Jurnal Health Sains: p–ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 2, No. 6, Juni 2021
Affan Zufar, Bayu Febram Prasetyo dan Upik Kesumawati Hadi
Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Email: affanszufar@apps.ipb.ac.id, bayupr@apps.ipb.ac.id dan upikke@apps.ipb.ac.id
ARTIKEL INFO ABSTRACT
Tanggal diterima: 5 Juni 2021
Tanggal revisi: 15 Juni 2021 Tanggal yang disetujui: 25 Juni
2021
Keywords:
apple vinegar; concentration; effectiveness; tick
\
Apple cider vinegar is widely discussed
today in addition to
having many benefits for body health and
facial treatments, this preparation
also has antiparasitic properties, especially
to repel ticks on dogs. This study aims to analyze the effect of apple vinegjzsar administration on the time of tick death (Rhipicephalus sanguineus). The sample in
this study used 50 ticks divided
into 5 ticks for 5 treatment groups (K-, 10%
Apple Vinegar, 15% Apple Vinegar,
20% Apple Vinegar,
K
+) with two repetitions. In negative
controls using aquades, no tick deaths were found. At the Apple Vinegar concentration of 10% there were 8 tick deaths with an average
death at 2 hours 50 minutes after administering the preparations At the Apple Vinegar concentration 15% there were 10 tick deaths with an average death
at 2 hours 47 minutes after
administration of the preparations. At the Apple Vinegar concentration of 20% there were 10 tick deaths with an average death at 1 hour 15 minutes
after administration of the
preparation. In the positive control using fipronil 3% with the trademark Deticks
there was an average of 5 ticks mortality. The results of this study concluded that Apple Vinegar
is very effective as an anti-tick with a minimum
concentration of 20% can kill ticks quickly.
In addition, it was
also found that Apple Vinegar with a concentration of 20% was more effective at killing
ticks than fipronil 3%.
Cuka sari apel banyak dibahas saat ini selain memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh dan perawatan wajah, persiapan ini juga memiliki sifat antiparasit, terutama untuk mengusir kutu pada anjing. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek pemberian cuka apel pada saat kematian kutu (Rhipicephalus sanguineus). Sampel dalam penelitian ini menggunakan 50 kutu yang dibagi menjadi 5 kutu untuk 5 kelompok perawatan (K-, 10% Cuka Apel, 15% Cuka Apel, 20% Cuka Apel, K +) dengan dua pengulangan. Dalam kontrol negatif menggunakan aquades, tidak ada kematian kutu yang ditemukan. Pada konsentrasi Cuka Apel 10% ada 8 kematian kutu dengan kematian rata-rata pada 2 jam 50 menit setelah memberikan persiapan Pada konsentrasi Cuka Apel 15% ada 10 kematian kutu dengan kematian rata-rata pada 2 jam 47 menit setelah pemberian persiapan. Pada konsentrasi
Kata Kunci: cuka apel; konsentrasi; efektivitas; kutu |
Cuka Apel 20% ada 10 kematian kutu dengan kematian rata- rata pada 1 jam 15 menit setelah pemberian persiapan. Dalam kontrol positif menggunakan fipronil 3% dengan merek dagang Deticks ada rata-rata 5 kutu kematian. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Cuka Apel sangat efektif sebagai anti-tick dengan konsentrasi minimum 20% dapat membunuh kutu dengan cepat. Selain itu, ditemukan juga bahwa Cuka Apel dengan konsentrasi 20% lebih efektif untuk membunuh kutu daripada fipronil 3%. |
Caplak merupakan salah satu ektoparasit dari kelas Arachnida yang dikenal sebagai penghisap darah ganas yang mempunyai peran penting dalam kesehatan hewan dan juga dikenal sebagai organisme vektor penyebab zoonosis pada manusia. Penyebaran caplak diseluruh dunia sangat luas (Anastos, 1950) melaporkan bahwa caplak sering ditemukan pada hewan-hewan domestik seperti sapi, kerbau, domba, kambing, anjing, kucing, unggas dan bahkan hewan liar sekalipun. Jenis caplak yang sangat mengganggu dan sering dapat dijumpai di sekitar kita adalah jenis dari Rhipicephalus sanguineus yang banyak menyerang anjing. Caplak ini hidup dan bertahan pada daerah telinga, sela-sela jari, dan bagian tubuh tertentu yang menghasilkan panas lebih karena banyaknya vaskularisasi pembuluh darah dibawahnya (Hadi et al., 2017). Menurut (Sahu et al., 2013), anjing liar memiliki nilai prevalensi terinfestasi oleh caplak yang lebih tinggi (58.33%) jika dibandingkan dengan anjing peliharaan. Anjing berumur kurang dari satu tahun juga memiliki nilai prevalensi yang lebih tinggi (56.25%) jika dibandingkan dengan anjing yang berumur lebih dari satu tahun (43.75%). (Hadi et al., 2017) menambahkan, ras maupun jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap infestasi caplak.
