Jurnal Health Sains: p–ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398     

Vol. 2, No. 12, Desember 2021

 

PROSEDUR KEDOKTERAN NUKLIR PADA ANAK

 

Erwin Affandi Soeriadi, Andrean Utomo

Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Email:  r.erwin@unpad.ac.id, andreanutomo@gmail.com

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 Desember 2021

Direvisi

15 Desember 2021

Disetujui

25 Desember 2021

Anak memiliki perbedaan dengan dewasa dari sisi kematangan organ maupun prevalensi penyakit yang sering terjadi. Hal demikian mengakibatkan perlunya keterampilan khusus dalam mendiagnosa penyakit pada anak. Pencitraan diagnostik kedokteran nuklir merupakan salah satu modalitas untuk penegakan diagnosis penyakit pada anak. Perlu keterampilan dan teknik khusus untuk melakukan prosedur kedokteran nuklir pada anak.  Kerjasama anak, dosis radiofarmaka, dan dosis CT yang diberikan merupakan beberapa faktor penting untuk menunjang pemeriksaan. Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan kedokteran nuklir pada anak dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pencitraan pada anak. Jenis literature review yang digunakan adalah metode narrative review. Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tersebut kami mendapatkan 17 artikel yang berkaitan dengan prosedur dan persiapan tindakan kedokteran nuklir pada anak.

 

ABSTRACT

Childrens are different from adults in terms of organ maturity and the prevalence of diseases that often occur. Because of that, there are need for special skills in diagnosing diseases in children. Nuclear medicine diagnostic imaging is one of the modalities for diagnosing diseases in children. It takes special skills and techniques to perform nuclear medicine procedures in children. The cooperation of the child, the dose of radiopharmaceutical, and the dose of CT given are several important factors to support the examination. The purpose of this literature review is to discuss the preparation needed to carry out nuclear medicine examinations on children and the things that need to be considered in performing imaging on children. The type of literature review used is the narrative review method. Based on the criteria of inclusion and exclusion we get 17 articles related to the procedure and preparation of nuclear medicine actions in children.

Kata Kunci:

pediatrik; kedokteran nuklir; prosedur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

pediatric; nuclear medicine; prosedure and special consideration


 


Pendahuluan

Pencitraan diagnostik kedokteran nuklir pada anak memerlukan keterampilan dan teknik khusus. Lebih dari itu, pembacaan skintigrafi pada citra planar, SPECT, maupun PET yang dilakukan pada anak tidak sama seperti dewasa. Hal itu dikarenakan beberapa penyakit dan cara diagnosis pada anak berbeda dengan dewasa. Hal utama lain yang membedakan anak dan dewasa adalah adanya perkembangan pada organ organ anak yang membuat perbedaan pola pada citra. Persiapan pencitraan yang diperlukan pada anak juga berbeda dibanding dewasa. Kerjasama anak diperlukan agar dapat pencitraan dapat berlangsung dengan baik. Dosis radiofarmaka dan dosis CT yang diberikan pada anak juga berbeda dibandingkan orang dewasa untuk meminimalisasi efek radiasi (Bielsa, 2017).

   Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan kedokteran nuklir pada anak dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pencitraan pada anak.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan atau literature review.

Jenis literature review yang digunakan adalah metode narrative review. Kami mencari artikel yang relevan dengan materi dari Pubmed dengan artikel berbahasa Inggris. Kami menggunakan kata kunci seperti: nuclear pediatric scan, pediatric nuclear procedure, nuclear medicine in pediatric.

Kami melakukan inklusi artikel dan review artikel, kemudian mengeksklusi artikel yang tidak berbahasa Inggris. Semua artikel dianalisis untuk didiskusikan mengenai prosedur dan persiapan tindakan kedokteran nuklir pada anak.

 

Hasil dan Pembahasan

A.   Hasil Penelitian

Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tersebut kami mendapatkan 17 artikel yang berkaitan dengan prosedur dan persiapan tindakan kedokteran nuklir pada anak. Artikel tersebut dapat merupakan penelitian, systematic review, guideline maupun case-report.

