KONSEP HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KITAB 'UQUD AL-LUJJAYN DAN RELEVANSINYA TERHADAP KONSELING KELUARGA BERBASIS GENDER

Nailu Rokhmatika1, Anila Umriana 2

Universitas Negeri Semarang1,2

nrokhmatika@students.unnes.ac.id

anilaumriana@walisongo.ac.id

Keywords

Abstract

Counseling Gender, Rights are the truth of pair

 

Rights are the truth and authority to do something. Meanwhile, an obligation is something that must be done with a full sense of responsibility. Rights and obligations are two elements that must go hand in hand in life. One of them is that in the context of married life, these two components must be fulfilled in a balanced way. The concept of the rights and obligations of husband and wife in domestic relations is a very important thing to know. This is to create balance in family life, especially in matters of gender justice in the household. Balance in family life will make the family sakinah, mawaddah, warahmah. This research was carried out using a qualitative approach using a library research approach using descriptive, extrapolation and heuristic analysis methods. The author conducted research by collecting data through written sources, both books and journals, related to the concept of rights and obligations according to Imam Nawawi al-Bantani in the book 'Uqud al-Lujjayn, as well as regarding gender-based family counseling or what is known as GAC (gender aware counseling). This research makes the book 'uqudulujaiyn a concrete material object using hermeneutical

Kata Kunci

Abstrak

Konseling Gender, Hak dan Kewajiban Suami Istri.

Hak merupakan kebenaran dan kewenangan melakukan sesuatu. Sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Hak dan kewajiban merupakan dua unsur yang harus berjalan beriringan dalam kehidupan. Salah satunya dalam konteks kehidupan berumah tangga, kedua komponen ini harus dipenuhi secara seimbang. Konsep hak dan kewajiban suami istri dalam relasi rumah tangga merupakan hal yang sangat penting diketahui. Hal ini agar terciptanya keseimbangan dalam kehidupan keluarga, terutama dalam masalah keadilan gender dalam rumah tangga. Keseimbangan dalam kehidupan berkeluarga akan menjadikan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Penelitain ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan pendekatan studi pustaka (Library Research) dengan menggunakan metode analisis deskriptif, ekstrapolasi dan heuristik. Penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data-data melalui sumber-sumber tertulis baik buku maupun jurnal berkaitan dengan konsep hak dan kewajiban menurut Imam Nawawi al-bantani dalam kitab 'Uqud al-Lujjayn, serta mengenai konseling keluarga berbasis gender atau yang dikenal dengan istilah GAC (gender aware counseling). Penelitian ini menjadikan kitab ‘uqudulujaiyn sebagai objek material secara kongkrit dengan menggunakan analisis hermenetik.

 

Corresponding Author: Nailu Rokhmatika 

nrokhmatika@students.unnes.ac.id

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

 

 

 

PENDAHULUAN

 

Islam merupakan agama yang sempurna. Agama yang fleksibel dalam menyikapi setiap perkara serta relevan disetiap tempat dan zaman. Ajarannya sangat memperhatikan asas keadilan dan kemanusiaan. Islam mengajarkan kasih sayang untuk semua makhluk (rahmatalil’alamin) yang tercermin dalam pengaturan hubungan antara sesama manusia (habluminannas). Salah satu bentuknya yaitu,  hubungan  relasi hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan keluarga  berkaitan dengan kedudukan seorang laki-laki dan perempuan terutama berkaitan dengan  permasalahan gender (Erawati, 2017)

 Melihat sejarah umat terdahulu (masyarakat kuno), kedudukan wanita merupakan makhluk yang tidak berdaya dan tak berbudaya. Wanita dianggap sebagai makhluk yang lemah, makhluk yang dapat diperjualbelikan, dipasarkan serta makhluk yang tidak memiliki kebebasan dan tempat atas hak-hak keluarganya. wanita haruslah tunduk dan patuh terhadap kekuasaan laki-laki. Wanita seringkali menjadi sasaran empuk laki-laki dalam melampiaskan kemarahannya, baik kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikis. Namun, setelah diutusnya Nabi Muhammad Saw di Mekkah, pandangan masyarakat jahiliyyah terhadap istri dan anak perempuan mereka mulai berubah. Akan tetapi, permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan menyangkut relasi hubungan suami istri secara hak dan kewajibannya masih banyak terjadi hingga saat ini (Agustiani & Tamam, 2020)

 Melihat perkembangan peradaban manusia serta perubahan zaman yang terus terjadi hingga munculnya era modern dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, mempengaruhi pula cara pandang dan sikap manusianya. Salah satunya yaitu pandangan terhadap kedudukan perempuan. Kaum perempuan dan kaum laki-laki disejajarkan dalam kewajibannya maupun dalam haknya disemua sisi kehidupan. Kesejajaran ini mencakup pula masalah sosial budaya dan politik, kaum perempuan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini di kenal dengan istilah kesetaraan gender (Agustiani & Tamam, 2020). Gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara kultural. Gender bukanlah membahas tentang jenis kelamin, akan tetapi sesungguhnya lebih menekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada yang merupakan produk masyarakat.  Namun, anggapan masyarakat masih banyak yang keliru dengan kesetaraan gender, terlebih berkaitan dengan relasi dalam rumah tangga. Masyarakat dengan latar belakang ekonomi dan pendidikan rendah cenderung masih mempercayai tentang kesuperioritasan laki-laki.

 Salah satu kehidupan yang sangat erat kaitannya dengan permasalahan gender adalah kehidupan dalam rumah tangga. Relasi hak dan kewajiban antara suami istri yang sering kali terabaikan menimbulkan berbagai konflik yang merugikan bagi keduanya terutama bagi perempuan. Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa kaum perempuan. Komnas perempuan Indonesia mencatat setidaknya terdapat 259.150 kasus KDRT atas perempuan sepanjang tahun 2016, dan 259.000 laporan kasus KDRT di tahun 2017, data ini diperoleh dari Pengadilan Agama dan lembaga mitra yang menangani pengadaan layanan di Indonesia, angka ini semakin bertambah bahkan pada tahun 2018 kasus KDRT ini naik 14% dari tahun sebelumnya(Sanger & Sa, 2023)

 Problematika gender dalam keluarga tak hanya mencakup persoalan KDRT. Namun, melipuiti pula persoalan berkaitan tugas dalam rumah tangga. Kaum   Perempuan diperbolehkan bekerja mencari nafkah di luar rumah, Perempuan juga dituntut berkedudukan sebagai pengatur jalannya rumah tangga, baik Ia sebagai istri dan ibu yang memelihara anak-anaknya. Sebaliknya laki-laki berkedudukan sebagai penanggung jawab pencari nafkah untuk keluarganya, karena tugasnya sebagai pencari nafkah suami tidak perduli dan tidak mau tahu dengan urusan rumah tangga terlebih dalam pengasuhan anak. Kondisi ini menimbulkan ketidakseimbangan pada wanita yang   berperan ganda melebihi porsinya. Fenomena  ini menimbulkan meningkatnya  kasus perceraian di Indonesia yang angkanya mencapai 100.000 kasus di tahun 2011-2014, bahkan diprediksi mengalami peningkatan selama 10 tahun kedepan. Pada tahun 2017, 70% kasus perceraian digugat oleh istri.  Jet Veetlev, Lex DePraxis dan Kei Savourie (pakar kelas cinta) dalam seminarnya di Hotel Grand Tjokro Jakarata, Sabtu (11/2/2017) mengatakan bahwa  ini terjadi karena manusia yang semakin egois serta wanita yang berkerja dan sudah memegang uang sehingga mereka berani untuk bercerai, selain itu kurangnya pembekalan untuk menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan pernikahan juga salah satu faktor utama (Putriyani et al., 2023).

 Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pengasuhan anak, pemenuhan nafkah keluarga dan cerai gugat merupakan kasus yang sering terjadi dalam keluarga. Permasalahan ini berkaitan dengan keluarga dalam relasi gender yang melahirkan kebutuhan adanya konseling keluarga yang sensitif gender sebagai salah satu pemberian bantuan dan edukasi terhadap klien, baik laki-laki atau perempuan, anak, suami, istri maupun orang tua. Karena klien berhak untuk hidup aman, nyaman dan bahagia. Bahkan Negara melindungi hak individu ini secara hukum. Perlindungan  hukum  memberikan efek jera pada pelaku, terutama dalam kasus KDRT (Sutoyo et al., 2017)

 Pemberian bantuan dalam konseling keluarga berbasis gender salah satunya dengan memberikan pemahaman tentang hak dan kewjiban suami istri secara benar dengan melihat kedudukan masing-masing secara tepat. Konselor dapat menggunakan konsep hak dan kewajiban suami istri secara Islam. Secara islami laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Secara prinsipal dalam agama Islam siapapun yang melakukan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka ia akan memperoleh surga. Jika dilihat dari fungsional laki-laki memegang tanggung jawab yang mengatur serta melindungi keluarga, namun hak dan tanggung jawab ini tidak boleh disalahgunakan. Sementara itu perempuan memiliki tanggung jawab untuk mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, ia akan dimintai pula pertanggung jawaban atas pelaksanaan kewajibannya (Corey, 2015).

 Salah satu pendapat ulama berkaitan dengan relasi hak dan kewajiban dalam keluarga adalah Imam Nawawi Al- Bantani dalam kitabnya yaitu “Uqud al-Lujjayn”. Kitab ini merupakan kitab yang berisi komentar-komentar Imam Nawawi Al-Bantani berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warokhmah. Kitab ini tercipta karena Imam Nawawi Al-Bantani memberikan jawaban berkaitan tentang pertanyaan-pertanyaan umat saat itu tentang bagaimana membangun rumah tangga dengan terpenuhinya hak serta kewajiban suami dan istri. Imam Nawawi sendiri memberikan komentar atau jawabannya dilengkapi landasan-landasan al Qur'an, hadis, asar sahabat dan hikayat-hikayat. 

 Menurut Imam Nawawi Al-Bantani, dalam membina rumah tangga sangat baik untuk memahami bagaimana hak dan kewajiban suami dan istri. Hal ini dapat menjadikan terbentuknya relasi yang baik dalam keluarga sehingga mampu mewujudkan sakinah, mawaddah, warokhmah, sesuai dengan tuntunan Islam. Salah satu yang dianjurkan islam  yaitu dengan memperlakukan secara baik pasangannya atau yang dikenal dengan istilah Mu’asyarah bil ma’ruf (Sutoyo, 2016)

 Saat ini banyak sekali keluarga yang belum dapat menciptakan rumah tangga yang sejahtera terutama dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan serta munculnya berbagai problematika yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban yang menimbulkan pertikaian dan perceraian yang merugikan untuk kedua belah pihak.

 

METODE PENELITIAN

 Penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yaitu studi pustaka. Penelitain kualitatif adalah penelitian yang tidak mengadakan perhitungan serta berfokus pada kata dan menggunakan analisis induktif dan deduktif. Penelitian ini merupakan penelitian literer (kajian pustaka), dengan hasil akhir berupa kata-kata tertulis (Sugiyono, 2010). Adapun objek dalam penelitian ini adalah konsep hak dan kewajiban yang ada dalam Kitab uqud al-lujjayn Imam Nawawi Al-Bantani. Penelitian ini menggunakan literartur-literatur atau buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian yang akan diteliti dan menekankan analisis terhadap relevansinya atau hubungan penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan fenomena yang diamati menjadi objek dengan menggunakan dinamika ilmiah serta penelitian ini tidak mengadakan perhitungan sebagaimana penelitian kuantitatif. Data dalam penelitian ini bersifat deskriptif.  Pengumpulan data dilakukan dengan jalan penelitian keperpustakaan (Library research), yaitu jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis. Penelitian ini tidak melakukan observasi secara kritis terhadap objeknya atau tidak kedalam lapangan dan penelitian ini berusaha memperoleh pemahaman dan tempat baru guna mengembangkan teori (Anggraini et al., 2020).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Perkawinan merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam Islam. Penganjuran ini bahkan bersifat sunnah muakkad dan dapat dikatakan wajib, kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu secara fisik maupun finansial. Menjalani bahtera rumah tangga dibutuhkan persiapan yang matang. Hal ini agar tidak terjadinya perceraian yang menyebabkan rusaknya akad pernikahan antara laki-laki dan perempuan, penyebab perceraian diantaranya tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Karena itu, memahami hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga sangatlah penting (Kusuma & Putri, 2018)

 Pernikahan memiliki tujuan salah satunya memperoleh Ridho Allah swt dan memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Dalam menjalankan kehidupan berumah tangga patut mengutamakan hak dan kewajiban suami istri. Dalam pandangan syariat Islam laki-laki (suami) harus menafkahi seorang istri dan memenuhi kebutuhan keluarganya, baik sandang, pangan maupun untuk pendidikannya. Kemudian istri ditugaskan dalam keluarga sebagai pemimpin didalam urusan rumah tangganya, seperti mengurus anak dan mendidik anak.  Ia diperintahkan untuk taat kepada suami dalam hal apapun kecuali tidak mendurhakai Allah swt, laki-laki (suami) juga diperintahkan untuk tidak menyakiti perempuan (istri).

 Tujuan membina keluarga yaitu terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warokhmah yang terwujud karena terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri. Salah satu yang dapat menjadi acuan adalah konsep hak dan kewajiban suami istri secara islam. Namun, apabila melihat keadaan realita dewasa ini yang telah tergerus oleh arus globalisasi, mulai  hilangnya semangat mempelajari dan mengulas kembali pandangan-pandangan tradisional tentang hak dan kewajiban suami istri dengan ketentuan islam, banyak sekali anggapan bahwa konsep ini sudah tidak relevan dengan keadaan zaman dan tempat (Sutoyo, 2007). Hal yang perlu digaris bawahi yaitu islam merupakan agama yang relevan dengan semua tempat dan keadaan, karenanya mengulas kembali nilai-nilai lama pandangan ulama islam perlu untuk dibangkitkan.  Salah satu konsep hak dan kewajiban suami istri secara islam dipaparkan oleh Sayyid Ulama Hijaz Imam Nawawi bin Umar al-Jawi atau yang dikenal dengan Imam Nawawi al-Bantani. Beliau memberikan nasehat berkaitan relasi hak dan kewajiban suami istri termaktub dalam karyanya yang populer dikalangan Pesantren salaf di Indonesia yaitu kitab Uqud al-Lujjayn Fi Bayani Huququizzaujain. Mengulas dan memahami isi kembali kitab ini sebagai bekal berumah tangga di era modern ini sangatlah perlu sebagai acuan dalam penyelesaian problematika rumah tangga yang berkaitan dengan relasi hak dan suami istri yang ada dalam masyarakat, terutama masyarakat Islam. Adapun hasil analisis penulis adalah sebagai berikut:

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga suami memiliki tanggung jawab dalam hal memunuhi nafkah bagi keluarganya, dan harus memiliki perilaku yang baik terhadap istrinya. Seorang suami harus mampu membimbing keluarganya, memberikan pendidikan kepada seorang istri agar kehidupan berkeluarga tidak keluar dari jalan yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 19:

Artinya:"Dan bergaulah dengan mereka (wanita) secara patut."

Maksud dari istilah "secara patut" yaitu berlaku bijak. Seorang suami harus mampu bersikap bijak terhadap sang istri. Jika seorang suami berpoligami maka sudah seyogyanya ia dapat mengatur waktu untuk istri-istrinya.  Begitu pula dalam hal nafkah batin maupun lahir, ia harus bersikap adil dan tidak pilih kasih.  Selain itu, maksud dari bijaksana atau patut (ma'ruf) yaitu berkaitan dengan perangai sang suami. Ia harus berkata baik dan halus kepada sang istri. Allah juga berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 228,

Artinya : "Dan mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkat (kelebihan) dari pada mereka".

 Kedua Firman Allah ini membahas mengenai "ma'ruf" yang ada dalam kehidupan berkeluarga suami-istri harus saling menghormati/ sopan dan santun. Saling berkata baik, tidak melakukan hal yang dapat melukai perasaan diantara keduanya, bahkan sampai kepada saling memiliki rasa dendam. Masing-masing keduanya berkewajiban untuk melaksanakan hal tersebut. Kemudian Imam Nawawi al-Bantani mengutip pendapat Ibnu Abbas r.a,

Kemudian Ibnu Abbas r.a berkata 

Artinya :" maksud dari cara yang ma'ruf ialah, bahwa saya senang berdandan demi istri saya, sememntara diapun senang berdandan demi diri saya".

Dari perkataan Ibnu Abbas r.a diatas memiliki maksud bahwasanya seorang suami wajib berperilaku menyenangkan seorang istri salah satunya adalah dengan berdandan nya seorang suami hanya untuk istrinya saja, agar selalu terlihat baik dihadapan istrinya. Dalam sebuah riwayat Imam Turmudzi dan Ibnu Majah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW, saat melakukan Haji Wada', Haji terakhir yang kala itu bertepatan pada hari Jum'at, beliau Menyampaikan Khutbah. Setelah ucapan puji syukur kepada Allah. Beliau Menyatakan:

Artinya:"Ketahuilah olehmu bahwa kamu sekalian hendaknya melaksanakan wasiatku, yaitu melakukan hal yang terbaik bagi wanita. Mereka itu tertahan disisimu. Bagimu tidak ada pilihan dalam menghadapi mereka selain apa yang mereka wasiatkan itu, kecuali kalau mereka melakukannya, maka kamu sekalian hendaknya menghindar dari mereka ditempat peraduan dan berikanlah pukulan yang tidak memberatkan. Akan tetapi kalau mereka taat kepadamu, maka kamu sekalian tidak boleh mencari jalan untuk memukul mereka. Ketahuilah bahwa kamu sekalian mempunyai hak atas istrimu dan merakapunmempunyai hak atas dirimu. Adapun hak kalian atas mereka yaitu mereka tidak memperkenankan tilam milikmu tersentuh oleh orang lain yang tidak kamu sukai, dan tidak mengizinkan rumahmu dimasuki oleh orang yang tidak kamu sukai pula. Dan ingatlah bahwa kamu sekalian harus menunjukan kebaikanmu terhadap mereka baik dalam memberikan sandang maupun pangan.

Dalam hadist di atas Nabi Muhammad SAW, bermaksud memberikan perhatian kepada kaum muslim agar mendengarkan apa yang diwasiatkan kepada mereka, selain itu Nabi memerintahkan agar kaum muslim melaksanakan wasiat itu. Dalam hal ini beliau menganjurkan agar kaum muslimin berhati lembut terhadap istri serta menunjukan perilaku yang baik dalam bergaul dengan Wanita (Faishol, 2011). Hal itulah yang dimaksud melakukan hal yang terbaik bagi wanita. Dalam hadist diatas terdapat kata "Fakhisyah" yang artinya meninggalkan kewajibannya sebagai istri, yaitu seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami, membicarakan tentang aib sang suami kepada orang lain. Namun suami dituntut untuk memiliki cara yang paling baik dalam menyelesaikan masalah dengan sang istri. Dalam sebuah riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan perhatian bahwa istri adalah titipan Allah SWT yang menuntut tanggung jawab yang sangat besar dari suami. Seorang suami diperkenankan melakukan pukulan yang dijatuhkan kepada sang istri apabila perilaku buruknya tak kunjung berubah, namun dengan ketentuan tidak boleh memukul bagian wajah seorang istri. Kendati melakukan "pukulan" diperbolehkan, suami harus mampu untuk menahan diri. Seorang suami hendaknya melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

1.   Memberikan wasiat, memerintahkan, mengingatkan untuk berbuat baik dan menyenangkan hati istri.

2.   Memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya, usaha dan kekuatannya. 

3.   Suami hendaknya sabar, dapat menahan diri, dan tidak mudah marah apabila istri menyakiti hatinya. 

4.   Seorang suami hendaknya bersikap lemah lembut dan berbuat baik terhadap istrinya. 

5.   Hendaknya sang suami menuntun istrinya pada jalan kebaikan (Dachlan, 2007).

6.   Hendaknya suami mengajari istri nya perihal masalah agama, sebagaimana di katakan oleh Syeikh 'Athiyah'. "Suami hendaknya mengajarkan istrinya apa yang menjadi kebutuhan agama nya, dari hukum-hukum bersuci seperti mandi haid, janabah, wudhu dan tayamum''. 

7.   Suami harus mengajarakan berbagai ibadah kepada istri, baik ibadah fardu, sunah, seperti sholat, zakat, puasa dan ibadah haji.  Jika suami dapat mengajar istrinya sendiri maka istrinya tidak boleh untuk keluar rumah dan bertanya pada orang lain atau ulama. Jika sang suami tidak tahu di sebabkan karena sedikitnya ilmu yang dia miliki maka sebagai gantinya ia harus menanyakan persoalan yang ditanyakan sang istri pada para alim atau ulama. Lalu menerangkannya pada sang istri (Jaja Suteja dan Muzaki, 2019).  

8.   Suami hendaknya mengajar budi pekerti yang baik kepada keluarga nya. Sebab manusia yang sangat berat siksanya hari kiamat adalah orang yang keluarganya bodoh-bodoh dalam agama Islam. 

 

 Seorang suami memiliki tingkat kelebihan pada seorang istri. Hal ini karena sang suami telah memberikan maskawin terhadap seorang istri dan nafkah bagi istrinya. pendapat yang dikemukakan Imam Nawawi al-Bantani mengenai konsep hak dan kewajiban ini merupakan pendapat yang menjadi acuan banyak ulama setelahnya terutama ulama-ulama salaf. Inti pemikirannya yang ditulis Imam Nawawi al-Bantani tergambarkan pada muqqodimah kitab uqud al-lujjayn. Imam nawawi dalam konsep hak dan kewajibannnya menitikberatkan dalam mu'asyarah bil ma'rufnya yaitu dengan adanya perimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Imam Nawawi al-Bantani dalam pendapatnya melalui kitab uqud al-Lujjayn memulainya dengan mengkutip surat An-Nisa ayat 19 dan Al-Baqarah ayat 228. Imam Nawawi memberikan gambaran bahwa memperlakukan wanita harus dengan hal yang baik dan mengutamakan penghormatan, laki-laki diharuskan menjadi imam yang cerdas serta memiliki kesanggupan dan tanggungjawab sebagai pencari nafkah dan pelindung bagi keluarganya. Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga hakikatnya memiliki keseimbangan namun, hak yang dimiliki masing-masing berbeda (M.Shihab, 2016)

Konseling berperspektif gender (Gender Aware Counseling) bertujuan agar memberikan kesadaran dan kepekaan gender kepada klien, memperluas wawasan tentang gender dan membantu meningkatan keterampilan mengatasi hambatan pengembangan karir maupun peran dalam latar relasi gender (Bakioglu & Türküm, 2020). Pada awalnya bias-bias gender dalam pelaksanaan konseling direspon oleh para konselor feminis dengan mengembangkan konseling feminis, sarannya adalah pemecahan masalah gender yang hanya berfokus pada masalah perempuan, sehingga tidak bisa memecahkan masalah laki-laki. Konseling berperspektif gender disebut dengan non-sexism yakni dibangun dengan dasar hubungan setara. Relasi yang berdasarkan pada pandangan bahwa 'aku" dan "kau'' adalah hubungan antar manusia walaupun berbeda fisik(Qurotul, 2015).  

 Apa yang diungkapkan oleh Syeikh Nawawi dalam Kitab Uqud al-Lujjayn tidak sepenuhnya bias gender. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Husein Muhammad, konsep hak dan kewajiban suami istri yang diungkapkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya menyebutkan bahwa relasi suami istri dalam rumah tangga harus didasari dengan Mu'asyarah bil Maruf. Relasi yang ada dalam hubungan rumah tangga memilki keseimbangan hak dan kewajiban suami istri (Forum Kajian Kitab Kuning, 2011). Suami harus memperlakukan istri secara baik, istri memiliki hak diperlakukan secara baik menurut syariat dan ia memiliki hak untuk terbebas dari saling menyakiti. Imam Nawawi memaparkan tentang adanya Mu'asyarah bil Ma'ruf dalam rumah tangga, adanya kewajiban nafkah untuk suami, mahar, relasi seksual dan adanya penghormatan diantara keduanya. Tidak dapat dipungkiri pemikiran Imam Nawawi memang bersifat tradisional, pemikiran Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Uqud al-Lujjayn masih terpengaruh budaya patriyakhi. Namun  dalam pemikiran Imam Nawawi tersirat bahwa sebenarnya yang diutamakan dalam membentuk keluarga sakinah adalah adanya rasa penghormatan antara suami dan istri, persalingan dan saling memahami antara suami istri harus diutamakan.

           

KESIMPULAN

Menurut Imam Nawawi al-Bantani konsep hak dan kewajiban suami istri merupakan hal yang harus terpenuhi agar terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah, warahmah. Suami istri memiliki hak dan kewajiban bersama untuk mempergaulinya secara ma'ruf (patut) baik dalam hubungan sosial maupun dalam seksualitas. Keduanya harus saling menyayangi dan menghormati. Suami memiliki hak atas istri yaitu; istri wajib taat atas suami kecuali dalam hal maksiat, istri  wajib menjaga harta suami, istri diwajibkan untuk menjaga auratnya tidak menampakan pada laki-laki lain, tidak berselingkuh dan tidak menuntut sesuatu yang suami tidak mampu. Sementara itu suami memiliki kewajiban yang merupakan hak istri, yaitu: istri harus digauli secara baik, saumi harus memberikan mahar kepada istrinya, memberikan nafkah batin maupun fisik, memenuhi kebutuhannya, serta wajib memberikan pengajaran memngenai ibadah baik tentang ibadah wajib maupun sunnah. Jika suami tidak mampu memberiakan pengajaran maka diperbolehkan untuk bertanya pada ulama dan memberikan izin sang istri untuk bertanya kepada ulama. Konsep hak dan kewajiban yang ditawarkan Imam Nawawi dalam kitab 'Uqud al-lujjayn tidak sepenuhnya bias gender, hal ini karena Imam Nawawi memberikan argumentasinya berkaitan Mu'asyarah bil ma'ruf yaitu harus adanya perimbangan diantara keduanya dalam hak dan kewajibannya. Konsep yang beliau berikan merupakan konsep secara islami yang memandang bahwa sesungguhya kedudukan antara laki-laki dan perempuan dimata sang Khaliq adalah sama hanya ketakwaanyalah yang membedakannya. Selain itu Imam Nawawi memaparkan jika laki-laki memiliki kelebihan dari perempuan   merupakan kodrat alamiahnya yang menyebabkan ia memiliki kewajiban dan tugas yang harus dipertanggungjawabkan. Sementara wanita juga memilki tugas dan tanggungjawab yang harus ditanggungjawabkan diakhirat. Keduanya memiliki konsekuensi masing-masing.

 

BIBLIOGRAFI

Agustiani, R., & Tamam, A. M. (2020). Guidance and Counseling Program for Marriage and Family Readiness for MA Students. Prophetic Guidance and Counseling Journal Http://Ejournal.Uika-Bogor.Ac.Id/Index.Php/Prophetic/Index, 1(2), 90–97. https://doi.org/10.32832/pro-gcj.v1i2.3380

Anggraini, I. A., Utami, W. D., & Rahma, S. B. (2020). Analisis Minat dan Bakat Peserta didik terhadap Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Dasar, 7(1), 23–28. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/terampil/index%0ATerampil:

Anwar Sutoyo. (20007). Bimbingan dan Konseling islami. Pustaka Pelajar.

Anwar Sutoyo. (2016). Menjadi Penolong (Cetakan I). Pustaka Pelajar.

Bakioglu, F., & Türküm, A. S. (2020). Investigation of the Relationships among Psychological Counselor Candidates’ Counseling Self-Efficacy, Multicultural Competence, Gender Roles, and Mindfulness. International Journal of Progressive Education, 16(2), 223–239. https://doi.org/10.29329/ijpe.2020.248.17

Corey, G. (2015). Theory & Practice of Group Counseling.

Dachlan, A. (2007). Membina Rumah tangga bahagia Dan Peran Agama Dalam rumah tangga. Jamunan.

Erawati, D. (2017). Relation between Religious Understanding and Women ’ s Life. Prosiding Seminar Internasional IAIN Palangkaraya, 1741–1748.

Faishol. (2011). Hermenetika Perempuan Dalam tafsir bahr Al Muhith. UIN Maliki Press.

Forum Kajian Kitab Kuning. (2011). wajah Baru Relasi Suami Istri Dalam Uqudulujayn. LKIS.

Jaja Suteja dan Muzaki. (2019). PENGABDIAN MASYARAKAT MELALUI KONSELING KELUARGA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DI KABUPATEN CIREBON Jaja. 2(1), 33–51.

Kusuma, P., & Putri, D. (2018). KOMUNIKASI ANTAR SUAMI ISTRI BAGI KESETARAAN GENDER COMMUNICATION BETWEEN SPOUSES FOR GENDER. Jurnal PERSPEKTIF Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Dan Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2(2).

M.Quraish Shihab. (2016). Tafsir Al Misbah (Volume 9). PT. Lentera Hati.

Putriyani, I., Gultom, Y. O., Hasugian, T., Jambi, U., & Budaya, K. L. (2023). PANDANGAN PSIKOANALISIS DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA DAN CARA MENGHILANGKAN BIAS BUDAYA PADA PESERTA DIDIK. KOPENDIK : Jurnal Ilmiah KOPENDIK (Konseling Pendidikan) Vol. 2, No. 1, Maret 2023, Hal 13-20 E-ISSN: 2829-3045 Available Online at Online-Journal.Unja.Ac.Id/Kopendik PANDANGAN, 2(1), 13–20.

Qurotul, A. (2015). Keadilan gender dalam Islam. Instrans Pubishing.

Sanger, I. F., & Sa, N. (2023). Peran Konseling Feminis dalam Menangani Proses Kasus Violence ( Kekerasan ) terhadap Perempuan. Ulil Albab Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(11), 5075–5085.

Sugiyono, P. D. (2010). Cara Mudah Menyusun Skripsi: SKRIPSI dan DESERTASI. ALFABETA.

Sutoyo, A., Semarang, U. N., & Efektif, P. (2017). Peran Iman dalam Pengembangan Pribadi Konselor yang Efektif. Jurnal Psikoedukasi Dan Konseling, Vol 1, No.(4). https://doi.org/: http://dx.doi.org/10.20961/jpk.v1i1.11240