Strategi pencegahan dan pengendalian telah dilakukan untuk mengatasi masalah infestasi ektoparasit seperti caplak pada anjing. Penggunaan ivermectin dan
cypermethrin maupun kombinasi fipronil 9.8% dengan (S)-methoprene 8.8% dilaporkan efektif untuk mengeradikasi caplak (Ayodhya, 2014; Nambi et al., 2016). Walaupun demikian, penyediaan obat-obatan terbaru yang lebih efektif dapat dikatakan penting karena ektoparasit mungkin saja sudah lebih toleran serta memiliki potensi untuk resisten terhadap obat-obatan yang umum digunakan saat ini (Coles & Dryden, 2014). Menurut (Beck et al., 2013), obat anticaplak yang umum digunakan saat ini juga dinilai kurang ekonomis karena hanya memiliki durasi efektif yang singkat sehingga penggunaannya direkomendasikan untuk diulang pada interval waktu yang juga relatif singkat.
Cuka apel memiliki berbagai manfaat seperti penambah rasa, pengawet bahan makanan bahkan untuk pengobatan sehari•hari dalam rumah tangga sudah dikenal sejak beberapa kurun waktu (Andyani, 2019). Manfaat kesehatan yang khasiatnya untuk mencegah dan mengatasi gangguan kesehatan juga sudah dikenal dibeberapa negara. Kandungan yang ditunjukkan pada informasi gizi cuka apel (merek Tahesta) adalah vitamin C, total karoten, antosianin, dan lain-lain. Vitamin C atau asam askorbat diketahui mempunyai fungsi sintesis kolagen pada jaringan ikat yang sangat dibutuhkan untuk penyembuhan luka (Rahmawati, 2015).
Beberapa ilmuwan telah meneliti bahwa terdapat sebanyak 90 zat yang berbeda dalam cuka sari apel, 1/13 diantaranya merupakan jenis asam karbolik, 4 aldehida,
20 keton, 18 jenis alkohol, 8 etil asetat, 8 mineral, dan lain-lain. Selain itu, kandungan di dalam cuka sari apel kaya akan vitamin. seperti vitamin C, vitamin E, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin B6. Cuka sari apel mempunyai beberapa sifat antimikroba pada spesies mikroba yang berbeda, seperti mempengaruhi pertumbuhan mikroba, menekan sitokin mononuclear, dan respons fagositik (Itsa et al., 2018).
Informasi mengenai efektivitas cuka apel terhadap caplak (Rhipicephalus sanguineus) pada anjing belum diteliti. Namun efektivitas cuka apel terhadap caplak telah banyak didiskusikan pada berbagai forum untuk pengobatan anti caplak alternatif pada anjing. Hal ini menyebabkan peneliti tertarik untuk meneliti efektivitas cuka apel terhadap caplak (Rhipicephalus sanguineus) pada anjing yang dilakukan secara in vitro.
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh pemberian cuka apel terhadap waktu kematian caplak, menganalisis perbedaan jumlah kematian caplak menurut konsentrasi pemberian cuka apel dan menganalisis Lethal Time 50 (LT50) berdasarkan konsentrasi cuka apel.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai sumber informasi ilmiah berkelanjutan mengenai pemanfaatan cuka apel sebagai kandidat alternatif anti caplak.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2019 sampai dengan bulan November 2019 bertempat di Pejaten Shelter Jakarta Selatan dan Laboratorium Farmasi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pada penelitian ini digunakan sampel caplak Rhipicephalus sanguineus yang berasal dari anjing yang terinfestasi caplak di Pejaten Shelter Jakarta Selatan.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Pada penelitian ini dilakukan pengujian larutan cuka apel dengan konsentrasi bertingkat terhadap sampel caplak Rhipichepalus sanguineus. Tempat pengambilan sampel berlokasi di Pejaten Shelter Jakarta Selatan. Metode pengambilan sampel dengan cara selektif yaitu sampel yang didapat di Pejaten Shelter Jakarta berasal dari anjing yang terinfestasi caplak. Caplak yang berasal dari anjing terinfestasi diambil menggunakan pinset lalu dimasukan ke dalam wadah. Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 50 ekor caplak Rhipichepalus sanguineus berdasarkan rumus penentuan jumlah minimum sampel menggunakan rumus Federer (1970):
Keterangan :
n : Jumlah sampel
t : Jumlah perlakuan
Dalam penelitian ini terdapat 5 perlakuan di mana 2 perlakuan pada kelompok kontrol dan 3 perlakuan pada kelompok pemberian larutan cuka apel (10%,15% dan 20%). Maka nilai t yang digunakan adalah 5. Bila dimasukkan pada rumus tersebut, maka dapat ditentukan jumlah sampel per perlakuan yaitu:
(n-1) (t-1) |
≥ 15 |
(n-1) (5-1) |
≥ 15 |
4(N-1) |
≥ 15 |
4N-4 |
≥ 15 |
4N |
= 19 |
N |
= |
N = 4,75 ≈
Sehingga dalam penelitian ini dipakai
50 ekor caplak Rhipicephalus sanguineus yang terdiri dari 5 ekor caplak R. sanguineus per kelompok perlakuan dengan 2 kali pengulangan.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50 ekor caplak Rhipicephalus sanguineus yang selanjutnya dibagi dalam 5 kelompok (K1, K2, K3, K4, K5) dengan masing-masing kelompok dua kali ulangan.
K1 sebagai kontrol negatif diberikan perlakuan akuades murni. K2 sebagai kontrol positif diberikan perlakuan Fipronil 3% dengan merk dagang Detick. K3 diberikan perlakuan larutan cuka apel dengan konsentrasi 10%. K4 diberikan perlakuan larutan cuka apel dengan konsentrasi 15%. K5 diberikan perlakuan larutan cuka apel dengan konsentrasi 20%.
Dalam semua kelompok percobaan dipilih caplak Rhipicephalus sanguineus dengan kondisi sudah menghisap darah inangnya, terdapat 5 cawan petri yang masing-masing cawan petri berisi 5 ekor caplak. Selanjutnya diberikan perlakuan pemberian larutan cuka apel sebanyak 1 ml dengan pipet tetes dengan dosis hanya sekali pemberian. Selanjutnya, cawan petri ditutup menggunakan kasa. Pengamatan dilakukan selama 3 jam yang dibagi menjadi 3 periode pengamatan dengan masing-masing periode setiap 1 jam sekali. Caplak yang mati dilihat dengan ciri-ciri tubuh yang kaku dengan posisi kaki yang tidak teratur, tidak bergerak, dan tidak berespons terhadap rangsangan apabila disentuh.
1. Analisis Data
Pengamatan dan pencatatan selama penelitian dilakukan terhadap jumlah kematian caplak. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan cara:
a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan guna mendapatkan gambaran distribusi mengenai frekuensi efektifitas paparan larutan cuka apel dengan variasi konsentrasi terhadap mortalitas caplak.
b. Analisis hubungan variabel
Analisis oneway anova dilakukan untuk mengetahui perbedaan
jumlah mortalitas caplak menurut lama paparan kontak terhadap konsentrasi bertingkat cuka apel. Sedangkan analisis probit dilakukan untuk menganalisa Lethal Time 50 (LT50) caplak terhadap konsentrasi bertingkat larutan cuka apel 10%, 15%, 20%.
1. Jumlah Kematian Caplak
Hasil penelitian uji efektivitas pemberian cuka apel terhadap waktu kematian caplak (rhipicephalus sanguineus) secara in vitro dalam rata-rata dapat dilihat dalam tabel berikut:
Jumlah Rata-Rata
Kematian Caplak Setelah Diberi
Perlakuan Cuka Apel
Jumlah |
Perlakuan |
Jumlah |
Rata rata |
|
|
P1 |
P2 |
|
|
10 |
0 |
0 |
0 |
0 |
10 |
5 |
5 |
10 |
5 |
10 |
4 |
4 |
8 |
4 |
10 |
5 |
5 |
10 |
5 |
10 |
5 |
5 |
10 |
5 |
Pada pengulangan pertama pemberian larutan cuka apel konsentrasi 10% pada periode pertama atau 1 jam setelah pemberian larutan, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati. Pada periode kedua atau 2 jam setelah pemberian larutan, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati. Pada periode ketiga atau 3 jam setelah pemberian larutan, terdapat 2 ekor (40%) caplak yang mati, pada periode ini total akumulasi caplak yang mati sebanyak
4 ekor (80%) caplak. Pada konsentrasi cuka apel 15%, periode pertama setelah pemberian larutan, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati. Periode kedua setelah pemberian, terdapat 2 ekor (40%) caplak yang mati. Periode ketiga setelah pemberian, terdapat 2 ekor (40%) caplak yang mati, pada periode ini total akumulasi caplak yang mati sebanyak 5 ekor (100%) caplak. Pada konsentrasi cuka apel 20%, periode pertama setelah
pemberian larutan, terdapat 2 ekor (40%) caplak yang mati. Periode kedua setelah pemberian, terdapat 2 ekor (40%) caplak yang mati. Periode ketiga setelah pemberian, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati, pada periode ini total akumulasi caplak yang mati sebanyak 5 ekor (100%) caplak.
Pada pengulangan kedua pemberian larutan cuka apel konsentrasi 10% pada periode pertama atau 1 jam setelah pemberian larutan, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati. Pada periode kedua atau 2 jam setelah pemberian larutan, terdapat 2 ekor (40%) caplak yang mati. Pada periode ketiga atau 3 jam setelah pemberian larutan, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati, pada periode ini total akumulasi caplak yang mati sebanyak 4 ekor (80%) caplak. Pada konsentrasi cuka apel 15%, periode pertama setelah pemberian larutan, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati. Periode kedua setelah pemberian, terdapat 3 ekor (60%) caplak yang mati. Periode ketiga setelah pemberian, terdapat 1 ekor (20%) caplak yang mati, pada periode ini total akumulasi caplak yang mati sebanyak 5 ekor (100%) caplak. Pada konsentrasi cuka apel 20%, periode pertama setelah pemberian larutan, terdapat 2 ekor (40%) caplak yang mati. Periode kedua setelah pemberian, terdapat 3 ekor (60%) caplak yang mati, pada periode ini total caplak yang diamati sudah semuanya mengalami kematian, sehingga akumulasi kematian caplak pada periode kedua ini sebanyak 5 ekor (100%) caplak.
Grafik Kematian
Perkonsentrasi Perlakuan
Dari ketiga kelompok konsentrasi pemberian ini dapat dilihat bahwa cuka apel dengan konsentrasi 20%, hampir sama efektifnya dengan fipronil yang digunakan sebagai kontrol positif. Konsentrasi cuka apel 20% memiliki efek yang lebih baik karena memiliki kandungan yang lebih pekat di bandingankan dengan cuka apel konsentrasi 10% dan 15%, sehingga kandungan senyawa aktif di dalamnya pun lebih maksimal untuk menimbulkan efek dalam mematikan caplak.
Caplak yang mati dalam penelitian ini memiliki ciri-ciri mengalami paralisis, yang ditandai dengan struktur kaki yang merejang atau lurus sebelum mati dan setelahnya menekuk ke bagian abdomen. Hal ini seperti yang disampaikan oleh (Hadi et al., 2017; Levine, 1978) dikatakan bahwa ciri-ciri caplak yang mati dan mudah untuk diidentifikasi adalah tidak bergeraknya lagi kaki-kaki caplak dan menekuk ke bagian dalam ventral abdomen.
Belum diketahui secara pasti kandungan apa di dalam cuka apel yang memiliki mekanisme untuk membunuh caplak karena kurangnya riset cuka apel yang digunakan sebagai antiparasit. Namun, merujuk pada (Booth et al., 1988)
yang menyampaikan mengenai mekanisme kerja fipronil yaitu mengganggu aktivitas aliran ion klorida pada sistem syaraf arthropodha yang berikatan pada reseptor yang memiliki fungsi meningkatkan permeabilitas membran parasit terhadap ion klorida, sehingga akan mengakibatkan saluran klorida terbuka dan mencegah pengeluaran Neutransmiter Gama Amino Butiric Acid (GABA). Sebagai akibatnya transmisi neuromuskuler akan terblokir dan polaritas neuron akan terganggu, sehingga akan menyebabkan terjadinya paralisis dan kematian dari parasit. Maka diduga kandungan bahan aktif dalam cuka apel berupa asam asetatlah yang mempengaruhi kematian caplak dalam penelitian ini. Hal ini didukung oleh (Brander et al., 1982) yang menyatakan bahwa reseptor pada parasit yang memiliki kepekaan terhadap asam hanya mampu berikatan dengan senyawa yang memiliki sifat asam yang sama atau lebih kuat untuk dapat mempengaruhi fungsinya.
Mekanisme penyerapan senyawa insektisida sendiri pada parasit dapat terjadi karena senyawa racun berkontak masuk melalui kulit atau diduga mengenai mulut secara langsung. Hal serupa disampaikan oleh (Effendy et al., 1999), bahwa insektisida yang bekerja sebagai racun kontak dapat masuk melalui eksoskelet ke dalam tubuh parasit dengan perantara tarsus saat menginjak permukaan yang mengandung residu insektisida. Insektisida yang bekerja sebagai racun kontak sendiri dipakai untuk membasmi parasit yang mempunyai bentuk mulut tusuk dan penghisap.
Mortalitas |
|||||
|
Sum of squares |
df |
Mean square |
F |
Sig. |
Between groups |
56.667 |
4 |
14.167 |
7.378 |
.000 |
Within groups |
48.000 |
25 |
1.920 |
|
|
TotL |
104.667 |
29 |
|
|
|
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of the Estimate |
1 |
,568 |
.323 |
.299 |
.159090 |
ANOVA
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig |
1.Regression |
33.800 |
1 |
33.800 |
13.355 |
.001 |
Residual |
70.867 |
28 |
2.531 |
|
|
Total |
104.667 |
29 |
|
|
|
a. Pengaruh Tingkat Konsentrasi Pemaparan Cuka Apel Terhadap Mortalitas Caplak
Berdasarkan hasil uji anova diperoleh nilai probabilitas signifikansi sebesar 0,000. Oleh karena nilai hasil uji <0,05, maka dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap mortalitas caplak dengan menggunakan ketiga konsentrasi yaitu Cuka Apel 10%, Cuka Apel 15%, Cuka Apel 20%.
b. Pengaruh Waktu Pemaparan Cuka Apel Terhadap Mortalitas Caplak
Berdasarkan hasil output diatas, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,001 dimana 0,001<0,05 yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara waktu pemaparan terhadap mortalitas caplak. Adapun nilai hasil uji R square didapatkan sebesar 0,323. Hasil angka ini menjadi Koefisien Penentu (KP), yang berarti bahwa pada taraf selang kepercayaan 95%, waktu memberikan kontribusi terhadap mortalitas caplak sebesar 32,3%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.
Melihat hasil data diatas bahwa antara Cuka Apel 10% & Cuka Apel 15% tidak terdapat perbedaan yang signifikan karena hasil yang didapatkan sebesar 0,993>0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan waktu pemaparan Cuka Apel 10% & 15% terhadap mortalitas caplak.
Sama halnya dengan Cuka Apel 10% & Cuka Apel 20% (0,723>0,05) tidak terdapat
perbedaan; Cuka Apel 15% & 20% (0,918>0,05) tidak terdapat perbedaan; Cuka Apel 10% & K+ (0,918>0,05) tidak terdapat perbedaan; Cuka Apel 15% dan K+ (0,993>0,05) tidak terdapat perbedaan; dan Cuka Apel 20% & K+ (0,993>0,05) tidak terdapat perbedaan.
Perbedaan terlihat pada nilai antara Cuka Apel 10% & K- (0,013<0,05); Cuka Apel 15% & K- (0,005<0,05); Cuka Apel 20% & K- (0,001<0,05); dan K+ & K-
(0,002<0,05). Hasil ini menandakan bahwa rata-rata ketiga konsentrasi (Cuka Apel 10%, 15%, dan 20%) berbeda nyata dari kontrol negatif, yang berarti bahwa ketiga konsentrasi memiliki perbedaan signifikan satu sama lain. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengujian ketiga konsentrasi Cuka Apel efektif terhadap mortalitas caplak.
Hasil yang menarik juga dapat dilihat dari data nilai K+ & K- (0,002) > Cuka Apel 20% & K- (0,001). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa Cuka Apel dengan konsentrasi 20% memiliki efektifitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan K+ (fipronil 3%).
Lethal Time (LT50)
Melihat data diatas, paparan Cuka Apel dengan konsentrasi 10% memerlukan lama waktu 2 jam 50 menit untuk memusnahkan sebanyak 50% caplak. Paparan Cuka Apel konsentrasi 15% memiliki waktu yang tidak jauh berbeda dengan Cuka Apel 10% hanya 3 menit lebih cepat yaitu 2 jam 47 menit untuk membunuh 50% caplak. Paparan Cuka Apel 20% memiliki hasil 1 jam 15 menit untuk dapat membunuh sebanyak 50% caplak.
Data ini menunjukan bahwa semakin tingginya konsentrasi Cuka Apel yang digunakan maka semakin kecil waktu yang dibutuhkan untuk membunuh caplak, begitu juga sebaliknya, semakin rendah konsentrasi Cuka Apel yang digunakan maka semakin besar waktu yang dibutuhkan untuk membunuh caplak. Hasil menarik lainnya juga dapat disimpulkan dari data diatas, melihat bahwa data Cuka Apel 20% memiliki selisih waktu yang signifikan jika dibandingkan dengan Cuka Apel 10% & 15%, maka dosis konsentrasi Cuka Apel 20% merupakan dosis lethal dan paling efektif dari ketiga dosis konsentrasi yang diujikan di dalam penelitian ini.
Kesimpulan dari penelitian ini untuk perlunya dikemudian hari dilakukan
penelitian tentang mekanisme bahan aktif cuka apel sebagai anticaplak dalam pengendalian ektoparasit. Pengembangan penelitian perlu dilakukanj lebih lanjut langsung ke anjing. Pengaplikasian Cuka Apel perlu disosialisasikan kepada masyarakat sebagai bahan alternatif yang sudah teruji melalui penelitian ini untuk mengatasi masalah ektoparasit.
Anastos, G. (1950). The Scutate Ticks, Or Ixodiade Of Indonesia. Google Scholar
Andyani, N. M. D. (2019). Perbedaan Zona Hambat Pertumbuhan Propionibacterium Acnes Pada Berbagai Konsentrasi Cuka Apel (Apple Cider Vinegar) Secara In Vitro. Poltekkes Denpasar. Google Scholar
Ayodhya, S. (2014). Management Of Tick Infestation In Dogs. Journal Of Advanced Veterinary And Animal Research, 1(3), 145–147. Google Scholar
Beck, D.-M., Dossey, B. M., & Rushton, C.
H. (2013). Building The Nightingale Initiative For Global Health—NIGH: Can We Engage And Empower The Public Voices Of Nurses Worldwide? Nursing Science Quarterly, 26(4), 366–
371. Google Scholar
Booth, N. A., Simpson, A. J., Croll, A., Bennett, B., & Macgregor, I. R. (1988). Plasminogen Activator Inhibitor (PAI‐1) In Plasma And Platelets. British Journal Of Haematology, 70(3), 327–333. Google Scholar
Brander, G. C., Pugh, D. M., & Bywater, R. J. (1982). Veterinary Applied Pharmacology And Therapeutics. (Issue 4th Edition). Bailliere Tindal. Google Scholar
Coles, T. B., & Dryden, M. W. (2014). Insecticide/Acaricide Resistance In
Fleas And Ticks Infesting Dogs And Cats. Parasites & Vectors, 7(1), 1–10. Google Scholar
Effendy, F. M., Pettinari, C., Skelton, B. W., Whiteá, A. H., Skelton, B., & White, A. (1999). Synthesis And Structural Systematics Of Mixed Triphenylphosphine/Imidazole Base Adducts Of Silver (I) Oxyanion Salts. Journal Of The Chemical Society, Dalton Transactions, 22, 4047–4055. Google Scholar
Hadi, U. K., Soviana, S., & Hakim, L. (2017). Bionomics Of Anopheles (Diptera: Culicidae) In A Malaria Endemic Region Of Sungai Nyamuk Village, Sebatik Island–North Kalimantan, Indonesia. Acta Tropica, 171, 30–36. Google Scholar
Itsa, N. S., Sukohar, A., & Anggraini, D. I. (2018). Pemanfaatan Cuka Sari Apel Sebagai Terapi Antifungi Terhadap Infeksi Candida Albicans (Kandidiasis). Jurnal Majority, 7(3), 290–295. Google Scholar
Levine, M. D. (1978). Federal Housing Policy: Current Programs And Recurring Issues. The Office. Google Scholar
Nambi, A. P., Rathi, B., Dudhatra, G., Yamini, H. S., & Ali Bhat, A. (2016). Efficacy Of A Novel Topical Combination Of Fipronil 9.8% And (S)- Methoprene 8.8% Against Ticks And Fleas In Naturally Infested Dogs. Scientifica, 2016. Google Scholar
Rahmawati, N. (2015). Pengaruh Pemberian Cuka Apel Anna Terhadap Kadar Mda Hepar Tikus Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Yang Diinduksi Parasetamol Dosis Toksik. Google Scholar
Sahu, A., Choi, W. Il, Lee, J. H., & Tae, G. (2013). Graphene Oxide Mediated Delivery Of Methylene Blue For Combined Photodynamic And
Photothermal Therapy. Biomaterials, 34(26), 6239–6248. Google Scholar
Copyright holder : Affan Zufar, Bayu Febram Prasetyo dan Upik Kesumawati Hadi (2021) |
First publication right
: Jurnal Health Sains |
This article is licensed under: |