B.   Pembahasan

1.    Sejarah dan perkembangan kedokteran nuklir anak

Kedokteran nuklir anak merupakan tindakan pencitraan non invasif pada anak yang memiliki nilai klinis yang tinggi dan dosimetri yang rendah. Kedokteran nuklir anak menggunakan teknik yang serupa pada dewasa, dengan menyesuaikan dosis yang diberikan sesuai berat dan umur anak, menggunakan dosimetri yang lebih kecil, dan menggunakan alat yang paling sensitif dengan resolusi tinggi. Sekarang ini kedokteran nuklir anak telah memiliki komunitas ilmiah di seluruh dunia. Di Eropa, komunitas ilmiah ini sangat aktif dalam publikasi buku maupun karya tulis ilmiah, menyelenggarakan pendidikan kedokteran berkelanjutan pada kongres, pelatihan IAEA dan EANM, ataupun simposium ESOPNM (European Symposium on Paediatric Nuclear Medicine) (Bielsa, 2017).

Studi pertama dalam kedokteran nuklir anak dilakukan pada tiroid tahun 1946 dan artikel ilmiah pertama ditulis pada tahun 1947 menjelaskan kelenjar tiroid normal dan kelainan kelenjar tiroid pada anak. Pada tahun 1960an, mulai ditulis artikel-artikel ilmiah pertama mengenai renogram, otak, dan kardiologi. Mulai tahun 1970, jumlah publikasi artikel ilmiah pada kedokteran nuklir anak mencapai puncaknya dan sejak akhir tahun 1980 jumlah artikel ilmiah yang terpublikasi cenderung stabil (Bielsa, 2017).

Banyak orang yang dapat disebutkan berperan memulai subspesialisasi kedokteran nuklir anak, akan tetapi hampir tidak mungkin untuk menyebutkan mereka semua satu persatu karena setiap orang berperan dalam publikasi buku, artikel ilmiah, dan menyelengarakan acara-acara maupun pelatihan dalam bidang kedokteran nuklir anak (Bielsa, 2017).


Gambar 1

Pertemuan ESOPNM, sejak 1992 hingga 2016

 

Gambar 2

Kronologi Jumlah Artikel Ilmiah Terpublikasi

 


2.    Teknik Kedokteran Nuklir Anak

Banyak tindakan kedokteran nuklir anak yang tidak atau hanya mengalami sedikit perubahan selama bertahun-tahun dikarenakan kegunaan klinis yang masih tinggi, seperti renogram, sidik DMSA, sidik hepatobilier, sidik divertikel Meckel, dan sidik tulang. Dikarenakan pada anak kita mencitra organ yang kecil dengan pemberian dosis radiofarmaka yang kecil, maka teknik yang tepat dan kamera gamma yang paling sensitif sangat diperlukan. Kolimator pin-hole sebaiknya dimiliki untuk mencitra organ kecil seperti tiroid atau kepala tulang paha pada bayi (Bielsa, 2017).

Dalam melakukan pencitraan pada anak, perlu diciptakan suasana yang ramah anak sebelum kedatangan tiap pasien. Penggunaan sedasi dan anestesi dibatasi seminimal mungkin jika dimungkinkan, namun apabila diperlukan, dilakukan oleh orang yang kompeten dibidangnya (Michael J. Gelfand, Crysta Clements, & Joseph R. MacLean, 2017).

a.       Suasana Ramah Anak

Suasana yang ramah anak akan membuat anak lebih tenang. Ruangan pemeriksaan dapat didekorasi menggunakan stiker yang ditempel pada dinding ataupun kamera. Atap ruang pemeriksaan juga dapat diberi gambar menarik agar dapat mengalihkan perhatian anak dari alat alat dan prosedur yang akan dilakukan. Para staf medis juga dapat menggunakan pakaian cerah agar membuat anak tidak takut. Setelah prosedur, hadiah seperti stiker dapat diberikan kepada anak. Anak dapat diberikan aktivitas yang menyenangkan jika ada waktu tunggu antara penyuntikan radiofarmaka dengan pencitraan (Michael J. Gelfand et al., 2017).


 

ttps://res.cloudinary.com/baptisthealth/image/upload/c_fill,h_585,w_1800/v1504275248/WolfsonChildrens/Se

Gambar 3

Contoh Ruang Pemeriksaan Di Wolfson Children’s Hospital

 


b.    Persiapan Sebelum Pencitraan

Dalam pemeriksaan pada anak, diperlukan perencanaan khusus untuk tiap anak. Terkadang tim yang terdiri dari perawat, dokter, teknologis perlu membuat perencanaan pemeriksaan dengan mempertimbangkan perkembangan dan tingkah laku anak. Perencaan tersebut membantu agar anak dapat bekerja sama dan tindakan pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat dan efektif. Orang tua sebisa mungkin hadir saat pemeriksaan. Jika dimungkinkan anak dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan agar dia merasa memiliki kebebasan. Penting diperhatikan agar menggunakan kalimat yang mudah dimengerti anak dan hindari menggunakan terminologi kedokteran yang tidak dimengerti (Michael J. Gelfand et al., 2017). Studi yang dilakukan pada saat melakukan MRI pada anak menunjukkan bahwa, melakukan simulasi latihan pemeriksaan atau menunjukan video pemeriksaan sebelum pemeriksaan dapat meningkatkan keberhasilan pemeriksaan dan cara ini juga dapat digunakan untuk tindakan kedokteran nuklir (de Bie et al., 2010; Rothman, Gonen, Vodonos, Novack, & Shelef, 2016).

c.       Pengalih Perhatian

Beberapa macam pengalih perhatian dapat digunakan agar pencitraan dapat berjalan lancar. Mainan kecil dapat digunakan untuk menenangkan anak dan mengurangi pergerakan anak selama pemeriksaan. Untuk anak lebih dewasa, video dapat diputar selama pemeriksaan. Jika anak dapat menggerakan kepalanya saat pemeriksaan, seperti saat pemeriksaan divertikel Meckel, maka anak dapat menonton video dengan cara menolehkan kepalanya ke samping. Peran orang tua juga sangat penting dalam menenangkan dan mengalihkan perhatian anak. Jika prosedur pemeriksaan mengharuskan anak untuk tidak menggerakan kepala dan detektor kamera menghalangi pandangan anak, maka kacamata khusus yang dapat memutarkan video dapat digunakan. Kacamata khusus pemutar video ini merupakan alat pengalih perhatian yang efektif untuk anak usia 4 tahun sampai remaja. Pemilihan kacamata tersebut sebaiknya yang mengandung sedikit metal agar artefak yang dihasilkan minimal (Gelfand, Rich, Kist, & Harris, 2014; Michael J. Gelfand et al., 2017).


 

Gambar 4

Pasien Dengan Kacamata Pemutar Video

 


d.    Sedasi dan anestesi

Tindakan sedasi sebisa mungkin dihindarkan pada anak dengan cara menenangkan anak yang telah disebutkan diatas. Untuk memimalisasi rasa nyeri yang ditimbulkan akibat penyuntikan anestesi lokal seperti lidocain topikal dapat diberikan jika ada 1-2 jam sebelum penyuntikan (Mandell, Cooper, Majd, Shalaby-Rana, & Gordon, 1997). Pemberian krim anestesi, gel lidocain, spray ethylchloride, ataupun penahan nyeri topikal lainnya juga dapat diberikan pada daerah penyuntikan untuk meminimalkan rasa nyari saat disuntik (Michael J. Gelfand et al., 2017). Akan tetapi, jika anak masih terlalu kecil untuk dapat bekerja sama, tindakan sedasi dapat dilakukan. Biasanya tindakan sedasi dilakukan pada anak dibawah usia sekolah dan untuk pemeriksaan dengan waktu yang singkat. Pemberian tindakan sedasi dan anestesi harus dilakukan oleh dokter yang berpengalaman di bidangnya dan perawat harus memonitor tanda-tanda vital anak. Pulse oksimetri harus digunakan untuk memantau tanda vital anak. Alat-alat resusitasi harus tersedia dan petugas kesehatan yang terlibat harus dapat menggunakannya. Apabila dilakukan anestesi umum, maka dokter anestesi harus mendampingi anak (Michael J. Gelfand et al., 2017).

Obat obatan terpilih yang digunakan untuk sedasi adalah obat peroral, akan tetapi obat intravena dapat digunakan tergantung dari berbagai faktor (usia, keterampilan operator, durasi pemeriksaan, kontraindikasi obat, ketersediaan obat dan antidotum, serta ketersediaan alat resusitasi). Obat peroral yang umum digunakan adalah chlorine hydrate dan sodium pentobarbital. Chlorine hydrate sebesar 50-75mg/kg cocok untuk bayi dan balita sampai berat 15 kg, dikarenakan efektivitasnya dalam sedasi jangka pendek dan toksisitas yang rendah. Untuk anak yang lebih besar, obat intrevena lebih dipilih. Obat intravena yang dapat digunakan berupa golongan barbiturate (sodium pentobarbital), opiate (meperidine dan fentanyl), dan benzodiazepine (diazepam dan midazolam). Sodium pentobarbital (barbiturat) dosis 2-6mg/kg lebih sering digunakan karena efeknya yang singkat dan rendahnya insidensi depresi nafas. Opiat dan benzodiazepine lebih jarang digunakan (Mandell et al., 1997; Vlajković & Matović, 2012).

e.       Pemberian Radiofarmaka

Radiofarmaka yang diberikan pada anak dapat berupa oral maupun intravena tergantung prosedur yang dilakukan. Pemberian oral dilakukan untuk prosedur waktu pengosongan lambung. Radiofarmaka yang diberikan untuk oral dicampur dengan bahan makanan yang biasa dimakan oleh anak (telur atau keju untuk uji pengosongan lambung makanan padat atau susu untuk uji pengosongan lambung cairan).

Untuk pemberian radiofarmaka secara intravena, pemilihan ukuran jarum yang tepat sangat menentukan keberhasilan pemberian radiofarmaka. Penggunaan wing needle, three way, ataupun kateter intravena dapat dipertimbangkan untuk mengurangi resiko pembuluh darah pecah saat disuntik dan untuk memberikan akses bolus dengan air saline. Dalam melakukan penyuntikan, setidaknya perlu 2 atau lebih orang untuk melakukan. Orang tua selalu ada untuk memberi ketenangan pada anak, akan tetapi jangan meminta orang tua untuk memegangi anak. Apabila umur anak sudah cukup besar dan prosedur tindakan memungkinkan, anak bisa dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk disuntik dalam posisi duduk atau tidur sehingga anak merasa punya kebebasan memilih (Michael J. Gelfand et al., 2017).

3.    Penyesuaian Dosis Radiofarmaka Pada Anak

Dosis radiofarmaka yang diberikan pada anak harus disesuaikan (lebih rendah daripada dosis dewasa). Pada awalnya ada banyak cara untuk menyesuaikan dosis pada anak misalkan berasarkan usia, berat badan, ataupun luas permukaan tubuh. Berikut adalah beberapa metode yang dipakai dalam penyesuaian dosis anak (Accorsi, Karp, & Surti, 2010; Gelfand, Parisi, & Treves, 2011; Michael J. Gelfand et al., 2017; Piepsz et al., 1990).


 

 

 

 

Tabel 1

Berbagai Rumus Penyesuaian Dosis Anak

Metode

Rumus

Berat badan secara langsung

Clark

Young

Webster

Solomon (Fried)

Area luas permukaan tubuh

Panduan kartu dosis anak EANM


 

Bila merujuk pada beberapa rumus di atas. Maka akan terdapat perbedaan hasil konversi dosis antara rumus satu dengan yang lainnya (Piepsz et al., 1990). Penggunaan konversi berdasarkan umur tidak direkomendasikan karena akan menghasilkan dosis yang besar pada bayi jika dibandingkan dengan menggunakan berat badan atau luas permukaan tubuh sehingga menimbulkan beban radiasi yang tinggi (Gelfand et al., 2011; Gordon, 2006). Pemilihan konversi yang paling tepat adalah menggunakan area luas permukaan tubuh karena perkembangan berbagai organ sangat berkaitan erat dengan luas permukaan tubuh. Berat badan digunakan untuk menentukan luas permukaan tubuh dan berat badan juga memiliki korelasi yang baik dengan perkembangan berbagai organ. Dikarenakan berat badan lebih mudah diukur, maka berat badan dapat digunakan untuk konversi dosis (Gordon, 2006; Piepsz et al., 1990; Ziessman, O'Malley, & Thrall, 2013).

Untuk menyelaraskan dosis radiofarmaka pada anak, EANM (European Association of Nuclear Medicine) dan SNMMI (Society of Nuclear Medicine and Molecular Imaging) membuat panduan dosis anak yang merupakan harmonisasi dari beberapa panduan sebelumnya yang sudah ada. Pada kongres EANM tahun 2012 panduan dosis anak tersebut disahkan dan digunakan sebagai panduan dosis anak sampai saat ini. Pada panduan tersebut, golongan radiofarmaka terbagi menjadi 3 dan dosis yang diperlukan tergantung dari jenis radiofarmaka yang digunakan. Adapun formula terbaru yang digunakan pada kartu dosis anak tersebut adalah sebagai berikut: (M. Lassmann et al., 2007; Michael Lassmann & Treves, 2014).

A(MBq) = aktivitas dasar * faktor pengali

A: aktivitas / dosis radiofarmaka yang diinjeksikan dalam MBq.

Aktivitas dasar : aktivitas radiofarmaka yang diberikan pada anak berat 3 kg.

Faktor pengali     : faktor pengali berdasarkan berat badan dan kelas radiofarmaka.


Gambar 5

Faktor Pengali Berdasar Aktivitas Dasar EANM 2007

 


Untuk tabel aktivitas dasar yang sekarang digunakan adalah menurut panduan kartu dosis anak EANM 2014 versi 2 yang dipublikasi oleh EANM pada Agustus 2016 ("Dosage Card," 2016).


../../../../../Downloads/WhatsApp%20Image%202020-05-04%20at%203.54.56%20AM

Gambar 6

Tabel Faktor Pengali Dan Kelas Radiofarmaka


Selain panduan kartu dosis obat diatas, EANM juga membuat kalkulator dosis anak berdasarkan kartu dosis anak 2014 yang dapat didownload ataupun diakses pada webpage EANM untuk memudahkan klinisi dalam menghitung dosis radiofarmaka yang dibutuhkan.

4.    Paparan CT scan

Dalam studi hybrid menggunakan SPECT/CT maupun PET/CT, penggunaan CT lebih ditujukan untuk koreksi atenuasi dan lokalisasi anatomi, oleh karena itu penyesuaian parameter CT scan perlu dilakukan untuk memberikan paparan minimal dengan citra yang baik. Penyesuaian parameter CT yang dapat dilakukan berbeda beda untuk tiap keluaran CT scan dan tahun keluaran yang digunakan (Michael J. Gelfand et al., 2017). Contoh parameter yang dapat diatur berupa tube voltage (kVp) dan tube current (mAs). Selain itu akuisisi CT scan juga dapat diatur untuk mengurangi paparan radiasi, seperti mengurangi emisi x-ray pada daerah yang lebih tipis dan kurang membuat atenuasi (seperti paru), membatasi CT hanya pada daerah tubuh yang dicurigai ada kelainan dan tidak pada seluruh daerah yang dilakukan SPECT atau PET, dan melakukan CT dengan kecepatan yang lebih tinggi (Vlajković & Matović, 2012).

5.    Faktor Lain Yang Dapat Mempengaruhi Kualitas Citra

Pada citra dinamik, agar mendapat kualitas citra ideal dengan dosis radiofarmaka serendah mungkin, dapat dilakukan beberapa penyesuaian akuisisi. Pemilihan waktu terhadap gambar (time to image) harus cukup cepat agar dapat melihat perubahan distribusi radiofarmaka di dalam tubuh, namun harus cukup waktu agar dapat dicitra dengan baik.

Contoh kasus pada divertikulum Meckel, pengambilan gambar tiap 4-5 menit cukup untuk menggambarkan perubahan distribusi radiofarmaka dalam tubuh, oleh karena itu dosis yang digunakan dapat disesuaikan agar mendapat citra yang baik dalam waktu 4-5 menit. Contoh lain pada studi renogram, untuk membuat kurva renogram dan penghitungan fungsi ginjal, perlu akuisi 30 detik/gambar. Akan tetapi gambar tiap 2 menit sudah cukup untuk melihat perubahan distribusi radiofarmaka secara visual, oleh karena itu dosis radiofarmaka yang diberikan dapat disesuaikan untuk mendapat citra yang baik dalam waktu 2 menit. Dalam akuisisi, parameter yang digunakan adalah 30 detik/gambar, tetapi gambar tersebut direkonstruksi menjadi 2 menit/gambar untuk interpretasi visual. Pemilihan filter yang baik pada citra SPECT juga dapat meningkatkan kualitas gambar (OSEM iterative dengan resolusi 3D lebih baik dibandingkan filtered back projection) (Michael J. Gelfand et al., 2017).


Gambar 7

Pemeriksaan Tc-99m MAG3

 


Pada anak kecil, fase flow sulit didapatkan karena anak cenderung akan bergerak saat pemeriksaan. Pengambilan fase blood pool setelah anak disuntik lebih disarankan. Pada anak kecil, hanya sedikit situasi dimana fase flow memberikan infomasi klinis penting. Situasi dimana fase flow perlu dilakukan terbatas pada pasien distrofi refelks simpatis / sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome) yang menjalani pemeriksaan sidik tulang 3 fase dan beberapa pasien anak dengan hipertensi / evaluasi transplantasi ginjal yang akan dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal. Pada kebanyakan kasus, fase flow tidak diperlukan pada anak (Michael J. Gelfand et al., 2017).

Memposisikan anak saat pencitraan juga penting untuk mendapatkan citra optimal dan menghindari pengulangan prosedur. Saat citra seluruh tubuh, kepala lurus menghadap ke atas, kedua tangan di sisi tubuh dengan telapak tangan menghadap ke bawah, pinggul menempel ke meja, dan kaki lurus dengan kedua jempol didekatkan agar membentuk posisi rotasi interna. Pemberian handuk / kain yang digulung diantara kedua tumit dapat membantu anak mempertahankan posisi rotasi interna pada kaki. Dalam posisi rotasi interna, kedua tulang tibia dan fibula dapat terlihat seluruhnya. Selain itu, jika pinggul berada dalam posisi rotasi eksterna, bagian apofisis dari trokanter mayor dapat menumpuk ke leher femu dan mengakibatkan artefak pada leher femur yang seharusnya tidak terjadi apabila kedua pinggul diposisikan posisi rotasi internal (Michael J. Gelfand et al., 2017).

 


Gambar 8

Perbandingan Foto Rotasi Interna Dan Eksterna

 


Waktu tunggu antara pemberian radiofarmaka dengan pencitraan pada anak juga memiliki beberapa perhatian khusus. Untuk sidik tulang, waktu tunggu pada anak dapat berkisar antara 60-90 menit (dibandingkan 180 menit waktu tunggu pada dewasa) dikarenakan Tc-99m diphosphonate dikeluarkan dari jaringan lunak lebih cepat pada anak dibandingkan pada dewasa. Untuk citra F-18 FDG PET/CT, sangat penting untuk mencegah penangkapan pada jaringan lemak coklat (brown adipose tissue), yang banyak pada anak dan remaja, dengan menempatkan anak pada ruangan hangat lalu memberi selimut hangat 30-45 menit sebelum penyuntikan radiofarmaka dan saat waktu tunggu pencitraan. Obat untuk mencegah penangkapan pada jaringan lemak coklat (seperti diazepam, fentanyl, atau propanolol) juga dapat digunakan dengan memperhatikan dosis maupun kontraindikasi yang ada (Michael J. Gelfand et al., 2017; Stauss et al., 2008).


Gambar 9

Hasil F-18 FDG PET Dengan Persiapan Yang Tidak Baik Dan Yang Baik


 

Kesimpulan

Pencitraan kedokteran nuklir pada anak memiliki beberapa perbedaan dengan pencitraan pada dewasa. Beberapa teknik pencitraan dan cara interpretasi pada anak memerlukan keahlian khusus. Amat penting untuk menguasai teknik pencitraan anak agar mendapat hasil yang maksimal dengan beban radiasi serendah mungkin. Tidak kalah penting pula untuk mengetahui penangkapan fisologis pada anak agar dapat menginterpretasi hasil citra dengan tepat.

 

BIBLIOGRAFI

 

Accorsi, R., Karp, J., & Surti, S. (2010). Improved Dose Regimen In Pediatric Pet. J Nucl Med, 51, 293-300. Google Scholar

 

Bielsa, I. R. (2017). Pediatric Nuclear Medicine And Its Development As A Specialty. Semin Nucl Med, 47(2), 102-109. Retrieved From Https://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pubmed/28236998. Google Scholar

 

De Bie, H. M. A., Boersma, M., Wattjes, M. P., Adriaanse, S., Vermeulen, R. J., Oostrom, K. J., . . . Delemarre-Van De Waal, H. A. (2010). Preparing Children With A Mock Scanner Training Protocol Results In High Quality Structural And Functional Mri Scans. European Journal Of Pediatrics, 169(9), 1079-1085. Retrieved From Https://Pubmed.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/20225122. Google Scholar

 

Dosage Card. (2016). Retrieved From Https://Www.Eanm.Org/Publications/Dosage-Card/ Google Scholar

 

Gelfand, M., Parisi, M., & Treves, S. (2011). Pediatric Radiopharmaceutical Administered Doses: 2010 North American Consensus Guidelines. J Nucl Med, 52, 318-322. Google Scholar

 

Gelfand, M., Rich, A., Kist, C., & Harris, J. (2014). Use Of Video Goggles For Patient Distraction During Pet/Ct Studies Of School Age Children. Journal Of Nuclear Medicine, 55(Supplement 1), 2004-2004. Retrieved From Http://Jnm.Snmjournals.Org/Content/55/Supplement_1/2004.Abstractn2.  Google Scholar

 

Gordon, I. (2006). Pediatric Imaging. In G. J. R. Cook, M. N. Maisey, K. E. Britton, & V. Chengazi (Eds.), Clinical Nuclear Medicine (4 Ed., Pp. 108-109): Crc Press. Google Scholar

 

Lassmann, M., Biassoni, L., Monsieurs, M., Franzius, C., Jacobs, F., For The, E. D., & Paediatrics, C. (2007). The New Eanm Paediatric Dosage Card. European Journal Of Nuclear Medicine And Molecular Imaging, 34(5), 796-798. Retrieved From. Google Scholar

 

Lassmann, M., & Treves, S. T. (2014). Paediatric Radiopharmaceutical Administration: Harmonization Of The 2007 Eanm Paediatric Dosage Card (Version 1.5.2008) And The 2010 North American Consensus Guidelines. Eur J Nucl Med Mol Imaging. Google Scholar

 

Mandell, G. A., Cooper, J. A., Majd, M., Shalaby-Rana, E. I., & Gordon, I. (1997). Procedure Guideline For Pediatric Sedation In Nuclear Medicine. Society Of Nuclear Medicine. J Nucl Med, 38(10), 1640-1643. Google Scholar

 

Michael J. Gelfand, M., Crysta Clements, C., & Joseph R. Maclean, C. (2017). Nuclear Medicine Procedures In Children: Special Considerations. Seminars In Nuclear Medicine, 47(2), 110-117. Google Scholar

 

 

 

Piepsz, A., Hahn, K., Roca, I., Ciofetta, G., Toth, G., Gordon, I., . . . Paediatric Task Group European Association Nuclear Medicine, M. (1990). A Radiopharmaceuticals Schedule For Imaging In Paediatrics. European Journal Of Nuclear Medicine, 17(3), 127-129. Retrieved From. Google Scholar

 

Rothman, S., Gonen, A., Vodonos, A., Novack, V., & Shelef, I. (2016). Does Preparation Of Children Before Mri Reduce The Need For Anesthesia? Prospective Randomized Control Trial. Pediatr Radiol, 46(11), 1599-1605. Google Scholar

 

Stauss, J., Franzius, C., Pfluger, T., Juergens, K. U., Biassoni, L., Begent, J., . . . Højgaard, L. (2008). Guidelines For 18 F-Fdg Pet And Pet-Ct Imaging In Paediatric Oncology. European Journal Of Nuclear Medicine And Molecular Imaging, 35(8), 1581-1588. Google Scholar

 

Vlajković, M., & Matović, M. (2012). Diagnostic Nuclear Medicine In Pediatric Oncology-What We Should Know Before Scanning? Google Scholar

 

Ziessman, H. A., O'malley, J. P., & Thrall, J. H. (2013). Nuclear Medicine: The Requisites (4 Ed.): Elsevier Health Sciences. Google Scholar

 

 


Copyright holder:

Erwin Affandi Soeriadi, Andrean Utomo (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: