Jurnal Health Sains: p–ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398     

Vol. 3, No. 2, Februari 2022

 

APLIKASI KLINIS DMSA SCAN DALAM BIDANG NEFROUROLOGI

 

Raden Erwin Affandi, William Korompis 

Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Email: erwin.affandi711@gmail.com, williamkorompis90@yahoo.com

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 Februari 2022

Direvisi

15 Februari 2022

Disetujui

25 Februari 2022

DMSA (meso-2,3-dimercaptosuccinic acid) adalah suatu senyawa  dengan gugus sulfhydryl yang mampu berikatan secara chelation dengan berbagai logam berat.  Awalnya DMSA dimanfaatkan sebagai antidotum keracunan logam berat, namun seiring berjalannya ilmu pengetahuan, DMSA berhasil ditandai menggunakan Tc-99m Pertechnetate dan dimaanfaatkan luas dalam bidang kedokteran nuklir. DMSA scan telah digunakan luas dalam bidang nefrourologi, terutama untuk mendeteksi adanya jaringan parut terutama pada kasus infeksi saluran kemih (ISK). Selain itu DMSA scan juga digunakan untuk deteksi pyelonephritis akut, deteksi jaringan ginjal ektopik, deteksi kelainan kongenital dan evaluasi fungsi ginjal relatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa aplikasi klinis DMSA scan dalam bidang nefrourologi. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan studi kepustakaan atau literature review. Kesimpulan penelitian ini adalah DMSA scan dapat menjadi pilihan para klinisi dalam praktek nefrourologi sehari-hari terutama pada kasus ISK.

 

ABSTRACT

DMSA (meso-2,3-dimercaptosuccinic acid) is a compound that contains a sulfhydryl group. This compound can chelate with various heavy metal compounds. At first, DMSA was used as heavy metal poisoning antidote, but with the development of science, nowadays DMSA has been successfully labelled with Tc-99m Pertechnetate and used in nuclear medicine examination. DMSA scan has been widely used in various nephrourology conditions, especially to detect kidney scar in urinary tract infection (UTI). DMSA scan can also be used to detect acute pyelonephritis, to detect ectopic kidney, to detect congenital kidney anomalies, and to measure relative kidney function. The purpose of this research was to depict various applications of DMSA scan in nephrourology field. This research is a study using the method of literature study or literature review. The conclusion of this research is DMSA scan can be a choice for clinician in day to day practice especially in detection of kidney scar in  UTI patient

Kata Kunci:

DMSA scan; nefrourologi; jaringan parut ginjal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

DMSA Scan; nephrourology; kidney scar


 

 


Pendahuluan

DMSA (meso-2,3-dimercaptosuccinic acid) atau yang biasa dikenal dengan nama generiknya succimer dalam bentuk solidnya berupa bubuk kristal putih dengan bau yang khas dan rasa pahit bila ditelan. Senyawa ini pertama kali disintesis oleh Owen tahun 1949. DMSA mempunyai gugus sulfhydryl yang mampu berikatan secara chelation dengan berbagai logam berat dan mulai dimanfaatkan sebagai antidotum keracunan logam berat seperti air raksa, timbal dan arsenik sejak tahun 1950an. Tahun 1991, DMSA sudah disetujui oleh FDA sebagai pengobatan keracunan timbal pada anak (Kosnett & Brent, 2016).

 

 

 

 


Gambar 1

Struktur Kimia DMSA

 


Penelitian-penelitian selanjutnya menemukan bahwa DMSA mampu berikatan dengan reseptor tubulus kontortus proksimal ginjal sehingga dimulai usaha untuk menanda DMSA dengan Tc-99m Pertechnetate. Tahun 1978, dimulai percobaan untuk meneliti efek Tc99m-DMSA ke manusia seperti yang dilakukan Hosokawa maupun Merrick. Berkat usaha-usaha para peneliti inilah Tc-99m DMSA mulai digunakan luas dalam bidang kedokteran nuklir khususnya dalam bidang nefrourologi (Kawamura et al., 1978; Merrick et al., 1980).

