PANDANGAN FILSAFAT KONSTRUKTIVISME TERHADAP KONSEP  “MERDEKA BELAJAR”

Anisa Fitri1, Moch. Rif'at Azizi2

Sekolah Tinggi Agama Islam Sirojul Falah Bogor1, Universitas Ibn Khaldun Bogor2, Indonesia

Email: anisaaaa771@gmail.com1, mrifatazizi@gmail.com2

 

Keywords

Abstract

Constructivism Philosophy, Freedom of Learning

Learning in Indonesia is very dynamic, this is accompanied by the rapid development of technology. The purpose of this research is to describe the view of Constructivist Philosophy with an independent curriculum. The method used in this study is a literature study using a philosophical approach (analysis of the school of constructivism philosophy in the independent curriculum). The data collection method used is the documentation method, and data is collected from books in libraries and the internet, as well as articles and magazines related to various works in the research. The results of this study show that the independent curriculum that uses the concept of independent learning is very much in line with the philosophical theory of constructivism that encourages teachers and students to construct their own knowledge. Ultimately understanding and applying the perspective of the philosophical school of constructivism and combining it with the unique curriculum published by the Ministry of Education and, we will create innovations that can motivate students to build their learning experience learning process to achieve this. Based on the culture of the Unitary State of the Republic of Indonesia, the Pancasila Student Profile hopes that education in Indonesia will be of higher quality and carried out with a clear direction and goals in line with the times. Because the important point in this independent curriculum is to improve the Pancasila Student Profile itself, according to its conditions.

Kata Kunci

Abstrak

Filsafat Konstruktivisme, Merdeka Belajar

Pembelajaran di Indonesia sangat dinamis, hal ini diiringi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pandangan Filsafat Konstruktivisme dengan kurikulum merdeka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dengan menggunakan pendekatan filosofis (analisis aliran filsafat konstruktivisme dalam kurikulum merdeka). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, dan data dikumpulkan dari buku-buku  di perpustakaan dan internet, serta artikel dan majalah yang berkaitan dengan berbagai karya dalam penelitian. Hasil penelitian ini  menunjukkan bahwa kurikulum merdeka yang menggunakan konsep  merdeka belajar sangat sesuai dengan teori filosofis konstruktivisme yang mendorong guru dan siswa untuk mengkonstrusikan pengetahuannya sendiri. Pada akhirnya memahami dan menerapkan perspektif aliran filosofis konstruktivisme dan menggabungkannya dengan kurikulum unik yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan , kami akan menciptakan inovasi yang dapat memotivasi siswa untuk membangun pengalaman belajar mereka proses pembelajaran untuk mencapai hal tersebut. Berdasarkan budaya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila mengharapkan agar pendidikan di Indonesia semakin bermutu dan terselenggara dengan arah dan tujuan yang jelas sejalan dengan perkembangan zaman. Karena poin penting dalam kurikulum merdeka ini adalah untuk meningkatkan Profil Pelajar Pancasila  itu sendiri, sesuai dengan kondisinya.

Corresponding Author: Anisa Fitri
anisaaaa771@gmail.com

 

PENDAHULUAN

Filsafat merupakan hal yang penting atau landasan bagi sistem Pendidikan Indonesia, karena tanpa filsafat seorang pendidik tidak mempunyai pedoman dalam merancang, melaksanakan dan meningkatkan mutu pendidikan (Fahira et al., 2023). Filsafat mempunyai tujuan untuk membantu para pendidik memahami hakikat kehidupan bagi individu maupun masyarakat. Kehidupan yang semakin berkembang ini merupakan sebuah kebenaran yang tidak bisa kita hindari, begitu juga dengan filsafat sendiri yang dapat membantu dalam pengembangan kurikulum, dan menetapkan kriteria rancangan, proses, serta tujuan dari pendidikan. Salah satu alasan inti filosofi menjadi bagian dari kurikulum adalah karena memberikan siswa pengetahuan yang mereka butuhkan untuk berhasil dalam hidup (Nadia & Erita, 2022)

Pendidikan bermutu dan berkualitas merupakan cerminan dari majunya suatu negara yang nantinya akan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif (Akmal, 2024). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Nadiem Anwar Makarim, merencanakan kebijakan kurikulum pendidikan “Merdeka Belajar” yang menurut Kementerian bahwa keleluasaan kepada peserta didik dan pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas, hal ini nantinya akan bersinggungan langsung dengan kehidupan peserta didik dan mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Kebijakan kurikulum “Merdeka Belajar” mengundang banyak perhatian masyarakat begitupun kami sebagai penulis juga tertarik untuk mengkaji hal ini dengan menggunakan pandangan Filsafat Konstruktivisme yang menekankan pada pengetahuan dan pemberian kebebasan bagi guru dan peserta didik dalam memperoleh pengetahuan secara mandiri, agar peserta didik menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk beradaptasi terhadap lingkungan, aktif mengembangkan pengetahuan, bukan menerima umpan dan pengetahuan siap saji dari guru atau sesama siswa yang sesuai dengan tuntutan zamannya (Shofiyah, 2018)

Saat ini Indonesia telah memasuki babak baru dalam dunia pendidikan, dan pendidikan bukan lagi sekedar belajar di kelas, duduk rapi di meja sekolah dan mendengarkan guru  menjelaskan isinya, melainkan stagnan di dalam kelas, yaitu memperhatikan pelajaran. Instruksi guru, pembelajaran yang sungguh-sungguh tanpa adanya kesempatan eksplorasi diri, keseragaman seragam, keseragaman distribusi seluruh bahan ajar, strategi pembelajaran, penilaian pembelajaran yang seragam. Beberapa hal tersebut merupakan penerapan dari paradigma behavioris, yaitu paradigma yang sangat teratur dan terikat secara tidak  langsung pada berbagai aturan dalam paradigma tersebut.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah merilis Kurikulum  terbaru yang sepenuhnya membantah teori pendidikan tradisional yang  menjadi model penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Silabus terbaru  mengangkat konsep pembelajaran  tidak teratur sebagaimana tanggung jawab sekolah, guru, dan siswa untuk mewujudkan kebebasan belajar. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai kontroversi di masyarakat, khususnya di kalangan praktisi dan cendekiawan Indonesia. Kurikulum yang biasa kita sebut dengan “kurikulum yang berdiri sendiri” ini akan relevan secara langsung dengan kehidupan siswa. Kurikulum ini menciptakan lingkungan pendidikan yang positif dan sejalan dengan perkembangan  saat ini. Teori yang  digunakan bukan lagi teori behavioral, melainkan paradigma baru yang melahirkan generasi yang mampu melakukan eksplorasi diri secara mendalam. Pendidik tidak  hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada peserta didik, namun peserta didik juga harus berperan aktif dalam mengkonstruksikan sendiri pengetahuan yang tersimpan dalam memori otaknya. Konsep "kebebasan belajar" dalam kurikulum mandiri  sebagian besar konsisten dengan filosofi konstruktivisme. Hal ini dikarenakan  filsafat konstruktivisme mendukung siswa dalam memanfaatkan keterampilannya untuk beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman. Siswa harus secara aktif mengembangkan  pengetahuannya sendiri, tidak hanya menerima umpan balik dan pengetahuan yang telah ditetapkan sebelumnya dari guru dan teman sebaya, tetapi juga membangun pengetahuannya sendiri, mengembangkan ide-ide kreatif, dan Harus mengambil inisiatif untuk  berperan di antara siswa.  Kegiatan Bermain Inilah tujuan terpenting dalam hidup. Menurut (Asmani, 2016), pembelajaran  konstruktivisme memang memiliki beberapa kelebihan. Misalnya sumber belajar tidak hanya disediakan oleh guru, tetapi juga lingkungan tempat siswa berinteraksi, siswa  menjadi lebih aktif dan kreatif,  pembelajaran menjadi lebih bermakna, dan sebagainya.

Hal ini karena diperoleh melalui pengalaman siswa  sendiri, dan siswa mempunyai kebebasan belajar untuk secara bebas menghubungkan pengalamannya dengan konsep-konsep pembelajaran yang ada guna memecahkan masalah  dan mengambil keputusan. profil pelajar Pancasila dikonstruksi dan dibentuk melalui serangkaian proses skema: adaptasi, asimilasi, penyesuaian, keseimbangan, dan pengorganisasian. Semua proses ini dipaksakan melalui  serangkaian pengalaman (Hakiky et al., 2023).

 

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini berdasarkan Metode Penelitian Perpustakaan (Library Research)  dengan Pendekatan Filsafat (menganalisis pandangan Aliran Filsafat Konstruktivisme terhadap Kurikulum merdeka). Teknik pengumpulan data yang  dilakukan adalah teknik dokumentasi yang mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi. (Saputri, 2022), teknologi dokumentasi mengumpulkan, menghimpun, dan merangkum data dari buku-buku  di perpustakaan dan di Internet, serta  makalah dan jurnal yang berkaitan dengan berbagai karya dalam penelitian, dan menggunakannya dalam kajian penelitian untuk menghubungkan ke analisis data yang dilakukan dengan membandingkan data literatur yang berbeda dan dari data dokumen yang berbeda tentang objek.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

  1. Mengenal Filsafat Konstruktivisme Secara Umum

Istilah constructivism –yang dalam bahasa Indonesia diserap menjadi konstruktivisme- berasal dari kata kerja Inggris “to construct.” Kata ini juga merupakan serapan dari bahasa Latin “conetruere” yang mempunyai arti menyusun atau membuat struktur. Secara istilah, konstruktivisme merupakan aliran filsafat yang menganggap bahwa pengetahuan adalah buah dari konstruksi –bentukan- diri sendiri. Lebih lanjut, Von Glasersfeld dalam Suparno menegaskan bahwa pengetahuan bukan suatu imitasi atau tiruan dari sebuah kenyataan (Suparno, 1997).

Filsafat Konstruktivisme adalah gerakan yang memiliki posisi yang dapat di sambungkan dengan filosofis dalam pendekatan pembelajaran, karena Kontruktivime sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan karena ini berhubungan dengan pemikiran serta kehidupan dengan konsep mendasar (Muktapa, 2021). Akhir dari pada  filsafat  ialah  terjadinya  dialektika,  untuk  itu  filsafat  tidak  dialami  dengan melakukan  eksperimen  atau  percobaan,  tapi  dengan  cara mengutarakan  masalah secara  persis,  mencari  solusinya,  dan  memberikan  alasan  yang logis  untuk  solusi tertentu.

Prinsip dasar filsafat konstruktivisme adalah bahwa segala pengetahuan tidak dibentuk atau dikonstruksi berdasarkan pendapat  langsung melalui indera manusia seperti  penglihatan dan pendengaran, tetapi segala sesuatu dikonstruksi berdasarkan keinginan dan pengalaman. Selanjutnya  pengetahuan diartikan hanya  sebagai pengetahuan yang dibentuk oleh otak manusia, dan subjek yang berpikir diasumsikan tidak mempunyai pengetahuan lain selain mengkonstruksi pengetahuan dan pemikirannya sendiri  berdasarkan pengalaman dan bersikap objektif. Bagaimanapun, pengetahuan yang diperoleh dari filsafat konstruktivis pada dasarnya didasarkan pada pemahaman dan pengalaman individu, sehingga menjadikannya unik dan khusus. Pengetahuan ini bersifat dinamis, karena orang terus-menerus mengalami perubahan melalui revisi desain dan dipenuhi dengan pengaruh baru sebagai respons terhadap pengalaman mereka (Waston, 2014). Dan menurut saya hasil pembelajaran ini bersifat subjektif dan tergantung kepada masing – masing individu yang berbeda latar belakang sehingga akan menghasilkan jiwa kemandirian dari peserta didik berbeda dengan pandangan behavioristik yang memandang segala sesuatu sesuai dengan “ keteraturan” dalam proses pembelajaran.

Pelopor pendekatan pembelajaran konstruktif ini  adalah John Dewey, Maria Montessori, Jean Piaget, dan Lev Vygotsky. Piaget sering menekankan bahwa konstruktivisme adalah proses belajar dari sudut pandang pribadi, yaitu konstruktivisme kognitif individu. Ia menjelaskan bagaimana proses kognitif perkembangan intelektual seseorang terjadi. Pengetahuan menyesuaikan pikiran dengan kenyataan.  Istilah yang sering digunakan Piaget untuk menggambarkan pengetahuan, yang dikenal sebagai perkembangan kognitif, adalah skema, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. Di sisi lain, menurut Vygotsky, pengetahuan menekankan dan membahas konstruktivisme proses pembelajaran dalam aspek sosialnya, yaitu konstruktivisme sosiokultural. Meskipun tidak ada teori konstruktivis yang tunggal,  setidaknya ada dua gagasan dasar yang sama. Pertama, peserta didik secara biologis bersedia menerapkan pengetahuannya ke dalam praktik secara konstruktif. Kedua, interaksi sosial merupakan aspek penting dalam membangun pengetahuan. Agar perilaku manusia diakibatkan oleh kedua faktor tersebut (Nurhidayati, 2017).

Konstruktivisme sosiologis pertama kali dikemukakan oleh Emile Durkheim, kemudian dikembangkan oleh pakar sosiokultural seperti Peter Berger, dan yang terbaru dikembangkan oleh pakar pendidikan sains seperti Barry Barnes dan Bruno, Latour. Ide dasar konstruktivisme sosiologis adalah bahwa dinamika pembentukan pengetahuan siswa merupakan hasil pengaruh lingkungan sosial melalui kajian terhadap lingkungan. Berbeda dengan Piaget dan Vygotsky, pemahaman ini mengabaikan mekanisme yang mempengaruhi aspek psikologis individu siswa. Menurut Piaget dan Vygotsky, hal ini sangat penting dalam proses belajar pengetahuan. Menurut konstruktivisme sosiologi, tidak ada kebenaran mutlak karena pengetahuan merupakan suatu bentuk struktur kognitif, tidak jauh berbeda dengan struktur literasi manusia. Pendapat ini mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia pendidikan, khususnya pada pendidikan sains saat ini. Para pendukung konstruksionisme sosial berpendapat bahwa  proses penciptaan pengetahuan internal seseorang ditentukan tidak hanya oleh individu tetapi juga  oleh kelompok di mana dia berada.

Melalui interaksi dengan masyarakat, pengetahuan  seseorang diungkapkan kepada orang lain, dan pengetahuan itu diperkuat dan disempurnakan. Selain itu, melalui komunikasi, seseorang menerima informasi baru – informasi tentang masyarakat. Vygotsky menegaskan, seperti dikatakan Newman, pematangan fungsi mental anak sebenarnya terjadi melalui proses kerjasama dengan orang lain. Kematangan fungsi mental anak yang lebih tinggi terjadi dalam proses kerjasama ini (Dewantara, 2021).

 

  1. Pandangan  Konstruktivisme terhadap Pembelajaran

Mulanya semua, saat pelajaran, siswa hanya duduk, bekerja keras, mendengarkan guru, hanya mendengarkan, tidak boleh makan, apalagi bermain, yang penting tidak ada yang saya pikir itu berarti saya harus mengikuti. aturan. Disiplin dan dengarkan apa yang dikatakan guru. Tentunya setiap sekolah harus memiliki kurikulum yang seragam, strategi pengajaran yang seragam, dan bahan ajar yang seragam.  Karena dulunya harus diatur menurut paradigma perilaku. Padahal sekolah perlu menyadari bahwa siswa mempunyai keinginan dan mempunyai pemikiran tersendiri terhadap hal-hal yang ada disekitarnya, sehingga tidak semua keinginan dapat dikomunikasikan dengan baik.

Teori ini mengatakan bahwa konstruktivisme didasarkan pada aspirasi siswa yang sesuai dengan hakikat dunia pendidikan yang seharusnya. Sekalipun siswa harus mengikuti peraturan yang tidak diucapkan, mereka takut kepada guru karena mereka takut akan dihukum jika melanggar. Hakikat pendidikan bukanlah untuk menghibur peserta didik dan mengubah peserta didik yang buruk menjadi baik.

Konstruktivisme dalam pembelajaran menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi oleh siswa itu sendiri, baik secara pribadi maupun sosial, bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke siswa kecuali melalui tindakan dalam pikiran siswa itu sendiri, dan oleh karena itu siswa selalu aktif semacam perubahan konseptual yang lebih rinci, komprehensif dan sejalan dengan konsep ilmiah, dan guru hanya perlu memperkirakan ruang dan menjaga keadaan agar proses pembelajaran dapat berlangsung, dan konstruksi siswa berjalan dan guru dapat berjalan hanya moderatornya. Guru sebagai mediator dan fasilitator menurut prinsip konstruktivisme

Menghargai upaya  siswa untuk memperoleh pemahaman baru sesuai dengan perkembangan zaman, merevitalisasi kelas, dan mewujudkan pembelajaran yang lebih inovatif.

Menarik siswa keluar dari kurikulum untuk mencari pemahaman dan memperoleh pengetahuan baru Fokus pada ide-ide pribadi secara keseluruhan memungkinkan siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang mereka pahami dengan fenomena yang terjadi saat ini dengan cara yang kompleks, dan menghubungkannya sesuai dengan rasionalisme.

 

  1.  Pengaruh Lingkungan Belajar

Menurut Filsafat ini Belajar merupakan suatu kebebasan. Hanya dengan alam yang penuh kebebasan peserta didik dapat mengungkapkan makna yang di interpretasikan dari dunia nyata. Kebebasan menjadi hal wajib dan sangat esensial. Kegagalan atau keberhasilan merupakan suatu bentuk interpretasi yang wajib dihargai. Itulah sebabnya, penentu keberhasilan belajar ialah sebuah kebebasan, Kontol belajar dipegang pada si pembelajar, Kegagalan dan keberhasilan, kemampuan dan ketidakmampuan merupakan interpretasi yang berbeda yang perlu mendapatkan pujian/hadiah, Kebebasan merupakan penentu keberhasilan. Peserta didik adalah subjek yang mengendalikan lingkungan dan mengontrol dirinya sendiri (Waseso, 2018).

 

  1. Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi dalam konstruktivisme menimbulkan sebuah jawaban dengan berbagai alasan untuk memecahkan permasalahan tunggal maupun ganda. Berikutnya, konstruktivisme menyatakan bahwa evaluasi dilakukan pada saat proses pembelajaran dengan menerapkan konteks aksi nyata dalam penilaian yang sesungguhnya (Waseso, 2018). Jadi intinya evaluasi dalam konstruktivisme dilakukan setelah pembelajaran tidak hanya 1 point seperti ulangan karena itu merupakan hal yang absolut terkadang semua hasil itu bisa di bohongi dengan cara apapun, namun proses itu ada karena adanya faktor alam dari peserta didik sehingga penilaian juga harus ada faktor alamiah dari peserta. Oleh karena itu guru wajib menyiapkan catatan penilaian setiap proses menurut Filsafat Konstruktivisme.

  1. Kajian Konsep “ Merdeka Belajar”

Perkembangan pada masa itu membawa dampak besar terhadap sistem pendidikan. Pendidikan perlu menjawab semua tantangan zaman, seiring dengan semakin cepatnya perubahan yang terjadi dan semakin kompetennya sumber daya manusia.

 Hal ini merupakan inisiatif pemerintah dan tuntutan akan terciptanya generasi emas di tahun 2045. Untuk mencapai hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemimpin sektor pendidikan nasional  berperan penting dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan mengedepankan kebijakan “merdeka belajar“ (Sherly et al., 2021).

“Merdeka Belajar” adalah program yang di rencanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Nadiem Anwar Makarim, membuat kebijakan ini dengan alasan menurut penelitian oleh Programme for International Student Assesment –PISA- di tahun 2018 mengatakan bahwa posisi peserta didik Indonesia dalam bidang matematika dan literasi menempati posisi ke delapan kebawah yaitu urutan 70 – 78 negara. Selain itu bapak Nadiem juga langsung kepada penilaian dalam kemampuan minimum yang meliputi berbagai aspek penting untuk meningkatkan seperti : literasi, numerisasi, dan survei karakter. Literasi yang tentunya membahas tenrang dunia bernalar atau berpikir peserta didik dalam menggunakan otak , numerisasi benalar dalam menggunakan perhitungan matematika dan survei karakter yaitu berisi penerapan nilai agama, budi pekerti serta pancasila yang tertanam dalam diri peserta didik.

Selanjutnya Nadiem menjelaskan, kebebasan belajar adalah kebebasan berpikir  yang terinformasi, yang justru mengarah pada berpikir kritis. Kunci utama dari kebebasan berpikir ini adalah guru  memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasannya. Dalam sistem pendidikan, guru bertugas untuk mencerdaskan kehidupan negara, namun banyak guru yang menerima peraturan dibandingkan dukungan dari beberapa lembaga pendidikan lainnya. Tanpa kompetensi dasar, kompetensi inti, dan kurikulum, pembelajaran yang efektif tidak dapat berlangsung. Menteri berharap kedepannya tidak hanya kelompok belajar di dalam kelas saja yang diperkenalkan, namun juga  sistem pembelajaran di luar kelas.

Selain itu, daripada hanya fokus mendengarkan penjelasan guru, tidak hanya akan membuat suasana kelas menjadi lebih menyenangkan dan menyenangkan, tetapi juga menjadikan calon siswa lebih berani, mandiri,  dan mampu berinteraksi dengan orang lain menjadi pintar dan mampu.  Jangan hanya mengandalkan sistem peringkat kelas (Yusuf & Arfiansyah, 2021).

 

  1. Implementasi Kurikulum “Merdeka Belajar

Program “Merdeka Belajar”, agar langkah ini menjadi maju sesuai rencana harus ada kerja sama provinsi & kabupaten/ kota sebagaimana yang di katakan oleh Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, SH, M.Si dalam Seminar Nasional “Merdeka Belajar” untuk mencapai Indonesia Maju 2045 sebagai berikut :

                               1.            Menjalin Kerja sama antara pemerintah daerah, kabupaten/ kota dengan pembuat kebijakan (Kemendikbud) dan lembaga pendidikan.

                               2.            Melakukan Optimalisasi peran pemerintah daerah kabupaten/ kota hingga menyentuh pendidikan dan tenaga pendidik.

                               3.            Memberikan pengawasan dan pendampingan dari pemerintah daerah kabupaten/ kota terhadap lembaga pendidikan.

                               4.            Melakukan kerja sama dalam musyawarah antara pemerintah daerah setempat dan kota

                               5.            Menyiapkan sarana dan prasarana demi menunjang proses pendidikan yang berkualitas. (Prof. Hj. Sylviana Murni, SH, M.Si , 2020)

Konsep “kemerdekaan belajar” pada hakikatnya sesuai dengan penjelasan Ki Hajar Dewantara yang menekankan pada prinsip otonomi siswa, sehingga memungkinkan siswa mempelajari keterampilannya sendiri, bukan sekedar menuangkan air ke dalam botol untuk belajar.  Dengan keseluruhan potensinya yang dipantau oleh guru dan orang tua secara bersamaan, maka siswa lebih terbimbing dan ada yang mengawasinya. Pendidik juga menjadi fasilitator bagi siswa, sedangkan siswa perlu mencari sumber untuk mengetahui segala hal. Jika terjalin keharmonisan antara guru dan siswa, maka akan terjalin  hubungan yang harmonis tanpa adanya sikap otoritatif terhadap siswa.

 

  1. Korelasi Konstruktivisme terhadap Konsep “Merdeka Belajar”

Dari hasil penjelasan dari Konstruktivisme dan Konsep “Merdeka Belajar” , ada kesejajaran atau hubungannya karena kedua-duanya menekankan kepada kebebasan, kemerdekaan, serta keleluasaan lembaga pendidikan dalam mengeksplorasi secara maksimal kemampuan peserta didik, jika kedua elemen ini secara bersama akan menghasilkan  makna senada yaitu pembelajar harus bebas dan berkembang secara alamiah, pembelajaran berbasis pengalaman langsung peserta didik dan guru sebagai fasilitator dan pengawas, sedangkan pembuat kebijakan sebagai penyedia laboratorium pendidikan untuk perubahan lingkungan belajar, penataan yang di maksudkan aman untuk peserta didik, supaya menghasilkan anak bangsa yang maksimal dan bisa bersaing. Selanjutnya kebebasan untuk memunculkan the will to learn  yaitu kesadaran bahwa anak sebagai peserta didik yang mempunyai kekuatan dan kelemahan, keberanian, dan juga rasa cemas serta bisa merubah sikap dari marah ke gembira (Perni, 2018). Kerja sama tidak hanya di lakukan pihak sekolah dengan peserta didik tapi seluruh lembaga kependidikan dengan orang tua supaya menumbuhkan sikap persepsi yang baik terhadap, semua unsur itulah yang perlu di lakukan dalam penataan lingkungan belajar menurut paradigma Filsafat Konstruktivisme dan konsep “ Merdeka Belajar”.

 

  1. Pandangan Filsafat Konstruktivisme Tehadap Konsep “Merdeka Belajar”

Konstruktivisme (Handayani & Sujatmiko, 2019)  salah satu filsafat pengetahuan yang menekan kan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan. Dengan mengembangkan critical thinking skills pada kurikulum merdeka. Pendekatan pembelajaran dengan langkah – langkah yang seharusnya demi tercapainya tujuan pembelajaran. Setiap pendekatan yang diterapkan akan melibatkan kemampuan subyek belajar/siswa dan guru dengan kadar masing-masing. Ada beberapa pendekatan pembelajaran Ssswa hanya mendengarkan saja apa yang disampaikan guru. Dengan demikian bahwa seorang siswa harus berperilaku baik, penuh perhatian dan rasa ingin tahu tinggi ketika mengemukakan gagasan atau masalah dan semua materi yang guru berikan selain di telan tapi mereka tidak melupakan pemikiran guna mencapai kebenaran yang mutlak.Konsep pembelajaran yaitu ”Student-Centered Learning”. Inti dari konsep tersebut adalah:

a.     Kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa memfasilitasi belajarnya.

b.    Seseorang akan belajar secara optimal hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/menumbuhkan sisi manusia. Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan,

c.     Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara efektif bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik dari seorang guru, jadi tidak boleh membebani dengan tugas- tugas.

d.    Jika ada perbedaan persepsi atau pendapat segera difasilitasi atau diakomodir oleh pengajar Kesempatan untuk berbuat dan aktif lebih banyak diberikan kepada siswa sesuai ungkapan yang ditulis Slameto, “Teaching is the guidance of learning” (Mengajar adalah bimbingan kepada siswa, yang mengalami proses belajar).

Guru sebagai perpanjangan tangan pemerintah di sekolah sedang menerapkan pembelajaran abad 21. Di sekolah formal, pembelajaran sudah mewajibkan penerapan keterampilan 6C (berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas, character, country). Hal ini dapat dicapai dengan cepat, tidak hanya membutuhkan guru dalam mengubah metode pendidikan, tetapi juga peran dan tanggung jawab pendidik informal dalam membimbing anak untuk menerapkan 6C dalam kehidupan sehari-hari, setiap mata pelajaran harus diatur menurut model organisasi yang benar dan kemudian ditugaskan kepada peserta didik sebagai berikut :

         1.               Critical thinking Skill (Keterampilan Berpikir Kritis)

Pada dasarnya kemampuan berpikir kritis tidak hanya ada pada orang jenus saja. Berpikir kritis sangat diperlukan bagi seluruh pelajar dan seluruh generasi muda saat ini. Faktanya, ulasan ini sepertinya dikembangkan dengan tujuan pemecahan masalah (problem solver). Namun, banyak orang yang cerdas dan mampu menggunakan berbagai jenis informasi dan pengetahuan, dan sangat sedikit orang yang mampu menyelesaikan sesuatu. Kecerdasan dapat dikaitkan dengan kemampuan memecahkan masalah. Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi, atau keterampilan berpikir yang maju dan menarik, bersamaan dengan berpikir kreatif, pemecahan masalah, pemecahan masalah, dan refleksi. Berpikir kritis adalah berpikir mandiri, disiplin diri, dan pengendalian diri untuk meningkatkan proses berpikir.  Ini dianggap sebagai karakteristik penting yang membakukan cara kerja  dan cara berpikir.  Hal ini memerlukan komunikasi dan penyelesaian masalah yang efektif dan efisien, serta komitmen untuk mengatasi sifat egosentris  dan keterampilan sosial bawaan. Keterampilan berpikir kritis yaitu: 1) Membangun kategori (untuk klasifikasi), 2) Menemukan masalah (discovering problem), 3) Memperbaiki lingkungan.  Pengajaran berpikir kritis meliputi: 1) meningkatkan interaksi antara 20 siswa, 2) mengajukan pertanyaan terbuka, dan (3)  membuat siswa berpikir tentang pertanyaan dan masalah yang diajukan. Terapkan keterampilan yang baru  diperoleh pada situasi lain dan pada pengalaman Anda sendiri).

         2.                   Communication Skill ( (Keterampilan Komunikasi)

Kita tidak hidup sendiri, dan kita bahkan tidak harus sendirian untuk sukses. Di dunia sekarang ini, keterampilan komunikasi sangat diperlukan untuk  mewujudkan impian hidup seseorang. Keterampilan komunikasi yang kita bicarakan datang dalam berbagai bentuk: komunikasi, komunikasi lisan, tertulis, komunikasi langsung dan tidak langsung. Keterampilan mendengarkan yang baik diperlukan untuk mendapatkan informasi  yang benar. Kesalahan dalam berperilaku yang diakibatkan oleh kesalahpahaman atau kesalahpahaman, atau kesalahpahaman yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam mendengar atau memahami maksud atau pesan yang disampaikan oleh orang lain. Meningkatkan komunikasi melalui teknologi.

         3.                   Collaboration (Keterampilan Berkolaborasi)

Hingga saat ini, penyempurnaan model pembelajaran terus dilakukan. salah satu diantara mereka, anak zaman sekarang perlu mengembangkan model pembelajaran kolaboratif. Kolaborasi adalah kemampuan untuk bekerja sama. satuan kegiatan membaca dan menulis pendidikan tidak dapat mengesampingkan kemungkinan kerjasama dengan organisasi, komunitas dan lain di luar lingkungan sekolah. Partisipasi publik diperlukan karena sekolah tidak bisa mewujudkan visi dan misinya. Oleh karena itu, berbagai bentuk kerjasama dan perlu mempererat kerjasama antara masyarakat dengan lembaga pendidikan di luar sekolah pembuatan karakter. Ada berbagai bentuk kerjasama yang bisa dilakukan mengembangkan pendidikan kepribadian siswa sebelum pendidikan abad 21 yaitu kerja sama. Sejak dini, siswa harus dimotivasi untuk melakukan suatu kegiatan bersama atau dalam kelompok untuk menghindari sikap egois di kalangan siswa. Pratiwi (2015) menyarankan bahwa secara emosional masih ada siswa yang tidak mau membantu temannya dan memiliki siswa malu karena dianggap lemah jika meminta bantuan temannya. Guru sebagai pembimbing dan Motivator harus memberikan arahan dan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama membangun kekompakan dan persatuan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah (Maryani et al., 2018).

         4.                   Creative thinking skill (Keterampilan Berpikir Kreatif)

Kreativitas adalah kemampuan untuk memunculkan ide-ide baru dan menerapkan nya dalam pemecahan masalah. Kreativitas mencakup sifat-sifat berbakat seperti kefasihan, fleksibilitas dan orisinalitas pemikiran, serta karakteristik non-bakat, penasaran, suka bertanya, dan selalu mencari pengalaman baru. Kreativitas dapat disimpulkan sebagai kegiatan membangkitkan ide/gagasan kreatif untuk menghasilkan produk, mengembangkan ide/gagasan inovatif untuk menghasilkan produk, menghasilkan ide/gagasan untuk menghasilkan suatu produk, menghasilkan dan mempublikasikan produk dan mengevaluasi kinerjanya implementasi telah dibuat untuk menjadi sempurna. Proses kreatif yang dihasilkan meliputi ide perspektif orisinal dan berbeda, pemecahan masalah, pencocokan ide atau melihat hubungan baru antar ide. Kreativitas adalah bagian proses berpikir yang berbeda meliputi aspek fluiditas, fleksibilitas, elaborasi, dan orisinalitas. Kreativitas menciptakan kreativitas dan presisi tinggi ketika diterapkan untuk mencapai solusi (Kreativitas adalah proses berpikir metakognitif melalui empat tahap, yaitu: (1) mempersiapkan (mendefinisikan masalah), (2) menghargai atau merenungkan (menganalisis masalah) untuk sementara), (3) pencerahan (tahap memiliki ide atau pemikiran baru), (4) verifikasi (tahap penerapan ide yang ditemukan) (Tishana et al., 2023).

         5.                   Character

Dengan demikian untuk menunjang karakter dalam menghadapi abad 21, dunia pendidikan harus mampu mengembangkan nalar dalam berpikir serta kreatif dalam melakukan sesuatu dengan moral yang baik, sehingga kita dapat menemukan suatu hal yang baru dalam menghasilkan lulusan terbaik dengan moral baik yang mampu dalam mengelola negara dengan potensi mereka.Filsafat Konstruksivisme bisa menjadi sebuah landasan bagi dunia pendidikan untuk mampu mengembangkan kurikulum berdasarkan pada perkembangan dan pengetahuan baru. Oleh sebab itu penting rasanya merancang strategi dalam sistem pendidikan nasional yang menitikberatkan pada berbagai aspek sehingga menciptakan lulusan dengan kemampuan hard skill dan soft skill yang layak untuk bersaing di abad-21 ini.

    6.              Country Skill (Keterampilan dalam Berkewarganegaraan)

Pada praktiknya sekolah di zaman ini terkadang meninggalkan kebiasaan dalam mencintai negara dengan sepenuh hati akibat perluasan globalisasi, namun itu tidak bisa kita pungkiri bahwa globalisasi sangat berpengaruh terhadap kemajuan zaman di negara kita (Mulasi et al., 2021). Namun alangkah lebih baiknya peserta didik dalam proses pembelajaran harus ada nilai pancasila yang harus ada dalam dirinya agar tidak terbawa arus globalisasi sehingga lebih terbatas sikap dan perilaku peserta didik, oleh karena itu harus di tambahkan dengan nilai kewarganegaraan dan karakter yang baik sehingga menghasilkan peserta didik yang selalu cinta akan tanah air, cinta produk Indonesia.  Selain harus ada pengetahuan baru seperti pandangan kontruktivisme terhadap konsep “Merdeka belajar” siswa harus di tanamkan terlebih dahulu nilai rukun, toleransi dan tidak meninggalkan kebiasaan negara kita seperti ada dalam pancasila.

 

 

KESIMPULAN

Filsafat Konstruktivisme memandang bahwa konsep “ Merdeka belajar” yang di rencanakan pemerintah ini sesuai dengan keinginan pendidikan yang merubah peserta didik lebih memaksimalkan pengetahuan yang ada dalam dirinya semua itu harus merujuk kepada ketetapan kurikulum “Merdeka Belajar”. Dalam praktiknya pembelajaran ini bersifat generatif dengan membuat makna dari apa yang di pelajari. “Merdeka Belajar” meliputi pembelajaran yang menekankan kepada proses namun bukan hasil. Proses konstruktivis juga berpusat kepada peserta didik, guru hanya menjadi fasilitator dan peserta didik lebih banyak menemukan hakikat diri sendiri. Dengan berbagai pendekatan untuk mengembangkan pola pikir kritis peserta didik dan guru harus lebih banyak membuat inovasi dan kreatifitas dengan cara literasi dari berbagai sumber.

Desain pembelajaran rencana yang berbudaya ini mengacu kepada tujuan pendidikan di masa depan untuk mengembangkan 6 C keterampilan yaitu (keterampilan berpikir kritis, Keterampilan Berkomunikasi, Keterampilan Kolaborasi, Keterampilan Kreatif, Berkarakter, dan Berkewarganegaraan) semua itu dilakukan secara sistematis. Untuk menjadikan peserta didik yang berkualitas di Indonesia bahkan Dunia. Pengetahuan tentang hasil konstruksi pemahaman melalui operasinya dengan menciptakan struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan, untuk konstruksi pengetahuan itu adalah tujuan akhir dari kurikulum “Merdeka Belajar”.

Filosofis Konstruktivis mendalam sesuai dengan keinginan pendidik di masa depan untuk melaksanakan kurikulum “Merdeka Belajar”. Dapat memberikan pengetahuan baru bagi pendidikan untuk mengembangkan keterampilan dan karakter yang mumpuni dengan mempersiapkan tantangan di masa depan di dunia kerja, tidak hanya dalam bekerja tetapi juga dapat memberikan pendapat dan ide serta berkomunikasi dengan baik dengan ketetapan sesuai yang ditentukan dalam kurikulum “Merdeka Belajar”. Perubahan kondisi dari sistem pendidikan di Indonesia adalah upaya agar negara kita tidak tertinggal oleh sistem pendidikan di negara lain, selain itu aspek keterampilan dengan inovasi menjadi perhatian yang di kembangkan dalam konsep “Merdeka Belajar”. Selain pembentukan karakter dan intelegensi harus di capai oleh peserta didik dengan cara berpikir kritis terhadap segala realita yang ada, tidak boleh tutup telinga melainkan ikut serta membangun dan menciptakan, jadi harus seimbang antara karakter dan kemampuan berpikir kritis.

 

 

BIBLIOGRAFI

Akmal, I. (2024). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dalam Membentuk Peradaban Manusia. Anatesa: Kajian Pendidikan, Sosial Dan Keagamaan, 14(2), 86–107.

Asmani, J. M. (2016). Tips Efektif Cooperative Learning: Pembelajaran Aktif, Kreatif, Dan Tidak Membosankan. Diva Press.

Dewantara, I. P. M. (2021). ICT & Pendekatan Heutagogi Dalam Pembelajaran Abad Ke-21. Deepublish.

Fahira, W. R., Sari, Y. G., Putra, B. E., & Setiawati, M. (2023). Peranan Filsafat Pendidikan Dalam Pembentukan Moralitas Siswa. Edu Sociata: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 6(1), 29–40.

Hakiky, N., Nurjanah, S., & Fauziati, E. (2023). Kurikulum Merdeka Dalam Perspektif Filsafat Konstruktivisme. Tsaqofah, 3(2), 194–202.

Handayani, M. D., & Sujatmiko, W. (2019). Filsafat Konstruktivisme Wadah Implementasi Kurikulum 2013.

Maryani, I., Fatmawati, L., Erviana, V. Y., Wangid, M. N., & Mustadi, A. (2018). Model Intervensi Gangguan Kesulitan Belajar. Ika Maryani.

Muktapa, M. I. (2021). Implikasi Filsafat Ilmu Dan Etika Keilmuan Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Modern. Jurnal BELAINDIKA (Pembelajaran Dan Inovasi Pendidikan), 3(2), 20–29.

Mulasi, S., Hidayati, Z., Pd, M. A., Khaidir, M. A., Musradinur, M. S. I., Muhammady, A., MLS, M., Nadiah, M. P. I., Muflihin, A., & Hilman, C. (2021). Metodologi Studi Islam. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.

Nadia, D. O., & Erita, Y. (2022). Merdeka Belajar Dalam Perspektif Filsafat Konstruktivisme. Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 7(2), 878–887.

Nurhidayati, E. (2017). Pedagogi Konstruktivisme Dalam Praksis Pendidikan Indonesia. Indonesian Journal Of Educational Counseling, 1(1), 1–14.

Perni, N. N. (2018). Penerapan Teori Belajar Humanistik Dalam Pembelajaran. Adi Widya: Jurnal Pendidikan Dasar, 3(2), 105–113.

Sherly, S., Dharma, E., & Sihombing, H. B. (2021). Merdeka Belajar: Kajian Literatur. Urbangreen Conference Proceeding Library, 183–190.

Shofiyah, S. (2018). Prinsip–Prinsip Pengembangan Kurikulum Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran. EDURELIGIA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 122–130.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 12–16.

Tishana, A., Alvendri, D., Pratama, A. J., Jalinus, N., & Abdullah, R. (2023). Filsafat Konstruktivisme Dalam Mengembangkan Calon Pendidik Pada Implementasi Merdeka Belajar Di Sekolah Kejuruan. Journal On Education, 5(2), 1855–1867.

Waseso, H. P. (2018). Kurikulum 2013 Dalam Prespektif Teori Pembelajaran Konstruktivis. TA’LIM: Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(1), 59–72.

Waston, W. (2014). Epistemologi Konstruktivisme Dan Pengaruhnya Terhadap Proses Belajarmengajar Di Perguruan Tinggi.

Yusuf, M., & Arfiansyah, W. (2021). Konsep € Śmerdeka Belajar†Dalam Pandangan Filsafat Konstruktivisme. AL-MURABBI: Jurnal Studi Kependidikan Dan Keislaman, 7(2), 120–133.