Jurnal Health Sains: p–ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398     

Vol. 2, No. 9, September 2021

 

PENGARUH TERAPI LAYERING KRIM CYSTEAMINE 5% DAN ASAM TRANEKSAMAT 3% TERHADAP SKOR MASI PASIEN MELASMA

 

Putti Fatiharani Dewi, Ummi Rinandari, Fiska Rosita, Arie Kusumawardani, Nugrohoaji Dharmawan, Moerbono Mochtar

Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

Emailputtifdewidr@gmail.com, ummirinandari@gmail.com, fiska_r@student.uns.ac.id, arie_dr2008@yahoo.com, inugie.121@gmail.comfiska_r@student.uns.ac.id

 

info artikel

abstraK

Diterima

5 September 2021

Direvisi

15 September 2021

Disetujui

25 September 2021

Melasma merupakan kelainan hipermelanosis didapat yang timbul khas pada area kulit yang sering terpapar sinar matahari. Terapi melasma relatif sulit karena sering timbul kronisitas pada melasma. Hingga saat ini terapi dengan formula Kligman masih menjadi pilihan, namun formula Kligman mempunyai beberapa efek samping terutama untuk pemakaian jangka lama. Cysteamine bekerja dengan menghambat enzim tirosinase. Asam traneksamat bekerja dengan menghambat aktivitas plasmin di keratinosit yang diketahui sebagai stimulator aktivitas tirosinase Tujuan penelitian membuktikan dan menganalisa efektivitas terapi layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% dibandingkan formula Kligman modifikasi pada penderita melasma terhadap perbaikan skor MASI. Metode penelitian eksperimental, pre and post control grup design double-blind randomized controlled trial dengan 28 sampel pasien melasma yaitu kelompok A menggunakan layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% dibandingkan dengan kelompok B menggunakan formula Kligman modifikasi (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluocinolone acetonide 0,01%). Penilaian dan pengukuran efektivitas terapi dilakukan saat minggu ke-0, 2, 4 dan 8, dengan penilaian skor MASI. Analisis yang digunakan adalah uji t-berpasangan dan uji Wilcoxon. Uji statistik dianggap bermakna jika p<0,05. Hasil penelitian penurunan selisih skor MASI pada kelompok A didapat pada minggu ke-4 dan minggu ke-8, sedangkan kelompok B pada minggu ke-8. Perbedaan selisih perubahan skor MASI antara kelompok A dan kelompok B pada minggu ke-4 dan 8 menunjukan perbedaan yang signifikan (p=0,025 dan p=0,003). Kesimpulan kesimpulan terapi layering cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% menunjukkan penurunan selisih skor MASI lebih awal dibanding terapi krim Kligman modifikasi.

 

ABSTRACT

Melasma is a hypermelanosis disorder that arises typical of areas of the skin that are often exposed to sunlight. Melasma therapy is relatively difficult because there is often chronicity in melasma. Until now therapy with Kligman formula is still an option, but kligman formula has some side effects, especially for long-term use. Cysteamine works by inhibiting the enzyme tyrosinase. Traneksamat acid works by inhibiting the activity of plasmin in keratinocytes known as stimulators of tyrosinase activity The purpose of the study proved and analyzed the effectiveness of cysteamine cream layering therapy 5% and tranexilic acid 3% compared to kligman formula modification in melasma sufferers to improve MASI score. Experimental research method, pre and post control group design double-blind randomied controlled trial with 28 samples of melasma patients namely group A using layering cysteamine cream 5% and traneksamat acid 3% compared to the group of patients melasma i.e. group A using layering cysteamine cream 5% and traneksamat acid 3% compared to the group of patients. Assessment and measurement of the effectiveness of therapy is carried out during weeks 0, 2, 4 and 8, with an assessment of MASI score. The analysis used is the t-pair test and the Wilcoxon test. Statistical tests are considered meaningful if p<0.05. The results of the study decreased the difference in MASI score in group A obtained in week 4 and week 8, while group B in week 8. The difference in the difference in MASI score change between group A and group B in weeks 4 and 8 indicates a significant difference (p=0.025 and p=0.003). Conclusion of 5% layering cysteamine therapy and 3% tranex acid indicates a decrease in the difference in MASI score earlier than modified Kligman cream therapy.

Kata Kunci:

cysteamine; asam traneksamat; kligman modifikasi; melasma

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

cysteamine; tranexamic acid; modified kligman; melasma



 

 

 


Pendahuluan

Melasma merupakan kelainan pigmentasi umum yang banyak diderita wanita berkulit gelap terutama yang memiliki tipe kulit III-IV (Zou et al., 2017). Kelainan ini ditandai dengan makula atau patch ireguler berwarna coklat pada area yang terpapar matahari terutama wajah. Melasma dapat dipicu oleh berbagai faktor antara lain paparan sinar matahari, genetik maupun hormonal (Rajanala et al., 2019).

Melasma dapat mengenai semua kelompok ras, namun menurut beberapa penelitian dominan terjadi pada ras Hispanik, Afrika dan Asia dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi (Cestari & Buster, 2017). Prevalensi melasma bervariasi dari 9% pada populasi hispanik di Amerika Serikat hingga 40% pada populasi Asia Tenggara (Rodrigues et al., 2019). Rasio prevalensi melasma antara wanita dan pria adalah sekitar 9:1 dengan mayoritas kasus terjadi pada wanita usia reproduktif yaitu 20-40 tahun. Prevalensi menurun setelah menopause menunjukkan keterlibatan hormonal menjadi salah satu patogenesis penting dari melasma (Cestari & Buster, 2017).

Etiopatogenesis yang mendasari melasma masih belum jelas dan terus diteliti hingga saat ini. Beberapa faktor diduga berperan dalam memicu melasma antara lain radiasi ultraviolet (UV), genetik, faktor hormonal seperti kehamilan serta pil kontrasepsi, kosmetik, gangguan tiroid dan obat-obatan tertentu seperti obat antiepilepsi (Etnawati et al., 2018). Gambaran klinis melasma memiliki karakteristik sebagai pigmentasi coklat terang hingga gelap dengan tepi difus pada area sentral wajah (Rodrigues et al., 2019). Berdasar distribusinya terdapat tiga pola klinis dari melasma yaitu sentrofasial, malar dan mandibular. Melasma juga dapat dikelompokkan berdasar derajat deposisi melanin pada kulit. Pembagian ini berupa tipe epidermal, dermal dan campuran. Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat membantu untuk membedakan tipe-tipe melasma berdasar deposisi melaninnya (Rivas et al., 2013).

Derajat keparahan melasma dapat diukur dengan menggunakan alat ukur The Melasma Area and Severity Index (MASI). Alat ukur ini memberikan pengukuran derajat keparahan melasma yang lebih akurat secara kuantitas. Skor MASI memiliki nilai validasi dan reliabilitas yang juga baik dibandingkan dengan pengukuran indeks melanin menggunakan mexameter (Pandya et al., 2011).

Terapi melasma hingga saat ini masih merupakan tantangan bagi para klinisi dengan hasil yang inkosisten dan seringkali mengalami relaps (Passeron & Picardo, 2018) Hingga saat ini terapi topikal masih menjadi lini pertama dalam tatalaksana melasma. Hidrokuinon termasuk salah satu agen depigmentasi yang telah digunakan sebagai terapi baku emas melasma dari tahun 1960, namun penggunaannya hingga saat ini masih menjadi kontroversial karena sifatnya yang toksik dan menimbulkan berbagai efek samping antara lain dermatitis kontak, hiperpigmentasi pasca inflamasi, ookronosis dan diskolorisasi kuku pada konsentrasi 2-5% (Couteau & Coiffard, 2016). Kombinasi terapi hidrokuinon dengan agen depigmentasi lain yaitu retinoid dan kortikosteroid atau dikenal dengan formula Kligman dinilai lebih efektif dan aman dibanding terapi hidrokuinon tunggal. Formula Kligman rupanya masih menimbulkan beberapa efek samping antara lain eritema, ekskoriasi, iritasi, kondisi kulit kering dan atrofi kulit (Rivas et al., 2013). Oleh karena efek samping dari hidrokuinon dan formula Kligman perlu dikembangkan terapi alternatif dari melasma salah satunya adalah cysteamine dan asam traneksamat (Karrabi et al., 2020).

Cysteamine hydrochloride (ß–mercaptoethylanine hydrochloride) secara natural dapat diproduksi oleh tubuh manusia melalui degradasi asam amino L-cysteine. Molekul thiol pada cysteamine dapat menghambat enzim tirosinase serta menangkap dan menghilangkan dopaquinone dalam proses melanogenesis (Karrabi et al., 2020). Pada beberapa penelitian, cysteamine dapat menimbulkan efek iritatif pada kulit, oleh karena itu tolerabilitas penggunaan cysteamine pada kulit adalah berkisar 15 menit hingga 2 jam (Lima et al., 2020).

Asam traneksamat (trans-4-aminomethylcyclohexanecarboxylic acid) merupakan agen antifibrinolitik yang saat ini telah banyak diteliti sebagai agen depigmentasi pada melasma. Asam traneksamat bekerja dengan menghambat aktivitas plasmin di keratinosit sehingga menurunkan kadar asam arakidonat bebas dan mengurangi produk prostaglandin yang diketahui sebagai stimulator aktivitas tirosinase (Perper et al., 2017). Asam traneksamat memiliki beberapa profil efek samping, sehingga pemberian topikal dianggap lebih aman karena tidak terdapat penyerapan sistemik (Grimes, 2018)

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan dan menganalisis efektivitas terapi layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% dibandingkan formula Kligman modifikasi pada pasien melasma. Teknik layering kedua bahan diharapkan dapat bersinergi sebagai agen depigmentasi pada kelainan melasma. Tujuan khusus penelitian ini adalah membuktikan efektivitas terapi layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% dibandingkan formula Kligman modifikasi dalam menurunkan skor MASI pasien melasma.

 

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.  Pembuatan krim cysteamine 5%, asam traneksamat 3% dan krim formula Kligman modifikasi dilakukan di Laboratorium Lipwih Synergy Lab Jakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan rancangan pre and posttest control group design double-blind randomized controlled trial menggunakan krim yang berisi cysteamine 5% dan krim asam traneksamat 3% dibandingkan dengan krim formula Kligman modifikasi (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, dan fluocinolone acetonide 0,01%) pada pasien melasma. Efektivitas terapi dinilai dengan skor MASI pada baseline (minggu 0), minggu ke-2, ke-4 dan ke-8.