Affinitas Tc-99m DMSA yang tinggi terhadap tubulus kontortus proksimal membuatnya mampu memberikan citra yang baik terhadap korteks ginjal. Pencitraan korteks ginjal menggunakan Tc-99m DMSA disebut juga sebagai pemeriksaan sidik ginjal atau DMSA scan (Cook et al., 2006).

Pemeriksaan sidik ginjal terutama digunakan untuk mendeteksi kelainan korteks ginjal pada pyelonephritis akut dan jaringan parut pada pyeloneohritis kronis. Sidik ginjal mampu mendeteksi kelainan pada korteks ginjal dua kali lipat lebih banyak daripada USG dan empat kali lipat lebih banyak dibanding urography intravena.(Jakobsson et al., 1992)

Hilangnya fungsi ginjal yang berhubungan dengan terjadinya pyelonephritis akut, sewaktu terdeteksi secara dini dan kemudian diobati secara adekuat, bisa mengembalikan fungsi ginjal sebelum terbentuknya jaringan parut. Gejala sisa dari infeksi ginjal juga bisa dimonitor dengan menggunakan sidik ginjal. CT scan memiliki sensitivitas dan spesifitas yang setara dengan sidik ginjal terhadap pyelonephritis akan tetapi menimbulkan kerugian seperti paparan radiasi yang lebih besar dan penggunaan kontras yang bisa memperburuk fungsi ginjal (Montgomery et al., 1987).

Penggunaan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak dapat diandalkan untuk penegakan diagnosis pyelonephritis akut. Gejala yang muncul biasanya beragam dan terkadang membingungkan. Pasien biasanya mengeluhkan adanya demam, nyeri pinggang, malas makan, cepat marah, dengan pemeriksaan lab yang menunjukkan leukositosis dan bakteriuria walau semuanya ini bukanlah indikasi pasti adanya infeksi pada parenkim ginjal. Neonatus pada umumnya bahkan tidak menunjukkan adanya hasil pemeriksaan klinis yang spesifik. Refluks vesicoureteral/ vesicourethral refluks (VUR) biasanya berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk munculnya pyelonephritis, walaupun pyelonephritis akut yang terjadi tanpa disertai VUR lazim terjadi (Cook et al., 2006).

Pemeriksaan sidik ginjal menyediakan informasi penting pada berbagai konteks klinis, di antaranya adalah:

1.    Deteksi jaringan parut terutama pada kasus infeksi saluran kemih (ISK). Pemeriksaan dilakukan sekurangnya 6 bulan setelah kejadian infeksi.

2.    Deteksi pyelonephritis akut.

3.    Deteksi jaringan ginjal ektopik.

4.    Pada pasien dengan kelainan kongenital (ginjal dupleks, dysplasia ginjal, ginjal berukuran kecil), untuk mendeteksi seberapa banyak jaringan ginjal yang masih berfungsi.

5.    Evaluasi fungsi ginjal relative.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan atau literature review.

Jenis literature review yang digunakan adalah metode narrative review. Kami mencari artikel yang relevan dengan materi dari Pubmed dengan artikel berbahasa Inggris. Kami menggunakan kata kunci seperti: DMSA scan, renal scintigraphy, kidney scar, nuclear medicine.

Kami melakukan inklusi artikel dan review artikel, kemudian mengeksklusi artikel yang tidak berbahasa Inggris. Semua artikel dianalisis untuk didiskusikan mengenai berbagai aplikasi klinis sidik ginjal menggunakan DMSA pada bidang nefrourologi.

 

Hasil dan Pembahasan

A.   Hasil Penelitian

Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tersebut kami mendapatkan 37 artikel yang berkaitan dengan aplikasi klinis sidik ginjal menggunakan DMSA pada bidang nefrourologi. Artikel tersebut dapat merupakan penelitian, systematic review, guideline maupun case-report.

B.   Pembahasan

1.    Deteksi Jaringan Parut pada Kasus ISK

ISK adalah infeksi bakteri serius yang paling sering terjadi pada anak-anak, menyerang sekitar 2% anak lelaki dan 8% anak perempuan dari lahir sampai usia 7 tahun. ISK didefinisikan sebagai keberadaan bakteri dalam urine yang dikonfirmasi dengan kultur urine sekurangnya 5x104 colony forming unit (CFU) bakteri dari spesies yang sama pada spesimen urine yang diambil dari kateter atau 105 CFU/ml dari urine yang diambil dengan metode clean voided sample. 75% ISK terjadi sebelum usia 2 tahun, dengan puncak kejadian pertama terjadi dua kali yakni saat sekitar usia 1 tahun dan puncak kejadian kedua terjadi pada usia 2-4 tahun sewaktu si anak belajar ke toilet sendiri. Setelah usia 6 tahun, ISK jarang terjadi dan lebih sering terjadi pada anak dengan gangguan berkemih (Roberts, 2011).

Proses inflamasi pada penyakit ini bisa saja hanya mengenai kandung kemih (cystitis), melibatkan sistem pengumpul ginjal (pyelitis) atau parenkim ginjal (pyelonephritis). Cystitis ditandai dengan gejala lokal seperti sering berkemih (frekuensi), tidak bisa menahan berkemih (urgency), dan rasa nyeri saat berkemih (dysuria) sementara pyelonephritis ditandai dengan gejala sistemik seperti demam, malaise, muntah, nyeri pinggang atau perut, dan nyeri ketuk pada pinggang. Pyelonephritis dapat mengakibatkan jaringan parut yang nantinya bisa mengakibatkan gangguan ginjal permanen. Tujuan penanganan anak penderita ISK adalah untuk mencegah atau meminimalkan kerusakan ginjal dan juga meminimalkan kemungkinan terjadinya ISK berulang (Karmazyn et al., 2017).

Kerusakan ginjal akibat ISK ini diduga akan menimbulkan beberapa komplikasi di masa depan, di antaranya hipertensi, komplikasi pada kehamilan dan gagal ginjal kronis.

Metode konvensional dalam pencegahan ISK berulang dan jaringan parut pada ginjal adalah dengan penegakan diagnosis secara dini, penggunaan antibiotik profilaksis secara cepat dan dengan melakukan operasi pada penderita ISK yang disertai VUR.

Pemberian antibiotik profilaksis saat ini masih menjadi perdebatan oleh para ahli. Panduan penanganan ISK oleh American Academy of Pediatrics Subcommittee on Urinary Tract Infection pada tahun 2011 tidak menyarankan pemberian antibiotik profilaksis sebagai pencegahan ISK berulang maupun jaringan parut pada anak penderita ISK karena dianggap tidak efektif dan malah meningkatkan risiko terjadinya resistensi antibiotik. Pendapat ini namun ditentang oleh 3 penelitian besar yakni Randomized Intervention for Children with Vesicoureteral Reflux (RIVUR) Trial yang diterbitkan tahun 2014, Prevention of Recurrent urinary tract Infection in children with Vesicoureteric Reflux and Normal Renal Tracts (PRIVENT) Trial tahun 2009 dan penelitian Montini et al tahun 2008. Hasil dari 3 penelitian besar ini menunjukkan adanya manfaat pemberian antibiotik profilaksis pada anak penderita ISK untuk mencegah terjadinya ISK berulang (Robinson et al., 2015).

Tahun 2015, suatu komite dari Canadian Pediatric Society mempelajari ulang ketiga penelitian ini dan menemukan bahwa walau hasil dari 3 penelitian ini menunjukkan manfaat pemberian antibiotik profilaksis pada anak penderita ISK, namun efikasinya cukup rendah pada penelitian Montini et al dan walau RIVUR dan PRIVENT Trial menunjukkan efikasi yang lebih tinggi, namun pemberian antibiotik profilaksis ini memerlukan jangka panjang yakni 1-2 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis jangka panjang ini berakibat pada cukup tingginya angka noncompliance sebesar 25% pada ketiga penelitian ini, cukup tingginya efek samping akibat obat yakni sebesar 2-7% dan meningkatnya risiko terjadinya resistensi antibiotik di masa depan. Dengan mempertimbangkan hal-hal ini, Canadian Pediatric Society mengeluarkan rekomendasi yang kurang lebih senada dengan American Academy of Pediatrics Subcommittee on Urinary Tract Infection bahwa pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan kecuali pada pasien dengan risiko tinggi terjadinya jaringan parut ginjal yakni anak penderita ISK dengan VUR grade tinggi ataupun dengan abnormalitas traktus urinarius lainnya dan melakukan pemberian antibiotik selama 7-14 hari hanya sebagai terapi dan bukan profilaksis pada anak yang terbukti mengalami ISK.

DMSA scan dapat membantu dalam penanganan anak penderita ISK. Apabila DMSA scan dilakukan beberapa hari dari munculnya demam pada anak (periode akut dari ISK), maka pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya pyelonephritis akut dan luasnya inflamasi pada ginjal sehingga dapat membantu keputusan klinisi untuk memulai pemberian antibiotik ataupun terapi lainnya untuk mencegah terjadinya jaringan parut. Apabila DMSA scan dilakukan beberapa bulan sejak episode ISK, idealnya kira-kira 6 bulan kemudian, maka pemeriksaan ini bisa mendeteksi adanya jaringan parut pada ginjal.

DMSA scan dianggap sebagai baku emas dalam deteksi jaringan parut pada ginjal. Jaringan parut pada ginjal dianggap terjadi apabila terjadi penurunan tangkapan radioaktivitas yang berhubungan dengan menghilangnya kontur ginjal atau terjadi penipisan korteks. Walaupun DMSA scan sangat sensitif dalam mendeteksi kerusakan ginjal fokal, namun pemeriksaan ini tidaklah spesifik karena tiap kerusakan fokal pada korteks karena penyebab apapun bisa menimbulkan defek fokal pada DMSA scan.

Untuk membedakan kerusakan fokal pada korteks ginjal reversibel dan irreversibel, pemeriksaan DMSA scan fase lanjut dibutuhkan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hanya 15% anak dengan defek fokal yang terlihat pada DMSA scan fase akut menunjukkan kerusakan menetap pada DMSA scan fase lanjut 6 bulan kemudian. Lebih lanjut lagi, 47% anak dengan kerusakan ginjal fokal yang terlihat pada DMSA scan yang dilakukan pada 2-6 bulan setelah periode ISK mungkin masih bisa reversible bila pemeriksaan DMSA scan diulang 2 tahun kemudian. Hal serupa telah dilaporkan oleh penelitian lainnya (Ditchfield et al., 2004; Hoberman et al., 2003; Jakobsson et al., 1992).

Tidak semua anak dengan ISK memerlukan DMSA scan. Anak dengan ISK derajat rendah, sebenarnya tidak memerlukan DMSA scan. Pemilihan kelompok anak yang memerlukan pemeriksaan ini memerlukan identifikasi anak mana yang lebih berisiko. Britton et al menyebutkan bahwa kelompok anak dengan ISK yang memerlukan DMSA scan adalah mereka yang mengalami gejala sistemik, demam pada usia muda (<1 tahun), ISK berulang, bakteremia, infeksi akibat penyebab yang jarang (Proteus, Klebsiella, Pseudomonas), dan tidak merespon dengan pengobatan.


 

Gambar 2

DMSA Scan Pada Anak Usia 7 Tahun Penderita ISK Berulang, Tampak Penangkapan Radioaktivitas Kurang Yang Menandakan Adanya Jaringan Parut Pada Hampir Seluruh Ginjal Kiri Dan Pada Pool Atas Ginjal Kanan

 


1.    Deteksi Pyelonephritis Akut.

Gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium dari pyelonephritis akut dan pyelitis biasanya tidak spesifik. Pyelitis biasanya tidak menyebabkan kerusakan ginjal sementara pyelonephritis dapat. Terkadang sulit membedakan infeksi traktus urinarius bagian atas atau bawah. Diagnosa pyelonephritis akut memerlukan DMSA scan pada fase akut dan hasil DMSA scan yang normal pada fase ini bisa menyingkirkan kemungkinan terjadinya pyelonephritis. Akan tetapi, hasil pemeriksaan DMSA scan yang abnormal pada fase akut tidak berarti bahwa ginjal akan mengalami kerusakan dan menjadi jaringan parut. Pemeriksaan DMSA scan lanjutan kurang lebih 6 bulan kemudian setelah ISK diperlukan untuk mendeteksi adanya jaringan parut pada ginjal.

Penurunan penangkapan Tc-99m DMSA pada daerah yang mengalami inflamasi akut seperti pada pyelonephritis akut menunjukkan ischemia tahap awal yang mendahului kelainan fungsional. DMSA scan akan menunjukkan hasil yang positif sebelum kerusakan jaringan terjadi. Bila penyakit berlanjut terus menerus dan terbentuk jaringan parut, maka penurunan penangkapan Tc-99m DMSA lebih disebabkan karena kontraksi dan berkurangnya volume ginjal.

DMSA memiliki sensitivitas 87-89% dan spesifitas 100% dalam mendeteksi dan melokalisasi lesi pada ginjal. Lesi yang tidak terlihat  pada DMSA scan biasanya berukuran mikroskopis dan tidak terlihat kasat mata pada pemeriksaan autopsi sekalipun juga tidak berhubungan dengan kerusakan parenkim yang bermakna.

Terkadang sulit untuk membedakan defek fokal akibat pyelonephritis akut dari jaringan parut. Perbedaan khas keduanya adalah pyelonephritis akut ditandai dengan penurunan tangkapan DMSA fokal yang disertai dengan terjaganya kontur ginjal, sementara jaringan parut ditandai dengan penurunan tangkapan DMSA fokal yang disertai dengan hilangnya kontur korteks di daerah tersebut (Mettler Jr & Guiberteau, 2021).


Gambar 3a

DMSA scan pada anak penderita pyelonephritis akut. Gambar 3b. DMSA scan 15 bulan kemudian, tampak resolusi sempurna

 


Dalam konteks klinis, seorang anak dengan demam tinggi namun hasil uji tapis tidak menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, pemeriksaan DMSA scan bisa bermanfaat dalam menegakkan diagnosa. Apabila DMSA scan menunjukkan adanya defek fokal yang mengarah proses inflamasi pada ginjal maka besar kemungkinan terjadinya infeksi ginjal dengan urine yang steril.

2.    Deteksi Jaringan Ginjal Ektopik

Ginjal ektopik merupakan ginjal yang terletak di luar fossa renalis. Ginjal ektopik bisa dibagi menjadi dua jenis yakni ginjal ektopik tipe sederhana bila ginjal masih terletak di ruang retroperitoneal ipsilateral dan ginjal ektopik tipe crossed di mana ginjal terletak di sisi kontralateral. 90% ginjal ektopik tipe ini biasanya mengalami fusi dengan ginjal normal (Rushton et al., 1992)

Ginjal ektopik diduga terjadi pada 1:5000 anak. Kebanyakan ginjal ektopik tidak bergejala dan biasanya terdeteksi secara kebetulan sewaktu dilakukan pencitraan untuk tujuan lainnya.

Penegakan diagnosa ginjal ektopik biasanya dilakukan dengan DMSA scan karena kelebihan Tc-99m DMSA yang masih dapat terikat pada korteks renalis dan diekskresikan secara minimal. Intensitas tangkapan radiofarmaka pada ginjal ektopik juga bisa dianggap sebagai penanda jaringan ginjal yang masih berfungsi. Penghitungan geometric mean juga dapat dilakukan untuk mengetahui besar kontribusi ginjal ektopik tersebut terhadap fungsi ginjal total.


 

Gambar 4

Contoh kasus ginjal ektopik tipe crossed. Gambar A menunjukkan pemeriksaan voiding cystouretrography dengan gambaran VUR derajat III, ginjal kiri membesar dan mengalami malrotasi. Gambar B  menunjukkan DMSA scan ginjal kiri yang mengalami fusi dengan ginjal satunya sehingga berbentuk seperti huruf L. Uptake radiofarmaka masih cukup baik pada kedua ginjal

 


Gambar 4 Contoh kasus ginjal ektopik tipe crossed. Gambar A menunjukkan pemeriksaan voiding cystouretrography dengan gambaran VUR derajat III, ginjal kiri membesar dan mengalami malrotasi. Gambar B menunjukkan DMSA scan ginjal kiri yang mengalami fusi dengan ginjal satunya sehingga berbentuk seperti huruf L. Uptake radiofarmaka masih cukup baik pada kedua ginjal.

3.    Deteksi Kelainan Kongenital.

Adanya kelainan kongenital traktus urinarius yang memerlukan operasi ataupun penanganan lainnya pada anak penderita ISK akan meningkatkan morbiditas dari ISK sendiri. Adanya malformasi ini menjadi salah satu alasan pentingnya dilakukakan DMSA scan pada anak penderita ISK untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal dan morbiditas lainnya. Selain itu, kelainan bawaan juga meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan obstruksi pada traktus urinarius dan lebih rentan untuk mengalami trauma yang berakibat pada menurunnya fungsi ginjal. Berikut adalah beberapa kelainan kongenital yang bisa dideteksi dengan DMSA scan:

1.    Ginjal dupleks,

2.    Ginjal tapal kuda,

3.    Ginjal ektopik,

4.    Posterior urethral valves,

5.    Displasia ginjal.


Gambar 5

DMSA Scan Pada Dysplasia Ginjal. Pada Gambar A, Terlihat DMSA Scan Menunjukkan Ginjal Kiri Berukuran Normal Dan Ginjal Kanan Berukuran Sangat Kecil Sementara Gambar B Menunjukkan CT Scan Dengan Kontras Menunjukkan Ginjal Kanan Berukuran Sekitar 2 Mm Dan Terletak Di Sebelah Muskulus Iliopsoas

 


Gambar 5 DMSA scan pada dysplasia ginjal. Pada gambar A, terlihat DMSA Scan menunjukkan ginjal kiri berukuran normal dan ginjal kanan berukuran sangat kecil sementara gambar B menunjukkan CT scan dengan kontras menunjukkan ginjal kanan berukuran sekitar 2 mm dan terletak di sebelah muskulus iliopsoas (Arena et al., 2007).

4.    Evaluasi Fungsi Ginjal Relatif

Penelitian Fleming et al menunjukkan bahwa Tc-99m DMSA dapat menjadi alternatif Tc-99m DTPA dan Tc-99m MAG3 dalam menghitung fungsi ginjal relatif dengan nilai kesesuaian yang baik. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan penghitungan fungsi ginjal relatif bersamaan dengan DMSA scan untuk indikasi lainnya seperti deteksi jaringan parut pada ginjal anak penderita ISK ataupun pada deteksi dysplasia ginjal.

Untuk meminimalisir kesalahan perhitungan yang mungkin terjadi akibat jarak kedua ginjal yang berbeda cukup signifikan dari kamera, Wujanto et al menyarankan untuk penghitungan geometric mean yang menjadi standar perhitungan fungsi ginjal relatif menggunakan Tc-99m DMSA saat ini. Perhitungan ini dirumuskan sebagai berikut:

 


Gambar 6

Perhitungan Geometric Mean Menggunakan DMSA Scan

 


Kesimpulan

DMSA scan merupakan suatu pemeriksaan penting pada bidang nefrourologi. Akan tetapi saat ini berbagai panduan belum menganjurkan penggunaan DMSA scan untuk menjadi pemeriksaan rutin pada anak penderita ISK sehingga kegunaannya masih terbatas untuk sebatas penelitian saja. Hal ini sangat disayangkan karena DMSA scan mempunyai manfaat besar untuk membantu klinisi terutama untuk deteksi jaringan parut ginjal anak penderita ISK, deteksi pyelonephritis akut, deteksi kelainan kongenital, deteksi ginjal ektopik dan evaluasi fungsi ginjal relative.

Seiring berjalannya ilmu pengetahuan dan munculnya berbagai penelitian terbaru, diharapkan DMSA scan makin menjadi pilihan para klinisi dalam praktek nefrourologi sehari-hari.

 

BIBLIOGRAFI

 

Arena, R., Myers, J., Williams, M. A., Gulati, M., Kligfield, P., Balady, G. J., Collins, E., & Fletcher, G. (2007). Assessment Of Functional Capacity In Clinical And Research Settings: A Scientific Statement From The American Heart Association Committee On Exercise, Rehabilitation, And Prevention Of The Council On Clinical Cardiology And The Council On Cardiovascular Nursing. Circulation, 116(3), 329–343. Google Scholar

 

Cook, G. J. R., Maisey, M. N., & Britton, K. E. (2006). Chengazi Vaseem Clinical Nuclear Medicine. Crc Press, Taylor & Francis Group, 6000, 32742–33487. Google Scholar

 

Ditchfield, C., Tadini, C. C., Singh, R., & Toledo, R. T. (2004). Rheological Properties Of Banana Puree At High Temperatures. International Journal Of Food Properties, 7(3), 571–584. Google Scholar

 

Hoberman, A., Charron, M., Hickey, R. W., Baskin, M., Kearney, D. H., & Wald, E. R. (2003). Imaging Studies After A First Febrile Urinary Tract Infection In Young Children. New England Journal Of Medicine, 348(3), 195–202. Google Scholar

 

Jakobsson, B., Nolstedt, L., Svensson, L., Söderlundh, S., & Berg, U. (1992). 99mtechnetium-Dimercaptosuccinic Acid Scan In The Diagnosis Of Acute Pyelonephritis In Children: Relation To Clinical And Radiological Findings. Pediatric Nephrology, 6(4), 328–334. Google Scholar

 

Karmazyn, B. K., Alazraki, A. L., Anupindi, S. A., Dempsey, M. E., Dillman, J. R., Dorfman, S. R., Garber, M. D., Moore, S. G., Peters, C. A., & Rice, H. E. (2017). Acr Appropriateness Criteria® Urinary Tract Infection—Child. Journal Of The American College Of Radiology, 14(5), S362–S371. Google Scholar

 

Kawamura, J., Hosokawa, S., Yoshida, O., Fujita, T., Ishii, Y., & Torizuka, K. (1978). Validity Of 99mtc Dimercaptosuccinic Acid Renal Uptake For An Assessment Of Individual Kidney Function. The Journal Of Urology, 119(3), 305–309. Google Scholar

 

Kosnett, M. J., & Brent, J. (2016). Succimer (Dmsa). Critical Care Toxicology. Springer International Publishing, 1–5. Google Scholar

 

Merrick, M. V, Uttley, W. S., & Wild, S. R. (1980). The Detection Of Pyelonephritic Scarring In Children By Radioisotope Imaging. The British Journal Of Radiology, 53(630), 544–556. Google Scholar

 

Mettler Jr, F. A., & Guiberteau, M. J. (2021). Occupational Exposure In General Radiology And Nuclear Medicine: A Changing Target. In Radiology (Vol. 300, Issue 3, Pp. 613–614). Radiological Society Of North America. Google Scholar

 

Montgomery, P., Kuhn, J. P., & Afshani, E. (1987). Ct Evaluation Of Severe Renal Inflammatory Disease In Children. Pediatric Radiology, 17(3), 216–222. Google Scholar

 

Roberts, D. (2011). Fatal Invention: How Science, Politics, And Big Business Re-Create Race In The Twenty-First Century. New Press/Orim. Google Scholar

 

Robinson, I., Webber, J., & Eifrem, E. (2015). Graph Databases: New Opportunities For Connected Data. “ O’reilly Media, Inc.” Google Scholar

 

Rushton, H. G., Majd, M., Jantausch, B., Wiedermann, B. L., & Belman, A. B. (1992). Renal Scarring Following Reflux And Nonreflux Pyelonephritis In Children: Evaluation With 99mtechnetium-Dimercaptosuccinic Acid Scintigraphy. The Journal Of Urology, 147(5), 1327–1332. Google Scholar

 


 



Copyright holder:

Raden Erwin Affandi, William Korompis (2022)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: