PERILAKU SEKSUAL, RISIKO SEROPOSITIF
IMUNOGLOBULIN G (IgG) TOXOPLASMA GONDII PADA PRIA HOMOSEKSUAL PENDERITA HIV
Rizky Fajar Meirawan, Nur Rizky
Ramadhani
Universitas
Indonesia Maju, Jakarta, Indonesia
Email:
rizkyramadhani.stikim@gmail.com
Keywords: Toxoplasma
gondii; Homosexual;
Sexual behavior. Kata
Kunci: Toxoplasma gondii; Homoseksual; Perilaku seksual. |
ABSTRAK Sexual behavior is one of the
factors thought to be associated with Toxoplasma gondii infection. Several
studies have shown that sexual behavior such as oral sex, a history of
injuries to the genital organs during sexual intercourse, and working as a
sex worker are associated with Toxoplasma gondii infection. In addition, a
history of injecting narcotic use is also associated with Toxoplasma gondii
infection. One method to determine infection status is serological
examination, through measurement of immunoglobulin G (IgG). IgG
seropositivity is the basis for determining the status of Toxoplasma gondii
infection in the chronic or latent phase. This study aims to determine the
relationship between sexual behavior and history of injecting drug use with
Toxoplasma gondii infection based on IgG serological status. The study population
in this study were 56 homosexual men with Human Immunodeficiency Virus (HIV)
in the DKI Jakarta area, Bogor Regency and City, and Depok City. In this
study, the infection status of Toxoplasma gondii was measured by the ELISA
method at the Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of
Indonesia. Sexual behavior and history of injecting drug use were measured
using a questionnaire. The results of the study proved that 38 samples had
positive serological status, 17 samples had negative serological status, and
1 sample was in the borderline range. Based on an analysis using the logistic
regression test, age, education, getting paid for having sex, using condoms
during oral sex, and a history of injuries to the genital organs during sex
are risk factors for Toxoplasma gondii infection. ABSTRACT Perilaku seksual
menjadi salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan infeksi Toxoplasma
gondii. Beberapa studi menunjukkan, perilaku seksual seperti hubungan seks
oral, riwayat luka pada organ kelamin saat berhubungan seksual, serta bekerja
sebagai pekerja seks berhubungan dengan infeksi Toxoplasma gondii. Selain
itu, riwayat penggunaan narkotika suntik juga berhubungan dengan infeksi
Toxoplasma gondii. Salah satu metode untuk menentukan status infeksi adalah
pemeriksaan serologi, melalui pengukuran imunoglobulin G (IgG). Seropositif
IgG menjadi dasar untuk menentukan status infeksi Toxoplasma gondii dalam
fase kronis atau laten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
perilaku seksual dan riwayat penggunaan narkoba suntik dengan infeksi
Toxoplasma gondii berdasarkan status serologi IgG. Populasi studi dalam
penelitian ini adalah 56 pria homoseksual dengan Human Imunodeficiency Virus
(HIV) di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten dan Kota Bogor, serta kota Depok.
Dalama penelitian ini, status infeksi Toxoplasma gondii, diukur dengan metode
ELISA di Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Perilaku seksual dan riwayat penggunaan narkotika suntik diukur dengan menggunakan
kuesioner. Hasil penelitian membuktikan bahwa 38 sampel berstatus serologi
positif, 17 sampel berstatus serologi negatif, dan 1 sampel berada di rentang
borderline. Berdasarkan analisis dengan menggunakan uji regresi logistik,
usia, pendidikan, mendapatkan bayaran ketikan berhubungan seksual, pemakaian
kondom saat berhubungan seks oral, serta riwayat luka pada organ kelamin saat
berhubungan seks, menjadi faktor risiko infeksi Toxoplasma gondii. |
Info Artikel |
Artikel
masuk 02 February 2023, Direvisi 09 February 2023, Diterima 19 February 2023 |
PENDAHULUAN
Toxoplasma gondii (T.gondii)
merupakan protozoa intraseluler yang bersifat zoonosis. Kucing merupakan Inang
definitif T gondii, sedangkan seluruh hewan berdarah panas, merupakan inang
perantara Infeksi T.gondii pada manusia kebanyakan
berasal dari ingesti ookista T.gondii, yang terdapat dalam daging ternak yang
tidak di masak secara matang. Hal ini membuat infeksi T.gondii tergolong dalam
food borne disease (Dubey, 2000). Selain itu okista T.gondii dapat mencemari tanah,
sehingga orang dengan intensitas kontak yang tinggi dengan tanah, seperti
petani, pembersih jalanan, menjadi kelompok rentan (Black & Boothroyd,
2000).
Dalam kondisi imunokompeten, infeksi T gondii
tidak menimbulkan masalah dan gejala yang serius. Namun, pada orang-orang
dengan masalah imunitas atau imunokompromi dan imunosupresan, infeksi T.gondii
dapat berdampak fatal (Abu-Madi et al., 2010). Termasuk para penderita infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV). Infeksi T.gondii menjadi salah satu
infeksi opurtinistik yang fatal pada pasien HIV. Beberapa di antaranya adalah
radang selaput otak (meningitis), radang ensefal (enchephalitis), dan infeksi
bola mata atau occular toxoplasmosis.
Berkembang hipotesis bahwa transmisi T. gondii
terjadi melalui hubungan seks. Hipotesis ini berdasarkan rute infeksi seksual
T. gondii pada hewan. Takizoit T (Kaňková et al., 2020). gondii ditemukan cairan semen dan jaringan testis pada
manusia dan beberapa hewan, seperti kambing dan babi. Pada beberapa hewan seperti kelinci, domba,
dan anjing, infeksi pada hewan betina terjadi karena proses inseminasi buatan
dengan cairan semen ternak jantan yang terinfeksi T. gondii. Meski saat ini
belum dapat diketahui secara pasti, apakah kemunculan takizoit dalam semen
tersebut, terjadi selama fase akut atau laten. Misalnya fase laten yang muncul
bersamaan dengan kejadian infeksi dan terapi yang bersifat menurunkan kekebalan
tubuh.
Studi dari beberapa negara Eropa menunjukkan
korelasi antara infeksi T. gondii dengan insiden penyakit menular seksual,
terutama gonorrhoea, syphilis, dan chlamydiosis (Wong et al., 2018). Sehingga muncul dugaan bahwa korelasi tersebut terjadi
karena persamaan faktor risiko, yaitu perilaku seks yang tidak aman
(unprotected sex).
Pembuktian penularan T. gondii secara seksual
hanya dapat dilakukan secara tidak langsung. Karena proses pembuktian secara
langsung terkendala masalah etik. Namun, beberapa analisis menunjukkan,
terdapat pola transmisi T. gondii pada beberapa pasangan. Sebuah studi
mengungkap, wanita dapat tertular T. gondii dari suami atau pasangan lelakinya.
Pasangan yang terinfeksi menjadi faktor risiko penularan T. gondii pada wanita
dengan perilaku seks heteroseksual. Tetapi bukan menjadi faktor risiko bagi
lelaki dengan perilaku seks heteroseksual. Hal ini memunculkan hipotesis bahwa
transmisi T. gondii berhubungan dengan perilaku seks oral.
Pria dengan orientasi homoseksual memiliki
prevalensi infeksi T. gondii
yang tergolong tinggi. Seroprevalensi IgG pada pria homoseksual
mencapai 30.8%, sedangkan seroprevalensi IgM adalah sebesar 1.4%. salah satu
faktor risiko infeksi T. Gondii adalah perilaku penggunaan air liur sebagai
pelumas, menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan infeksi Toxoplasma,
dengan nilai Odds Rasio (OR) sebesar 1.6 (95% CI: 0.66-4.12). Populasi dalam
studi ini adalah 143 pria dengan perilaku berhubungan seks dengan sesama lelaki
(LSL) atau homoseksual.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah beberapa perilaku seksual berhubungan dengan infeksi T. gondii
berdasarkan status serologi IgG. Dalam penelitian ini, beberapa perilaku seperti
mendapatkan bayaran ketika berhubungan seksual, frekuensi hubungan seks oral
dan anal, kebiasaan menelan cairan ejakulat saat berhubungan seksual, serta
luka pada alat kelamin saat berhubungan seksual, menjadi variabel yang diteliti
(Abraham et al., 2021).
Variabel yang terbukti berhubungan dengan
infeksi T. gondii berdasarkan status serologi IgG akan menjadi variabel
prediktor dalam model prediksi seropositif IgG T. Gondii pada pasien HIV/AIDS.
Harapannya, model tersebut dapat digunakan untuk memprediksi dan menjadi salah
satu instrumen dalam prosedur skrining infeksi T. Gondii pada pasien HIV.
METODE PENELITIAN
Penelitian berlangsung pada periode 1 – 30 Oktober
2022. Pengukuran IgG T. Gondii menggunakan metode ELISA. Pengukuran IgG ini
dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia. Hasil ukur kadar IgG T. Gondii berupa ukuran indeks dalam satuan IU
per ml. Infeksi T. Gondii dinyatakan positif apabila nilai indeks ≥ 10
IU/ml. Sedangkan infeksi T. Gondii dinyatakan negatif jika indeks <8 IU/ml.
Jika nilai indeks berada pada rentang 8 < hingga <10 dinyatakan sebagai
borderline. Dalam penelitian ini, terdapat 1 sampel yang berada di rentang
borderline, sehingga tidak temasuk ke dalam kelompok sampel yang di analisis.
Pengukuran perilaku seksual dan riwayat penggunaan
narkotika dan benda berbahaya (narkoba) suntik sebagai prediktor infeksi T.
Gondii dilakukan dengan instrumen kuesioner. Uji analisis yang digunakan adalah
uji analisis Regresi Linier, dengan menggunakan aplikasi IBM SPSS.
Hasil
Berdasarkan pengujian serologi dengan metode
ELISA, 38(67,9%) memiliki serologi IgG T. Gondii positif, 17(30,4%) serologi
negatif, dan 1(1,8%) berada di kondisi borderline. Untuk satu sampel yang
berada di kondisi borderline tersebut tidak dianalisis. Sehingga analisis data
dilakukan pada 55 sampel.
Dalam penelitian variabel gender, usia, status
pendidikan, dan status sosial ekonomi diduga sebagai faktor risiko infeksi T.
gondii berdasarkan status serologi IgG.
Untuk membuktikan apakah keempat variabel tersebut merupakan faktor
risiko dan berhubungan dengan status infeksi T. gondii berdasarkan status
serologi IgG, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji regresi logistic (Aguirre et al., 2019).
Variabel status pendidikan terdiri atas 4
kategori. Yaitu status pendidikan rendah (SD), pendidikan menengah pertama
(SMP), pendidikan menengah atas (SMA), dan pendidikan tinggi (perguruan tinggi).
Sedangkan variabel status sosial ekonomi terdiri atas 4 kategori. Yaitu miskin,
menengah ke bawah, menengah, dan menengah ke atas. Klasifikasi responden
penelitian ke dalam klasifikasi sosial ekonomi berdasarkan kepemilikan 13
barang berharga atau aset. Yaitu sumber energi rumah tangga, lemari es,
pendingin ruangan, pemanas air, jaringan internet tanpa kabel (WiFI), emas,
komputer, sepeda motor, mobil, televisi layar datar lebih dari 32 inci,
kepemilikan tanah/lahan/kebun, daya listrik, dan sumber air minum.
Dalam penelitian ini, hubungan antara faktor
risiko dan status infeksi T.gondii dianggap signifikan apabila nilai p lebih
kecil dari α(0,05). Selain itu, dalam uji regresi logistik juga dapat
menghitung besarnya nilai Odds Rasio (OR). Di mana OR yang lebih besar dari 2
menunjukkan adanya hubungan antara variabel faktor risiko dengan status infeksi
T. Gondii (Flegr et al., 2014).
Dalam penelitian ini, turut diperhitungkan rentang confidence interval dengan
ketelitian 95% (95% CI). Nilai ini menjadi salah satu parameter untuk
mengetahui adanya random error, yang disebabkan oleh proses sampling (De Paepe et al., 1990).
Berdasarkan latar belakang demografi, usia menjadi
salah satu variabel yang berhubungan signifikan dengan status infeksi T.gondii.
Di mana responden yang berusia kurang dari 28 tahun, memiliki risiko terinfeksi
T.gondii 8,56 kali lipat lebih tinggi dibandingkan responden yang berusia lebih
dari 39 tahun. Selain itu responden yang berusia 28 hingga 34 tahun dan
responder yang berusia 35 hingga 39 tahun memiliki risiko terinfeksi T.gondii
4,58 dan 7,33 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang barusia lebih dari
39 tahun.
Selain itu, pendidikan menengah atas (tamat SMA)
juga menjadi salah satu faktor risiko infeksi T.gondii. Di mana responden
dengan tingkat pendidikan menengah atas, memiliki risiko infeki T.gondii yang
lebih rendah (OR: 0,16) dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tinggi
(tamat perguruan tinggi).
Tabel 1. Demografi Responden
Variable |
Positive IgG (n=38) |
Negative IgG (n=17) |
OR (95% CI) |
|
Gender |
Laki-Laki |
35 |
16 |
0,85 (0,27 – 2,75) |
Waria |
3 |
1 |
1 |
|
Age |
<28 Years* |
9 |
7 |
8,56 (0,88 – 83,06) |
28-34 Years* |
12 |
5 |
4,58
(0,46 – 45,61) |
|
35-39 Years* |
6 |
4 |
7,33 (0,66 – 81,37) |
|
>39 Years |
11 |
1 |
|
|
Education |
Low education |
3 |
1 |
0,37 (0,03 – 4,23) |
First Secondary Education |
11 |
5 |
0,51
(0,13 – 2,03) |
|
High School Education** |
14 |
2 |
0,16 (0,03 – 0,89) |
|
higher education |
10 |
9 |
1 |
|
Socio-Economic Status |
Poor |
10 |
3 |
0,90 (0,12 – 7,03) |
Middle down |
13 |
9 |
2,08
(0,34 – 12,72) |
|
Intermediate |
9 |
3 |
1,00 (0,13 – 7,89) |
|
Middle to Upper |
6 |
2 |
1 |
*= p<0,25; **= p<0,05
Perilaku seksual yang menjadi faktor
risiko dan berhubungan dengan status infeksi T. gondii berdasarkan
status serologi IgG, adalah riwayat luka pada organ kelamin (penis/vagina) saat
berhubungan seksual (Nikbakht et al., 2022). Namun, dalam penelitian ini, nilai OR tidak
dapat dihitung karena adanya 1 sel kosong, pada kondisi responden dengan
kondisi seronegatif IgG T. gondii yang memiliki riwayat luka pada
kelamin.
Berdasarkan perhitungan nilai OR, pasien
HIV yang mendapatkan bayaran ketika berhubungan seksual (pekerja seks) memiliki
risiko terinfeksi T. gondii 3,6 kali lipat dibandingkan dengan pasien HIV non
pekerja seks. Namun, dilihat dari nilai 95%CI, terdapat rentang yang cukup
lebar, yang kemungkinan disebabkan oleh pengaruh sampling (Hlaváčová et al.,
2021a).
Selain itu, perilaku seksual yang menjadi
faktor risiko infeksi T.gondii adalah tidak pernah menggunakan kondom
saat berhubungan oral (OR: 4,80; 95%CI: 0,48 – 48,46).
Tabel 2. Perilaku Seksual Responden
Variable |
Positive IgG (n=38) |
Negative IgG (n=17) |
OR (95% CI) |
|
Getting Paid for Having Sex |
Yes* |
7 |
1 |
3,61 (0,41 – 31,97) |
Not |
31 |
16 |
1 |
|
Using Condoms During Oral Sex |
Always Use Condoms |
6 |
2 |
2,00 (0,14 – 28,42) |
Frequent use of condoms |
4 |
2 |
3,00
(0,20 – 45,24) |
|
Rarely Use Condoms |
12 |
4 |
2,00 (0,18 – 22,06) |
|
Never Use a Condom* |
10 |
8 |
4,80
(0,48 – 48,46) |
|
Never Have Oral Sex |
6 |
1 |
1 |
|
Frequency of Swallowing Ejaculate Fluid |
Always Swallowing Ejaculate Fluid |
2 |
0 |
N/A |
Frequently Swallowing Ejaculate Fluid |
1 |
0 |
N/A |
|
Rarely Swallow Ejaculate Fluid |
8 |
10 |
6,25
(0,60 – 64,86) |
|
Never Swallow Ejaculate Fluid |
22 |
6 |
1,36 (0,13 – 14,00) |
|
Never Have Oral Sex |
5 |
1 |
1 |
|
Injured genital organs during sexual intercourse |
Yes** |
6 |
0 |
N/A |
Not |
32 |
17 |
|
*= p<0,25; **= p<0,05
Pembahasan
Penelitian ini membuktikan bahwa perilaku seksual menjadi salah satu faktor risiko infeksi T. gondii berdasarkan status serologi IgG. Salah satu dasar teori yang menjelaskan perilaku seks, khususnya perilaku seks oral berhubungan dengan infeksi T.gondii adalah penemuan kista T. gondii pada jaringan reproduksi. Kista jaringan T. gondii dapat ditemukan pada cairan semen dan ejaculate pada pria berdasarkan studi yang dilakukan Disko et al., di tahun 1971. Pembuktian penularan T. gondii secara seksual hanya dapat dilakukan secara tidak langsung. Karena proses pembuktian secara langsung terkendala masalah etik (Abdelbaset et al., 2020).
Namun, beberapa analisis menunjukkan bahwa terdapat pola transmisi T. gondii pada beberapa pasangan. Hlaváčová J, dalam analisisnya yang berjudul, “Male to Female Presumed Transmission of Toxoplasmosis between Sexual Partners’ mengungkap bahwa wanita dapat tertular T. gondii dari suami atau pasangan lelakinya. Dalam analisis tersebut, sang penulis menyatakan bahwa pasangan yang terinfeksi menjadi faktor risiko penularan T. gondii pada wanita dengan perilaku seks heteroseksual (Disko et al., 1978).
Tetapi bukan menjadi faktor risiko bagi lelaki dengan perilaku seks heteroseksual. Hasil ini memperkuat hipotesis bahwa T. gondii dapat ditularkan dari lelaki yang terinfeksi kepada pasangannya. Dugaan bahwa T. gondii dapat ditularkan oleh lelaki terhadap pasangannya, terungkap dalam studi dengan populasi pria homoseksual. Penelitian ini juga sesuai dengan studi yang dilakukan pada 143 pria homoseksual. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa, pria dengan orientasi homoseksual memiliki prevalensi infeksi T (Abdoli, 2017). gondii yang tergolong tinggi. Seroprevalensi IgG pada pria homoseksual mencapai 30.8%, sedangkan seroprevalensi IgM adalah sebesar 1.4%. Dalam studi ini, perilaku seks oral, dalam bentuk penggunaan air liur sebagai pelumas, menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan infeksi Toxoplasma, dengan nilai Odds Rasio (OR) sebesar 1.6 (95% CI: 0.66-4.12).
Status imunokompromi karena pengaruh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) berhubungan dengan kehadiran Toxoplasma gondii pada organ reproduksi. Hasil studi literatur mengungkap bahwa Toxoplasma gondii ditemukan pada testis dari penderita HIV/AIDS. Sebuah studi kasus melaporkan bahwa Toxoplasma gondii ditemukan pada testis seorang pria yang dengan status imunokompeten (Hlaváčová et al., 2021b). Pembuktian bahwa Toxoplasma gondii dapat berkembang di dalam testis, memperkuat dugaan bahwa infeksi Toxoplasma gondii berhubungan dengan hubungan seksual. Khususnya pada individu dengan intensitas hubungan seksual yang tinggi, berganti-ganti pasangan, dan tidak menggunakan kondom.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa usia, pendidikan, mendapatkan bayaran ketikan berhubungan seksual, pemakaian kondom saat berhubungan seks oral, dan riwayat luka pada organ kelamin saat berhubungan seks. Namun, penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar diperlukan untuk meningkatkan validitas hasil penelitian. Penelitian lebih lanjut juga perlu mengikutsertakan perilaku makan dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) untuk meningkatkan besaran pengaruh faktor risiko terhadap status infeksi T. gondii berdasarkan status IgG.
BIBLIOGRAFI
Abdelbaset, A. E., Hamed, M. I., Abushahba, M. F. N.,
Rawy, M. S., Sayed, A. S. M., & Adamovicz, J. J. (2020). Toxoplasma gondii
seropositivity and the associated risk factors in sheep and pregnant women in
El-Minya Governorate, Egypt. Veterinary World, 13(1), 54.
Abdoli,
A. (2017). Neglected risk factors for HIV and Toxoplasma gondii co-infection. The
Lancet HIV, 4(4), e152.
Abraham,
E. G., Moses, A. E., Motilewa, U. S. O. O., Uwah, A. I., & Umoh, A. N.
(2021). Ocular toxoplasmosis among livestock farmers and raw meat handlers in
Uyo, Nigeria. Ethiopian Journal of Health Sciences, 31(2).
Abu-Madi,
M. A., Behnke, J. M., & Dabritz, H. A. (2010). Toxoplasma gondii
seropositivity and co-infection with TORCH pathogens in high-risk patients from
Qatar. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 82(4),
626.
Aguirre,
A. A., Longcore, T., Barbieri, M., Dabritz, H., Hill, D., Klein, P. N.,
Lepczyk, C., Lilly, E. L., McLeod, R., & Milcarsky, J. (2019). The one
health approach to toxoplasmosis: epidemiology, control, and prevention
strategies. EcoHealth, 16(2), 378–390.
Black,
M. W., & Boothroyd, J. C. (2000). Lytic cycle of Toxoplasma gondii. Microbiology
and Molecular Biology Reviews, 64(3), 607–623.
De
Paepe, M. E., Guerrieri, C., & Waxman, M. (1990). Opportunistic infections
of the testis in the acquired immunodeficiency syndrome. The Mount Sinai
Journal of Medicine, New York, 57(1), 25–29.
Disko,
R., Braveny, I., & Greutélaers, M. T. (1978). Experimental studies on the
affinity of Toxoplasma gondii to various organs of mice (author’s transl). Zentralblatt
Fur Bakteriologie, Parasitenkunde, Infektionskrankheiten Und Hygiene. Erste
Abteilung Originale. Reihe A: Medizinische Mikrobiologie Und Parasitologie,
242(4), 565–571.
Dubey,
J. P. (2000). Sources of Toxoplasma gondii infection in pregnancy: Until rates
of congenital toxoplasmosis fall, control measures are essential. In Bmj
(Vol. 321, Issue 7254, pp. 127–128). British Medical Journal Publishing Group.
Flegr,
J., Klapilová, K., & Kaňková, Š. (2014). Toxoplasmosis can be a
sexually transmitted infection with serious clinical consequences. Not all
routes of infection are created equal. Medical Hypotheses, 83(3),
286–289.
Hlaváčová,
J., Flegr, J., Řežábek, K., Calda, P., & Kaňková, Š. (2021a).
Association between latent toxoplasmosis and fertility parameters of men. Andrology,
9(3), 854–862.
Hlaváčová,
J., Flegr, J., Řežábek, K., Calda, P., & Kaňková, Š. (2021b).
Male-to-female presumed transmission of toxoplasmosis between sexual partners. American
Journal of Epidemiology, 190(3), 386–392.
Kaňková,
Š., Hlaváčová, J., & Flegr, J. (2020). Oral sex: a new, and possibly
the most dangerous, route of toxoplasmosis transmission. Medical Hypotheses,
141, 109725.
Nikbakht,
G., Behrouzi, M., Mousavizadeh, A., Pourabbas, B., Rezaei, Z.,
Nouripour-Sisakht, S., & Arefkhah, N. (2022). Seroprevalence of Toxoplasma
gondii infection among HIV-positive patients in Southwest Iran and associated
risk factors: a case-control study. Transactions of The Royal Society of
Tropical Medicine and Hygiene, 116(10), 930–934.
Wong,
V., Amarasekera, C., & Kundu, S. (2018). Testicular toxoplasmosis in a
26-year-old immunocompetent man. Case Reports, 2018, bcr-2018.