Populasi target penelitian adalah wanita penderita melasma di Rumah Sakit Umum Daerah dr.Moewardi Surakarta. Populasi terjangkau adalah penderita melasma yang datang di poliklinik kulit dan kelamin RSUD dr. Moewardi Surakarta yang bersedia mengikuti penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

A.   Hasil Penelitian

1.    Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental klinis dengan rancangan pre and post control grup design double-blind randomized controlled trial krim yang berisi cysteamine 5% dan krim asam traneksamat 3% dibandingkan dengan krim formula Kligman modifikasi (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, dan fluicinolone acetonide 0,01%) pada pasien melasma. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok menggunakan teknik consecutive sampling.

Jumlah subjek penelitian yang mengikuti penelitian dari awal hingga akhir sebanyak 28 pasien yang terbagi 14 orang pada kelompok A dan 14 orang pada kelompok B. Kelompok A menerima pengobatan layering krim cysteamine 5% dan krim asam traneksamat 3%, sedangkan kelompok B mendapatkan krim formula Kligman modifikasi. Gambaran subjek pada penelitian ini dapat dilihat pada karakteristik sosiodemografi (Tabel. 1) yang meliputi usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat melasma pada keluarga, riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat pemakaian krim sebelumnya, pola klinis melasma, tipe melasma dan efek samping melasma.

Kelompok usia terbanyak pada penelitian ini adalah 31-40 tahun. Pada kelompok I rentang usia 31-40 tahun dan 41-50 tahun memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 7 pasien (50%), sedangkan kelompok II paling banyak usia 31-40 tahun yaitu 7 pasien (50%). Tingkat pendidikan penderita melasma terbanyak pada penelitian ini adalah SMA sebanyak 14 pasien (50%). Cleaning service merupakan jenis pekerjaan terbanyak penderita melasma pada penelitian ini yaitu sebesar 53,6%. Pada penelitian sebagian besar sampel tidak memiliki riwayat melasma pada keluarga mereka (75%). Sebagian sampel pada penelitian ini (75%) belum pernah mendapatkan pengobatan baik berobat ke dokter klinik kecantikan atau membeli krim secara bebas. Sampel penelitian mayoritas tidak memiliki riwayat kontrasepsi hormonal yaitu sebanyak 82,1%.


 

Tabel 1

Karakteristik sosiodemografi

Karakterstik

Kelompok

Total

Nilai p

Kelompok A

Kelompok B

Usia

0,584

       20-30 tahun

0 (0,0%)

1 (7,1%)

1 (3,6%)

       31-40 tahun

7 (50,0%)

7 (50,0%)

14 (50,0%)

       41-50 tahun

7 (50,0%)

6 (42,9%)

13 (46,4%)

Pendidikan

0,733

SD

3 (21,4%)

1 (7,1%)

4 (14,3%)

SMP

4 (28,6%)

4 (28,6%)

8 (28.6%)

SMA

6 (35,7%)

8 (64,3%)

14 (50,0%)

S1

1 (7,1%)

1 (7,1%)

2 (7,1%)

 

Pekerjaan

0,559

Wiraswasta

2 (14,3%)

1 (7,1%)

3 (22,2%)

 

Perawat

0 (0,0%)

1 (7,1%)

1 (3,6%)

 

Pelajar

1 (7,1%)

0 (0,0%)

1 (3,7%)

 

Satpam

2 (14,3%)

2 (14,3%)

4 (14,3%)

Cleaning Service

6 (42,9%)

9 (64,35)

15 (53,6%)

Ibu rumah tangga

3 (21,4%)

1 (7,1%)

4 (14,3%)

 

Riwayat Sakit Keluarga Serupa

0,190

Ya

2 (14,3%)

5 (35,7%)

7 (25,0%)

Tidak

12 (85,7%)

9 (64,3%)

21 (75,0%)

Riwayat Kontrasepsi Hormonal

0,139

Ya

4 (28,6%)

1 (7,1%)

5 (17,9%)

Tidak

10 (71,4%)

13 (92,9%)

23 (82,1%)

Riwayat Pemakaian Krim Sebelumnya

0,043

Ya

2 (14,3%)

7 (50,0%)

9 (32,1%)

Tidak

12 (64,3%)

7 (85,7%)

19 (75,0%)

Pola klinis

0,621

Malar

3 (21,4%)

  2 (14,3%)

5 (17,9%)

Sentrofasial

11 (78,6%)

12 (85,7%)

23 (82,1%)

Tipe Melasma

1,000

Epidemal

4 (28,6%)

4 (28,6%)

8 (28,6%)

Campuran

10 (71,4%)

10 (71,4%)

20 (71,4%)

Efek Samping

0,824

Tidak Ada

10 (71,4%)

9 (64,3%)

19 (64,3%)

Eritema

0 (0,0%)

1 (21,4%)

1 (10,7%)

Burning Sensation

0 (0,0%)

0 (0,0%)

0 (0,0%)

Deskuamasi

0 (0,0%)

0 (0,0%)

0 (0,0%)

Gatal

1 (7,1%)

1 (7,1%)

2 (7.1%)

HPI

0 (0,01%)

0 (0,0%)

0 (0,0%)

 

Tingling

1 (7,1%)

2 (14,3%)

3 (10,7%)

 

Keterangan: HPI      = Hiperpigmentasi Pascainflamasi

                        Nilai p   = Dinyatakan memiliki perbedaan yang bermakna bila p < 0,05

 


Pada kedua kelompok, pola klinis yang dominan adalah pola sentrofasial yaitu (78,6%) pada kelompok A dan (85,7%) pada kelompok B. Tipe melasma campuran merupakan yang terbanyak pada kedua kelompok dengan jumlah yang sama pada kedua kelompok yaitu 10 pasien (71,4%). Pasien sebagian besar tidak mempunyai efek samping pada kelompok A (71,4%) dan kelompok B (64,3%).

Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik pada karakteristik usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat melasma pada keluarga, riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat pemakaian krim sebelumnya, pola klinis melasma, tipe melasma dan efek samping melasma antara kelompok A dan kelompok B (p>0,05). Hanya riwayat pemakaian krim sebelumnya yang memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,043).

2.    Analisis Perbaikan Skor MASI

Pada penelitian ini derajat keparahan melasma secara klinis dinilai menggunakan skor MASI. Komponen yang dinilai pada skor MASI meliputi luas area keterlibatan, tingkat kegelapan dan homogenitas lesi melasma. Skor total yaitu antara 0 hingga 48. Lesi melasma dikatakan membaik jika terdapat penurunan skor MASI. Penilaian skor MASI dilakukan oleh 2 orang observer untuk mengurangi bias. Uji kesesuaian menggunakan uji Kappa dilakukan untuk membuktikan bahwa data antar observer mempunyai kesamaan.

 

Tabel 2

Uji Kesesuaian Pembaca Data

Variabel    MASI

Nilai Kappa

P-Value

Baseline

0.924

0.000

Minggu ke 2

0.916

0.000

Minggu ke 4

1.000

0.000

Minggu ke 8

1.000

0.000

 

Berdasarkan tabel 2 di atas dihasilkan nilai Kappa pada data baseline sebesar 0,924, MASI pada minggu ke 2 dihasilkan sebesar 0.916, MASI minggu ke 4 dan minggu ke 8 dihasilkan nilai kappa 1.000, adapun nilai p=0.000<0.05, yang berarti ada kesesuaian yang sangat signifikan antar observer, sehingga data dapat digunakan pada penelitian ini.


 

Tabel 3

Perbandingan nilai perbaikan skor MASI pada kedua kelompok

Kelompok

                       Rerata Skor MASI

      M-0

        M-2

M-4

M-8

Kelompok A

13.18 + 3,06

 

12,46 + 6,78

10,51 + 4,58

  7.89±4.52

Kelompok B

13,33 + 5,76

13,34 + 4,75

13,47 + 3,99

11.11±4.17

Nilai p

0,947

     0,694

        0,080

      0.060

Keterangan:

Kelompok A = layering cysteamine 5% dan asam traneksamat 3%

Kelompok B = Formula Kligman modifikasi.

M0 = Minggu ke-0 (Baseline), M2 = Minggu ke-2, M4 = Minggu ke-4, M8 = Minggu ke-8

Nilai p = Dinyatakan memiliki perbedaan yang bermakna bila p < 0,05

 


Berdasarkan Tabel 3 pada kelompok A dihasilkan nilai mean MASI minggu ke 0 sebesar 13.18±3.06 dan kelompok B sebesar 13.33±5.76 (p=0.947>0.05). Minggu ke 4 dihasilkan nilai mean kelompok A sebesar 12,46±6.78 dan kelompok B sebesar 13.34±4.75 (p=0.697>0.05) adapun minggu ke 8 kelompok A didapatkan nilai mean sebesar 10.51±4.58 dan kelompok B sebesar 13.47±3.99 (p=0.080>0.05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol pada MASI baseline, perbaikan MASI minggu ke 2, minggu ke 4 dan minggu ke 8.

Gambar 1

Perubahan rata-rata skor MASI pada kedua kelompok. M0 = Minggu ke-0 (Baseline), M2 = Minggu ke-4, M8 = Minggu ke-8

 

Berdasarkan Gambar 1, perubahan rata-rata skor MASI pada kelompok A dan kelompok B mengalami penurunan. Untuk mengetahui selisih skor MASI maka dilakukan uji lanjut dengan menguji nilai selisih perubahan skor MASI antara kelompok A dengan kelompok B (Tabel 4).


 

Tabel 4

Perbedaan perubahan skor MASI

Kelompok

Selisih Perubahan skor MASI

M2-M0

M4-M0

M8-M0

Selisih

p

Selisih

p

Selisih

p

Kelompok A

-0,72 + 2,29

0,280 

-2,67 ± 3,48

0,013

-5,29 + 2,87

 0,000

Kelompok B

0,01 + 2,32

0,991

-0,14 + 2,76

0,849

-2,21 + 2,12

 0,002

Nilai p

0,411

0,025

0,003

Keterangan:

Kelompok A = layering cysteamine 5% dan asam traneksamat 3%

Kelompok B = Formula Kligman modifikasi.

M0 = Minggu ke-0 (Baseline), M2 = Minggu ke-2, M4 = Minggu ke-4, M8 = Minggu ke-8

Nilai p = Dinyatakan memiliki perbedaan yang bermakna bila p < 0,050

 


Berdasarkan Tabel 4 didapatkan bahwa pada kelompok A terjadi perubahan yang signifikan skor MASI pada minggu ke-4 (p = 0,013) dan pada minggu ke-8 (p = 0,000). Kelompok B tidak terjadi perubahan skor MASI yang signifikan pada minggu ke 2 dan minggu ke 4 akan tetapi terjadi perubahan pada minggu ke 8 (p= 0,002). Perbedaan selisih perubahan skor MASI antara kelompok A dan kelompok B pada minggu ke-2 (p = 0,411>0.05) tidak ada perbedaan, minggu ke-4 (p = 0,025) dan minggu ke-8 (p = 0,003) menunjukan perbedaan yang signifikan (p < 0,05).

 

B.   Pembahasan

1.    Pembahasan Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini mengambil kriteria inklusi wanita, sesuai dengan prevalensi mayoritas dari kasus melasma dan agar populasi sampel penelitian seluruhnya menjadi homogen. Terapi melasma pada pria membutuhkan regimen yang cukup sederhana mengingat kepatuhan terapi topikal pada pria cukup sulit dicapai (Vachiramon et al., 2012). Pada penelitian ini menggunakan regimen terapi topikal dengan teknik layering. Teknik ini dirasa tidak sederhana digunakan pada pria. Usia penderita melasma terbanyak pada penelitian ini 31-40 tahun, sesuai dengan rentang usia penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini, tingkat pendidikan penderita melasma terbanyak adalah SMA sebanyak 14 orang (50,0%). Penelitian mengenai hubungan melasma dengan tingkat pendidikan belum pernah dilaporkan sebelumnya, namun terdapat sebuah penelitian mengenai hubungan penggunaan agen depigmentasi dengan tingkat pengetahuan. Pada penelitian tersebut, disebutkan bahwa makin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, perilaku kesadaran mengenai pemilihan agen depigmentasi makin tinggi (Fadhila et al., 2020).  Sebagian besar pekerjaan subyek penelitian ini adalah cleaning service yaitu sebanyak 53,6%. Pekerjaan ini dilakukan di dalam ruangan untuk meminimalisir paparan sinar matahari yang menjadi salah satu variabel tidak terkendali pada penelitian ini. Paparan sinar UV merupakan pencetus dan faktor yang dapat memperberat melasma (K. S. Damevska, 2014). Dalam proses melanogenesis, sinar UV diketahui dapat merangsang proliferasi dan migrasi melanosit serta memicu berbagai sitokin pada keratinosit yang berperan dalam pembentukan melanin (Aisyah et al., 2019). Faktor risiko penting lainnya penyebab munculnya melasma adalah riwayat melasma pada keluarga. Pada penelitian ini hanya didapatkan 25% dari sampel penelitian yang memiliki riwayat keluarga penderita melasma. Komponen genetik merupakan salah satu faktor risiko bagi terjadinya melasma. Kasus melasma dapat terjadi pada kembar identik namun tidak terjadi pada saudara yang lain, hal ini mendukung hipotesis faktor kerentanan genetik berperan dalam melasma. Berbeda dengan penelitian ini, dalam sebuah penelitian berbasis pengumpulan kuisioner, didapatkan bahwa sejumlah 57% penderita melasma memiliki riwayat penyakit keluarga yang sama, terutama pada warna kulit yang lebih gelap (Kang et al., 2017).

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa melasma dipengaruhi oleh faktor hormonal. Angka kejadian melasma pada wanita hamil berkisar antara 14,5%-56% sedangkan pada individu pengguna kontrasepsi oral berkisar 11,3%-46%. Pada penelitan ini hanya terdapat 5 orang (17,9%) yang mempunyai riwayat menggunakan kontrasepsi hormonal. Pada studi lain menunjukkan bahwa kontrasepsi hormonal terutama kontrasepsi suntik dan pil kombinasi memiliki hubungan dengan kejadian dengan penggunaan kontrasepsi suntik kombinasi 3,378 kali lebih berisiko menimbulkan melasma dibanding penggunaan pil kombinasi (Jannah, 2019). Lesi melasma memiliki ekspresi reseptor estrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit normal sekitarnya. Ikatan estradiol dengan reseptor estrogen menyebabkan meningkatnya ekspresi reseptor melanocortin-1 (MCR1) pada melanosit sehingga memicu proses melanogenesis (Lieberman & Moy, 2008). Estrogen juga akan memicu melanogenesis melalui aktivasi jalur cAMP-PKA karena estrogen akan meningkatkan kadar cAMP dan menghambat jalur PKA sehingga mengaktivasi enzim tirosinase (Lee, 2015).

Gambaran klinis melasma tampak sebagai makula hiperpigmentasi berbentuk ireguler dengan warna coklat terang hingga coklat keabuan.  Predileksi lesi dibagi menjadi 3 pola yaitu: sentrofasial, malar dan mandibular. Pola sentrofasial lesi terdapat pada area tengah wajah seperti area dahi, hidung, pipi, bibir atas dan dagu. Pada pola malar melasma sebagian besar terdapat didaerah kedua pipi dan batang hidung. Sedangkan pola mandibular lesi terdapat sebagian besar pada ramus mandibular (Hindritiani, 2015). Pada penelitian ini pola klinis terbanyak penelitian ini adalah pola klinis sentrofasial (82,1%) disusul dengan pola klinis malar (17,9%). Hal ini sesuai dengan studi oleh (Handel et al., 2014) bahwa pola terbanyak adalah sentrofasial.

Melasma dapat dibagi berdasar kedalaman letak pigmennya, yaitu melasma dermal, epidermal, campuran dan indeterminate. Pembagian klasifikasi ini bertujuan untuk menentukan terapi dan prognosis melasma. Lampu wood merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat berfungsi untuk menentukan kedalaman pigmen melanin pada melasma. Pada tipe epidermal akan tampak lesi melasma berwarna coklat terang dengan terlihat kontras warna dengan kulit sehat. Tipe dermal akan tampak coklat keabuan dengan kontras dengan kulit sehat tidak terlalu terlihat, sedangkan pada melasma tipe campuran terdapat deposit melanin pada kedua lapisan epidermis dan dermis (K. Damevska, 2014). Pada penelitian ini didapatkan dominasi tipe campuran sebanyak 20 orang (71,4%).

Efek samping yang terjadi pada kedua kelompok pasien penelitian adalah eritema lokal, gatal dan tingling atau sensasi cekit-cekit. Pada kelompok pemberian perlakuan, yaitu layering cysteamine 3% dengan asam traneksamat 5% terdapat 1 orang yang mengalami sedikit gatal dan 1 orang yang merasakan sensasi tingling setelah pengolesan krim cysteamine 5% namun bersifat sementara pada awal pemakaian krim. Keluhan tersebut sembuh spontan pada 1 minggu awal pemakaian. Studi sebelumnya oleh (Farsi et al., 2017) dan (Zhang et al., 2015) melaporkan efek samping penggunaan krim cysteamine 5% berupa eritema, gatal dan deskuamasi bersifat transien dan mulai dapat ditoleransi setelah 1 minggu pemakaian (Zhang et al., 2015).

2.    Pembahasan Penilaian Hasil Skor MASI

Derajat keparahan melasma dapat dihitung secara kuantitatif dengan skor MASI. Penilaian skor MASI dilakukan pada saat minggu ke-0 (baseline), ke-2, ke-4 dan ke-8. Variabel yang dinilai meliputi: persentase total area terlibat (A), tingkat kegelapan (D) dan homogenitas (H). Empat daerah tersebut yaitu: dahi (frontalis/F), pipi kanan (right malar/RM), pipi kiri (left malar/ LM) dan dagu (chin/C) yang disesuaikan secara berurutan dengan 30%,30%,30% dan 10% dari seluruh wajah. Nilai total MASI = Dahi 0,3 (D + H) A + pipi kanan 0,3 (D + H) A + pipi kiri 0,3 (D + H) A + dagu 0,1 (D + H) A total skor berkisar antara 0 hingga 48. Skor MASI memiliki nilai validasi dan realibilitas yang baik dibandingkan dengan pembacaan mexameter (Pandya et al., 2011).  

Perbaikan klinis yang didapat akan ditandai dengan penurunan skor MASI. Interpretasi skor MASI ini dilakukan oleh 2 observer, untuk mengurangi bias, kemudian data dianalisis berdasarkan perbedaan selisih penurunan skor MASI antara kelompok A dan B. Pada hasil interpretasi ketiga observer juga dilakukan uji kappa untuk mengurangi risiko subjektivitas dengan satu penilai. Pada penelitian ini tampak adanya penurunan skor MASI pada kedua kelompok sampel penelitian. Penurunan selisih skor MASI pada kelompok A sudah menunjukan efektifitasnya sejak minggu ke-4 terhadap minggu ke-0, sedangkan pada kelompok B penurunan selisih skor MASI mulai signifikan pada minggu ke 8. Perbandingan selisih perubahan skor MASI antara kelompok A dan kelompok B signifikan secara statistik mulai pada minggu ke-4 dan minggu ke-8. Sebuah studi yang dilakukan oleh Karrabi dengan membandingkan penggunaan krim cysteamine 5% dengan formula Kligman menunjukkan bahwa derajat penurunan skor MASI pada kedua kelompok baru menunjukkan hasil yang signifikan pada bulan ke-2 dan ke-4 (Karrabi et al., 2020). Terapi melasma secara layering cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% dapat bersinergi mempercepat penurunan skor MASI. Studi oleh (Steiner et al., 2009) yang membandingkan efikasi asam traneksamat topikal dan injeksi, menunjukkan bahwa asam traneksamat topikal 3% baru menurunkan nilai MASI secara signifikan pada minggu ke-12 penelitian (Steiner et al., 2009) Dengan demikian penggunaan layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% (kelompok A) lebih cepat menurukan skor MASI dibandingkan formula Kligman modifikasi (kelompok B) yaitu mulai minggu ke-4. Studi oleh (Pandya et al., 2011) menyebutkan bahwa skor MASI memiliki nilai validasi dan reliabilitas yang juga baik dibandingkan dengan pengukuran indeks melanin menggunakan mexameter, meskipun pengukuran skor MASI bersifat subjektif (Pandya et al., 2011). 

Kelompok A menggunakan layering krim cysteamine 5% dengan mekanisme kerja menghambat enzim tirosinase dan peroksidase yang berperan dalam sintesis melanin sehingga dapat mengurangi densitas melanosit. Cysteamine juga mengubah pergeseran sintesis eumelanin menjadi sintesis feomelanin (Karrabi et al., 2020) (Benathan & Labidi, 1996) Penelitian oleh Karrabi et al, menunjukkan bahwa krim topikal cysteamine 5% memiliki efikasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan terapi formula Kligman modifikasi (Karrabi et al., 2020) Penelitian Karrabi memerlukan waktu 4 bulan, berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan waktu 2 bulan. Cysteamine merupakan komponen yang relatif dapat ditoleransi serta menunjukkan efek non-mutagenik dan non-karsinogenik dibanding agen depigmentasi lain, misalnya hidrokuinon (Atallah et al., 2020). Mekanisme kerja cysteamine sebagai agen depigmentasi pertama kali diteliti oleh Chavin et al di tahun 1966 pada kulit ikan blackgoldfish. Komponen cysteamine yang disuntikan pada kulit ikan blackgoldfish melisiskan melanosit sehingga didapat kondisi hipopigmentasi (Chavin & Schlesinger, 1966). Penggunaan layering dengan krim asam traneksamat 3% akan meningkatkan mekanisme kerja agen depigmentasinya. Asam traneksamat bekerja pada tingkat pertama proses melanogenesis, yaitu pada proses penghambatan hidroksilasi tirosin menjadi DOPA serta sebagai plasmin inhibitor. Plasmin sendiri dikenal sebagai stimulator aktivitas enzim tirosinase (Tseng et al., 2012). Penggunaan layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% bekerja secara sinergis dalam mempercepat penurunan skor MASI dibanding penggunaan krim Kligman modifikasi.

 

Kesimpulan

Terapi layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% menunjukkan penurunan selisih skor MASI lebih awal dibanding terapi krim Kligman modifikasi, dengan perbedaan signifikan antar kedua kelompok.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aisyah, H. A., Paridah, M. T., Sapuan, S. M., Khalina, A., Berkalp, O. B., Lee, S. H., Lee, C. H., Nurazzi, N. M., Ramli, N., & Wahab, M. S. (2019). Thermal Properties Of Woven Kenaf/Carbon Fibre-Reinforced Epoxy Hybrid Composite Panels. International Journal Of Polymer Science, 2019. Google Scholar

 

Atallah, B., Mallah, S. I., & Almahmeed, W. (2020). Anticoagulation In Covid-19. Oxford University Press. Google Scholar

 

Benathan, M., & Labidi, F. (1996). Cysteine-Dependent 5-S-Cysteinyldopa Formation And Its Regulation By Glutathione In Normal Epidermal Melanocytes. Archives Of Dermatological Research, 288(11), 697–702. Google Scholar

 

Cestari, T., & Buster, K. (2017). Photoprotection In Specific Populations: Children And People Of Color. Journal Of The American Academy Of Dermatology, 76(3), S110–S121. Google Scholar

 

 

Chavin, W., & Schlesinger, W. (1966). Some Potent Melanin Depigmentary Agents In The Black Goldfish. Naturwissenschaften, 53(16), 413–414. Google Scholar

 

Couteau, C., & Coiffard, L. (2016). Overview Of Skin Whitening Agents: Drugs And Cosmetic Products. Cosmetics, 3(3), 27. Google Scholar

 

Damevska, K. (2014). New Aspects Of Melasma. Serbian J Dermatol Venereol, 6(1), 5–18. Google Scholar

 

Damevska, K. S. (2014). Utvrđivanje Povezanosti Hronične Plak Psorijaze I Osnovnih Kriterijuma Metaboličkog Sindroma. Универзитет У Нишу. Google Scholar

 

Etnawati, K., Siswati, A. S., Pudjiati, S. R., Susetiati, D. A., Adiwinarni, D. R., & Purbananto, A. (2018). The Role Of Malassezia Sp, Sebum Level And Trans Epidermal Water Loss (Tewl) Toward The Dandruff Severity Between Hijab And Non Hijab Wearing Subjects. Journal Of The Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran), 50(3). Google Scholar

 

Fadhila, C., Lal, A., Vo, T. T. B., Ho, P. T., Hidayat, S. H., Lee, J., Kil, E.-J., & Lee, S. (2020). The Threat Of Seed-Transmissible Pepper Yellow Leaf Curl Indonesia Virus In Chili Pepper. Microbial Pathogenesis, 143, 104132. Google Scholar

 

Farsi, N. J., Rousseau, M.-C., Schlecht, N., Castonguay, G., Allison, P., Nguyen-Tan, P. F., Soulières, D., Coutlée, F., Hier, M., & Madathil, S. (2017). Aetiological Heterogeneity Of Head And Neck Squamous Cell Carcinomas: The Role Of Human Papillomavirus Infections, Smoking And Alcohol. Carcinogenesis, 38(12), 1188–1195. Google Scholar

 

Grimes, M. G. (2018). The Pivot: How Founders Respond To Feedback Through Idea And Identity Work. Academy Of Management Journal, 61(5), 1692–1717. Google Scholar

 

Handel, A. C., Miot, L. D. B., & Miot, H. A. (2014). Melasma: A Clinical And Epidemiological Review. Anais Brasileiros De Dermatologia, 89, 771–782. Google Scholar

 

Hindritiani, R. (2015). Melasma. Skin Pigmentation. Study Group Of Cosmetic Dermatology Indonesia, 114–125. Google Scholar

 

Jannah, L. M. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif. Google Scholar

 

Kang, H.-S., Min, C.-K., Heo, H., Kim, C., Yang, H., Kim, G., Nam, I., Baek, S. Y., Choi, H.-J., & Mun, G. (2017). Hard X-Ray Free-Electron Laser With Femtosecond-Scale Timing Jitter. Nature Photonics, 11(11), 708–713. Google Scholar

 

Karrabi, M., Mansournia, M. A., Sharestanaki, E., Abdollahnejad, Y., & Sahebkar, M. (2020). Clinical Evaluation Of Efficacy And Tolerability Of Cysteamine 5% Cream In Comparison With Tranexamic Acid Mesotherapy In Subjects With Melasma: A Single-Blind, Randomized Clinical Trial Study. Archives Of Dermatological Research, 1–9. Google Scholar

 

Lee, M. M. (2015). Body, Dress, And Identity In Ancient Greece. Cambridge University Press. Google Scholar

 

Lieberman, R., & Moy, L. (2008). Estrogen Receptor Expression In Melasma: Results From Facial Skin Of Affected Patients. Journal Of Drugs In Dermatology: Jdd, 7(5), 463–465. Google Scholar

 

Lima, C. K. T., De Medeiros Carvalho, P. M., Lima, I. De A. A. S., De Oliveira Nunes, J. V. A., Saraiva, J. S., De Souza, R. I., Da Silva, C. G. L., & Neto, M. L. R. (2020). The Emotional Impact Of Coronavirus 2019-Ncov (New Coronavirus Disease). Psychiatry Research, 287, 112915. Google Scholar

 

Pandya, A. G., Hynan, L. S., Bhore, R., Riley, F. C., Guevara, I. L., Grimes, P., Nordlund, J. J., Rendon, M., Taylor, S., & Gottschalk, R. W. (2011). Reliability Assessment And Validation Of The Melasma Area And Severity Index (Masi) And A New Modified Masi Scoring Method. Journal Of The American Academy Of Dermatology, 64(1), 78–83. Google Scholar

 

Passeron, T., & Picardo, M. (2018). Melasma, A Photoaging Disorder. Pigment Cell & Melanoma Research, 31(4), 461–465. Google Scholar

 

Perper, M., Eber, A. E., Fayne, R., Verne, S. H., Magno, R. J., Cervantes, J., Alharbi, M., Alomair, I., Alfuraih, A., & Nouri, K. (2017). Tranexamic Acid In The Treatment Of Melasma: A Review Of The Literature. American Journal Of Clinical Dermatology, 18(3), 373–381. Google Scholar

 

Rajanala, S., Maymone, M. B. C., & Vashi, N. A. (2019). Melasma Pathogenesis: A Review Of The Latest Research, Pathological Findings, And Investigational Therapies. Dermatology Online Journal, 25(10). Google Scholar

 

Rivas, A. J., Lemos, M. L., & Osorio, C. R. (2013). Photobacterium Damselae Subsp. Damselae, A Bacterium Pathogenic For Marine Animals And Humans. Frontiers In Microbiology, 4, 283. Google Scholar

 

Rodrigues, M., Pandya, A. G., Bekkenk, M., Parsad, D., & Kumarasinghe, S. P. (2019). Current Understanding Of Lichen Planus Pigmentosus, Erythema Dyschromicum Perstans (Ashy Dermatosis), And Idiopathic Eruptive Macular Pigmentation. Pigment International, 6(1), 4. Google Scholar

 

Steiner, D., Feola, C., Bialeski, N., Silva, F. A., Pessanha, A. C., & Addor, F. A. (2009). Study Evaluating The Efficacy Of Topical And Injected Tranexamic Acid In Treatment Of Melasma. Surgical And Cosmetic Dermatology, 1(4), 174–177. Google Scholar

 

Tseng, H. F., Chi, M., Smith, N., Marcy, S. M., Sy, L. S., & Jacobsen, S. J. (2012). Herpes Zoster Vaccine And The Incidence Of Recurrent Herpes Zoster In An Immunocompetent Elderly Population. The Journal Of Infectious Diseases, 206(2), 190–196. Google Scholar

 

Vachiramon, V., Tey, H. L., Thompson, A. E., & Yosipovitch, G. (2012). Atopic Dermatitis In African American Children: Addressing Unmet Needs Of A Common Disease. Pediatric Dermatology, 29(4), 395–402. Google Scholar

 

Zhang, X., Bogunovic, D., Payelle-Brogard, B., Francois-Newton, V., Speer, S. D., Yuan, C., Volpi, S., Li, Z., Sanal, O., & Mansouri, D. (2015). Human Intracellular Isg15 Prevents Interferon-Α/Β Over-Amplification And Auto-Inflammation. Nature, 517(7532), 89–93. Google Scholar

 

Zou, X., Liu, M., Wu, J., Ajayan, P. M., Li, J., Liu, B., & Yakobson, B. I. (2017). How Nitrogen-Doped Graphene Quantum Dots Catalyze Electroreduction Of Co2 To Hydrocarbons And Oxygenates. Acs Catalysis, 7(9), 6245–6250. Google Scholar

 

 

 

 

 

 


Copyright holder:

Putti Fatiharani Dewi, Ummi Rinandari, Fiska Rosita, Arie Kusumawardani, Nugrohoaji Dharmawan, Moerbono Mochtar Denissa Kristalin Hermandia, Ai Susi Susanti (2021)

 

First publication right:

Jurnal Health Sains

 

This article is licensed under: