatih. Selain fisik juga mental yang kuat harus dipersiapkan, karena tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di alam.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah menggunakan program SPSS 23, hasil analisis bivariat hubungan aktivitas fisik dengan kejadian AMS menunjukkan nilai p-value 0,022 (p-value< 0,05) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Richalet et al., (2014), tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit ketinggian dengan aktivitas fisik yang lebih tinggi karena tingkat aktivitas fisik tidak hanya menjadi faktor penentu tunggal dalam hubungannya dengan gejala AMS. Namun, dikatakan bahwa terdapat faktor lain yang juga memberikan pengaruh terhadap timbulnya gejala AMS, seperti migrain, penggunaan acetazolamide, dan lokasi geografis. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari & Sidarta (2021) yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dengan AMS pada pendaki gunung, hasil penelitian dengan nilai p-value 0,034 (p-value <0,05)  maka secara statistik terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS. Menurut Permatasari & Sidarta (2021) terdapat hubungan aktivitas fisik dengan kejadian AMS dikarenakan kegiatan mendaki gunung memang merupakan jenis aktivitas fisik yang termasuk dalam kategori berat. Para pendaki gunung harus memiliki performa fisik yang baik untuk melakukan suatu pendakian tanpa cepat mengalami kelelahan. Selain itu, terdapat adaptasi dari organ-organ tubuh terhadap perubahan tekanan udara karena perubahan ketinggian dari permukaan laut. Oleh karena itu, seorang pendaki memang dituntut untuk memiliki tingkat aktivitas fisik yang baik agar dapat melakukan pendakian.

 

KESIMPULAN

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan nilai p-value 0,186 (p-value >0,05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan nilai p-value 0,916 (p-value >0,05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan nilai p-value 0,476 (p-value >0,05). Terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian AMS pada pendaki gunung di Lombok dengan nilai p-value 0,022 (p-value<0,05).

 

 

BIBLIOGRAFI

Ariyanto, Y., Pradibta, H., & Permatasari, C. (2017). Diagnosa Ams : Sistem Pakar Untuk Pendaki Gunung. Jurnal SimanteC, 6(2), 47–54.

Elvira, D. (2017). High-Altitude Illness. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2), 582–589. https://doi.org/10.25077/jka.v4i2.304

Gatterer H, Niedermeier M, Pocecco E, Fruhauf A, Faulhaber M, Menz V, Butsher J, Posch M, Ruedl G, B. M. (2019). Mortality in Different Mountain Sport Activities Primarily Practiced in The Summer Season-A Narrative Review. 16 (20). https://doi.org/10.3390/ijerph16203920

Gianfredi, V., Albano, L., Basnyat, B., & Ferrara, P. (2020). Does age have an impact on acute mountain sickness? A systematic review. Journal of Travel Medicine, 27(6), 1–8. https://doi.org/10.1093/jtm/taz104

Horiuchi, M., Watanabe, M., Mitsui, S., & Uno, T. (2021). Does change in barometric pressure per given time at high altitude influence symptoms of acute mountain sickness on Mount Fuji? A pilot study. Journal of Physiological Anthropology, 40(1), 1–5. https://doi.org/10.1186/s40101-021-00256-y

Hou, Y., Wu, J., Tan, C., Chen, Y., Guo, R., & Luo, Y. (2019). Perbedaan berdasarkan jenis kelamin dalam prevalensi penyakit gunung akut : meta-analisis. 0.

Luks, A. M., Swenson, E. R., & Bärtsch, P. (2017). Acute high-altitude sickness. European Respiratory Review, 26(143), 1–14. https://doi.org/10.1183/16000617.0096-2016

Moyen N E, Somero G N, D. M. W. (2020). Mussel Acclimatization to High, Variable Temperatures is Lost Slowly Upon Tranfer to Benign Conditions. The Journal of Experimental Biology. https://doi.org/10.1242/jeb.222893

Murdoch, D. (2019). Altitude Illness Among Tourists Flying to 3740 Meters Elevation in The Nepal Himalayas. Journal Travel Med, 2 (4), 255–256. https://doi.org/10.1111/j.1708-8305.1995.tb00671.x.

Outdoorgear, A. (2019). Antusiasme Pendakian Gunung Indonesia.

Permatasari, T., & Sidarta, N. (2021). Hubungan tingkat aktivitas fisik dengan acute mountain sickness pada pendaki gunung. Jurnal Biomedika Dan Kesehatan, 4(3), 106–112. https://doi.org/10.18051/jbiomedkes.2021.v4.106-112

Puspita, S. (2019). Kecelakaan Pendakian Gunung Indonesia Meningkat 4 Tahun Terakhir.

Richalet JP, Larmignat P, P. E. (2014). Physiological Risk Factor For Severe High-Altitude Illness: A Propective Cohort Study. https://doi.org/10.1164/rccm.201108-1396OC

Sakina, A. (2015). Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung tentang Acute Mountain Sickness (AMS) Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU). Universitas Sumatera Utara (USU).

Small E, Phillips C, Marvel J, L. G. (2021). Older Age as a Predictive Risk Factor For Acute Mountain Sickness. The American Journal of Medicine, 135 (3).

Wahyuni, S. (2022). Analisis Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Acute Mountain Sickness (AMS) pada Mahasiswa Pecinta Alam. Jurnal Keperawatan Silampari, 5 (2), 789–795. https://doi.org/https://doi.org/10.31539/jks.v5i2.3011

Wicaksono, N. H. (2019). Sepanjang Tahun 2018, Gunung Semeru di Daki 853 Ribu Orang.

World Health Organization,  t. (2010). Global recommendations on physical activity for health. World Health Organization.

Yang, Su Lan, Jenarun, Grazele, Liew, B. H. (2020). Incidence and Determinants of Acute Mountain Sickness. 21(3), 265–272. https://doi.org/10.1089/ham.2020.0026

Yi, H., Wang, K., Gan, X., Li, L., Zhang, Q., Xiang, J., Yuan, X., Zhang, Y., & Wang, Y. (2020). Prophylaxis of ibuprofen in acute mountain sickness. October, 1–4.

 

 

Copyright holder:

Gentani Mayang Sari, Dasti Anditiarina, Dewi Utary, Ayu Anulus (2023)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

     This article is licensed under:

         WhatsApp Image 2021-06-26 at 17