REVITALISASI PENGELOLAAN HARTA BENDA WAKAF MENURUT
HUKUM ISLAM DAN UU NO. 41 TAHUN 2004
Aulia Ulfah
Sekolah Tinggi Agama Islam
Rasyidiyah Khalidiyah, Indonesia
Keywords |
Abstract |
Revitalization
:Waqf, Islamic Law, Law |
This
research discusses the importance of waqf management in Islam, especially
regarding the implementation of Law No. 41/2004 in Indonesia. Waqf is a socio-religious
instrument that can improve the welfare of society if managed professionally
and responsibly. This article highlights the government's role in providing
regulations through the Indonesian Waqf Board (BWI) to ensure effective waqf
management. However, the implementation of cash waqf has been controversial
among scholars as it is considered incompatible with the tradition of
physical asset-based waqf. This literature review aims to identify the
weaknesses in waqf management and the importance of revitalization so that
waqf becomes productive and contributes to the socio-economic development of
the people. The research method used is normative legal research through a
literature study that examines various regulations related to waqf. The results
show that good waqf management requires the participation of the community
and government, as well as a deep understanding of the principles of waqf in
Islamic law. |
Kata Kunci |
Abstrak |
Revitalisasi : Wakaf,
Hukum Islam, Hukum |
Penelitian
ini membahas pentingnya pengelolaan wakaf dalam Islam, terutama terkait
implementasi UU No. 41 Tahun 2004 di Indonesia. Wakaf merupakan instrumen
sosial-keagamaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika
dikelola secara profesional dan bertanggung jawab. Artikel ini menyoroti
peran pemerintah dalam menyediakan regulasi melalui Badan Wakaf Indonesia
(BWI) untuk memastikan pengelolaan wakaf yang efektif. Meski demikian,
implementasi wakaf tunai sempat menuai kontroversi di kalangan ulama karena dianggap
tidak sesuai dengan tradisi wakaf yang berbasis aset fisik. Kajian pustaka
ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan dalam pengelolaan wakaf dan
pentingnya revitalisasi agar wakaf menjadi produktif dan berkontribusi pada
pembangunan sosial-ekonomi umat. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan yang mengkaji berbagai
peraturan terkait wakaf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf
yang baik memerlukan peran serta masyarakat dan pemerintah, serta pemahaman
yang mendalam mengenai prinsip-prinsip wakaf dalam hukum Islam. |
Corresponding
Author:
Aulia Ulfah
PENDAHULUAN
Kesempurnaan
Islam terlihat ketika Islam berbicara mengenai hubungan (relasi) antara makhluk
hidup dengan Penciptanya secara vertikal) dan hubungan antara sesama manusia
(level relationship) sehingga tidak ada kesenjangan sosial antara satu dengan
yang lainnya dalam sebuah komunitas yang hidup. Komunitas diwujudkan melalui
praktik-praktik organisasi keagamaan dan perusahaan mengenai harta benda
organisasi keagamaan dan sosial, sehingga organisasi keagamaan dan sosial
merupakan ibadah. Hukum menetapkan bahwa wakaf sah selama wakif telah
menyerahkan hartanya. Harta yang diwakafkan menyebabkan wakif tidak lagi
memiliki kepemilikan, karena kepemilikannya telah berpindah kepada Allah SWT
dan juga bukan milik penerima, tetapi wakif masih berfungsi untuk memanfaatkannya
Organisasi keagamaan dan sosial sedang marak di Indonesia, dan pemerintah
sedang berupaya keras untuk memberikan perlindungan hukum terhadap harta benda
organisasi keagamaan dan sosial yang dalam praktiknya muncul di masyarakat(Lestari,
2018).
Secara
hukum, pemerintah Indonesia telah menetapkan ketentuan hukum mengenai
pengelolaan dana keagamaan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf.Namun demikian, tata cara dan teknik pengelolaan organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan dapat mengembangkan ekonomi yang berbasis pada
aspek sosial-keagamaan dan ekonomi.Dan dengan cara ini, tujuan dan manfaat
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dapat dirasakan di
masyarakat.Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 juga mengatur tentang Badan Wakaf
Indonesia (BWI), yang merupakan lembaga independen yang memiliki misi memajukan
dan mengembangkanperwakafan keagamaan nasional di Indonesia(Taufiq
et al., 2023). Munculnya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf dari munculnya gagasan dana keagamaan dalam bentuk
uang tunai ini, banyak kalangan yang menentang, terutama para pakar dan
praktisi ekonomi Islam.Karena dana keagamaan dalam bentuk uang tunai bertentangan
dengan persepsi umat Islam.Setelah bertahun-tahun kemudian, terbentuklah wakaf
yang merupakan bentuk benda yang tidak bergerak.Wakaf bukanlah uang tunai, aset
tetap yang berupa harta tidak bergerak yang tidak berwujud seperti tanah,
tetapi merupakan harta yang berwujud. Wakaf uang disimpan dalam konsep
Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan sebagai Konsekuensi Penafsiran
perubahan definisi radikal dalam memahami organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan. penafsiran baru. Hal ini dimungkinkan karena perkembangan teori
ekonomi(Halim
& Rasidin, 2005). Lahirnya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf bertujuan untuk memperkuat wakaf
sebagai salah satu instrumen pengembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam.
Kehadiran
UU Wakaf menjadi motor penggerak pemberdayaan produktivitas wakaf karena di
dalamnya memuat pemahaman dan model pengelolaan yang komprehensif untuk
memberdayakan potensi wakaf secara modern.Sebagai instrumen ekonomi syariah
yang belum populer, masyarakat muslim di Indonesia belum memiliki tradisi yang
kuat dalam mengelola wakaf secara optimal sebagai penggerak ekonomi
umat.Pentingnya pengembangan wakaf di Indonesia tentu berimplikasi pada
bagaimana pengelolaan wakaf yang optimal dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat. Pengelolaan wakaf harus profesional, amanah, transparan, dan
bertanggung jawab(Budi,
2016). Gagasan untuk mengembangkan organisasi wakaf
diluncurkan sebagai tanggapan terhadap diskusi tentang wakaf tunai, yang
berarti akan membawa peluang luar biasa bagi potensi organisasi keagamaan dan
masyarakat pada umumnya. Langkah pertama yang diusulkan adalah membentuk
Panitia Wakaf Agama Indonesia dengan nama Badan Wakaf Indonesia (BWI). Gagasan
pembentukan Badan Wakaf atas usulan Menteri Agama RI yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden RI, Megawati Soekarno Putri melalui surat No:
MA/320/2002 tanggal 5 September 2002 sampai dengan Ketua menerima usulan dari
Sekretariat Menteri Agama RI mengirimkan surat permohonan izin untuk
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Keagamaan dan
Organisasi Kemasyarakatan. Kemudian disiapkan oleh Majelis Zakat dan Wakaf,
Menteri Agama mengirimkan surat bernomor: MA/451/2002 tanggal 27 Desember 2002
hingga Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia memberikan izin untuk
meluncurkan RUU tersebut(DI
BAITUL, n.d.).
METODE
PENELITIAN
Kajian
pustaka ini didasarkan pada penelusuran literatur-literatur yang relevan,
seperti buku-buku, jurnal ilmiah, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
urgensi ikrar talak dalam perspektif hukum Islam. Data-data yang diperoleh dari
literatur tersebut akan dijelaskan dan dipaparkan untuk memberikan pemahaman
yang komprehensif mengenai Revitalisasi Pengelolaan Harta Benda Wakaf Menurut
Hukum Islam dan UU No. 41 Tahun 2004. Adapun hasil dan pembahasannya adalah
sebagai berikut:
Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Junaidi (2021) meneliti bahwa berdasarkan
permasalahan yang ada, peneliti memandang perlu adanya revitalisasi pengelolaan
harta benda wakaf agar sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, karena kelemahan pengelolaan wakaf di Aceh mengakibatkan wakaf
menjadi pasif dan tidak produktif serta sebagian besar harta benda wakaf
menjadi objek sengketa, sehingga penelitian ini dapat menghasilkan gambaran
baru yang diorientasikan untuk menjawab permasalahan yang terjadi di sekitar
pengelolaan wakaf di Kota Langsa baik dari aspek hukum maupun aspek
manajemennya, dengan demikian penelitian ini dapat menghasilkan gambaran baru
yang berorientasi untuk menjawab permasalahan yang terjadi di sekitar pengelolaan
wakaf di Kota Langsa
Kedua,
penelitian yang dilakukan oleh Haji Imam Setya Budi (2015) meneliti bahwa
berdasarkan permasalahan, pengelolaan wakaf di Indonesia masih bersifat statis
dan belum memiliki nilai ekonomis dan produktif, karena pemanfaatan wakaf masih
terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, seperti bangunan, tanah atau benda-benda
yang tahan lama.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis
penelitian hukum normatif berupa penelitian kepustakaan (library research) yang
menggunakan 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelitian hukum ini menitikberatkan pada
studi kepustakaan yang berarti akan lebih banyak meneliti dan mengkaji
peraturan-peraturan hukum yang ada dan berlaku. Dalam penelitian ini
membutuhkan bahan hukum yang bersifat legal karena akan berfungsi untuk
melengkapi dan mendukung bahan hukum dalam penelitian kepustakaan. Sumber data
penelitian ini terdiri dari Bahan Hukum Primer, yaitu: Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf; Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf; dan Peraturan
Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Wakaf Indonesia. Bahan Hukum Sekunder yaitu berupa: Buku-buku Hukum;
Jurnal Hukum; Tulisan Hukum Pendapat para ahli hukum yang dimuat dalam media
masa, internet(Mukti Fajar & Achmad, 2010).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
1.Pengertian
Wakaf
Wakaf
termasuk infaq fi sabilillah, itulah dasar yang digunakan oleh para ulama untuk
menjelaskan konsep wakaf, hal ini didasarkan pada ayat-ayat Al Qur'an dan
Sunnah yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Secara etimologi, wakaf
adalah al-habs (menahan), sebuah kata yang merupakan bentuk masdar dari waqfu
al-syai' yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu. Jadi, arti wakaf secara
bahasa adalah: memberikan tanah kepada orang miskin untuk ditahan
kepemilikannya. Hal ini ditafsirkan karena, misalnya, harta tersebut dikuasai
dan dimiliki oleh orang lain yang memelihara hewan ternak, tanah, dan yang
lainnya. Sedangkan secara terminologi, para peneliti memiliki pendapat yang
berbeda mengenai makna wakaf(Afandi,
2014). Pertama, menurut ulama Hanafiyah, wakaf
didefinisikan sebagai menahan benda atau materi (al-'ain) milik wakif dan
menyedekahkan atau memberikan manfaatnya kepada siapa saja yang dikehendaki
untuk tujuan kebajikan. Maknanya di sini adalah pihak yang berwakaf menjelaskan
bahwa status harta wakaf tersebut masih ditangguhkan atau berhenti di tangan
wakif(Ibn,
1970).
Kedua,
menurut ulama Malikiyah, wakaf adalah suatu bentuk keuntungan dari harta benda
yang dimiliki (meskipun disewa) untuk dialihkan kepada orang yang berhak dengan
akad (shighat) tertentu dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan kehendak
wakif(Permatasari
et al., 2022). Ketiga, menurut ulama Syafi'iyah,
wakaf didefinisikan sebagai pemilikan harta yang dapat diambil manfaatnya yang
bersifat kekal dan benda yang dapat diambil manfaatnya (baqa' al-'ain) dengan
cara tertentu untuk dijadikan milik atau pemindahan hak pengelolaannya yang
dilakukan secara syar'i oleh wakif untuk diserahkan kepada nadzir sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan(Kholis
& Mu’allim, 2018). Pengertian ini memungkinkan bahwa
harta yang cukup dalam pengertian ini haruslah berupa barang atau benda yang
kekal (baqa' al-'ain), yaitu harta yang tidak mudah rusak atau musnah dan dapat
diambil manfaatnya secara terus menerus. Keempat, Hanabilah mendefinisikan
wakaf dengan bahasa yang jelas dan sederhana, yaitu menahan sumber harta
(tanah) dan menyedekahkan hasilnya untuk tujuan amal(Kholis
& Mu’allim, 2018).
Namun,
menurut hukum di Indonesia sendiri, definisi wakaf dimaknai secara khusus
dengan pengertian dari beberapa pendapat menurut empat ulama madzhab sesuai
dengan definisi wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004, yang berbunyi sebagai
berikut: "Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah." Sedangkan menurut Badan
Wakaf Indonesia atau yang sering disingkat BWI, wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
syari'ah(Sahidin,
2021)
2.Landasan
Hukum Islam
1.
Al-Qur’an
Di
dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menganjurkan untuk berwakaf, di
antaranya adalah (QS. Al-Imran [3]: 92)
لَنْ
تَنَالُوا
الْبِرَّ
حَتَّىٰ تُنْفِقُوا
مِمَّا
تُحِبُّونَ ۚ
وَمَا تُنْفِقُوا
مِنْ شَييْءٍ
فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ
عَلِيمٌ
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS.Al-Baqarah[2]: 267):
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓا۟
أَنفِقُوا۟
مِن
طَيِّبَٰتِ
مَا
كَسَببْتُمْ
وَمِمَّآ
أَخخْرَجْنَا
لَكُم مِّنَ
ٱلْأَرْضِ ۖ
وَلَا
تَيَمَّمُوا۟
ٱلْخَبِيثَ
مِنْههُ
تُنفِقُونَ
وَلَسْتُم
بِـَٔاخِذِيهِ
إِلَّآ أَن
تُغْمِضُوا۟
فِيهِ ۚ
وَٱعْلَمُوٓا۟
أَنَّ
ٱللَّهَ
غَنِىىٌّ حَمِيدٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”
2.
Hadith
Para
ahli hadits dan sebagian besar ahli fikih mengidentifikasi bahwa wakaf termasuk
sedekah jariyah. Dalam hadits tersebut, sedekah jariyah diwujudkan dalam bentuk
wakaf yang pahalanya mengalir terus menerus kepada wakif.
إِذَا
مَاتَ
الْإِنْسَانُ
انْقَطَعَ
عَنْهُ
عَمَلُهُ
إإِلا مِنْ
ثَلاثَةٍ :
إِلا مِنْ صَدَقَةةٍ
جَارِيَةٍ ،
أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ
بِهِ ، أَوْ
وَلَدٍ
صَالِحٍ
يَدْعُو لَهُ
"Apabila
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1)
Sedekah jariyah, (2) Ilmu yang dimanfaatkan, (3) Anak yang shaleh yang selalu
mendoakan kedua orang tuanya".." (HR. Muslim, no. 1631)
Sebuah
hadits yang lebih tegas menggambarkan anjuran wakaf, yaitu hadits riwayat Ibnu
Umar tentang tanah Khairbar.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّ
عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ
أَصَابَ أَرْضًا
بِخَيْبَرَ
فَأَتَى
النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يَسْتَأْمِرُهُ
فِيْهَا
فَقَالَ يَا
رَسُولَ
اللهِ إِنِّي
صَبْتُ
أَرْضًا
بِخَيْبَرَ
لَمْ أُصِبْ
مَالاً قَطُّ
أَنْفَسَ
عِنْدِي
مِنْهُ فَمَا
تَأْمُرُ
بِهِ قَالَ
إِنْ شِئْتَ
حَببَّسْتَ
أَصْلَهَا
وَتَصَدَّقْتَ
بِهَا
Dari
Ibnu Umar ra, bahwa Umar bin Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian ia menemui Rasulullah SAW untuk meminta nasihat. Umar berkata,
"Wahai Rasulullah, saya telah mendapatkan harta berupa tanah yang sangat
bagus, yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya. Apa yang akan Anda sarankan
kepada saya dengan kekayaan ini? Nabi berkata: "Jika kamu mau, kamu bisa
menyumbangkan pokoknya dan bersedekah dengannya.” (HR. Bukhari)(Hazami,
2017)
3.
Unsur-unsur Wakaf
Jika
syarat dan rukunnya terpenuhi, maka wakaf dinyatakan sah. Ada 4 (empat) jenis
rukun organisasi keagamaan dan sosial menurut hukum Syariah, yaitu;
1)Waqif
(Donatur)
Waqif
adalah pemberi wakaf. Waqif harus memiliki kecakapan hukum atau Kamalul Ahliyah
untuk membelanjakan hartanya (tasharruf al-mal). Kecakapan tersebut meliputi 4
standar, yaitu: merdeka, berakal sehat, baligh, tidak kurang akal.
2)Mauquf'alaih
(pihak yang bertanggung jawab atas organisasi keagamaan dan umat) Mauquf 'alaih
dalam literatur Syariah terkadang diartikan sebagai orang yang dipercaya untuk
mengelola kekayaan dan dana keagamaan, yang sering disebut nadzir, terkadang
diartikan sebagai pembagian harta organisasi keagamaan dan sosial. Ketika
diartikan dengan mauquf 'alaih, sama halnya dengan nadzir, hal ini tidak
dibahas secara rinci oleh para ahli syariah dalam literatur syariah Yang
terpenting, keberadaan mauquf 'alaih memungkinkan pengalokasian harta wakaf
(arti lain dari mauquf 'alaih) dipengaruhi oleh unsur tabarru' (kebaikan) yang
meliputi ibadah dan sosial (umum) kecuali yang bertentangan dengan Islam
(ideologi) dan kemaksiatan
3)Mauquf
(harta yang dihibahkan)
Berbicara
mengenai mauquf atau fiqih harta yang dihibahkan tidak bisa dilepaskan dari dua
hal. Pertama, jenis barangnya, apakah barang bergerak, tidak bergerak, atau
keduanya. Mazhab Syafi'iyah dan Hanabilah tergolong konservatif dan hanya
membolehkan harta yang tidak bergerak sebagai objek hibah. Sementara itu,
mazhab Hanafiyah dan Malikiyah lebih memilih untuk memperbolehkan organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan untuk memindahkan properti. Hubungan antara status
kepemilikan benda wakaf setelah diwakafkan. Hal ini berimplikasi pada
kewenangan nadzir dalam mengelola benda wakaf menurut hadis. Riwayat Umar
terdiri dari tiga tindakan, yaitu penjualan, pemberian dan pewarisan. Terkait
hal ini, Abu Hanifah mengatakan bahwa harta wakaf tetap menjadi milik wakif,
sehingga apa yang dapat dilakukan oleh wakif dengan harta wakaf tersebut? Hanya
terkait dengan aset organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, seperti penjualan,
hibah, dan warisan. Termasuk aset wakaf yang digadaikan. Berbeda dengan Hanafi,
Maliki bahkan mengatakan bahwa harta wakaf adalah milik lembaga keagamaan,
namun lembaga keagamaan tidak berhak menggunakan harta wakaf sebagaimana
mestinya. Semuanya berbentuk pribadi. Sementara itu, Syafi'i dan Hanbali
mengatakan kepemilikan harta telah rusak. Shighat atau iqrar (pernyataan atau
ikrar wakif sebagai kehendak untuk mewakafkan).
4)Shighat
atau ikrar adalah pernyataan penyerahan harta benda wakaf oleh wakif. Dalam hal
ini, perbedaan yang muncul adalah apakah bentuk pernyataan tersebut berupa
ucapan, kinayah atau perbuatan. Sedangkan dari sisi akad wakaf, menyatakan
bahwa wakaf merupakan akad tabarru', yaitu transaksi sepihak yang sah untuk
melakukan suatu akad yang tidak memerlukan ijab qabul dari pihak penerima dan
terpenuhi dengan kerelaan wakif. Pengertian akad di sini adalah suatu bentuk
tindakan hukum (tasharruf) yang mengakibatkan keharusan adanya penataan
terhadap apa yang dinyatakan dalam kehendak tindakan hukum tersebut oleh pihak
yang berkepentingan, meskipun pernyataan tersebut bersifat sepihak. Akad dalam
arti kesepakatan antara dua pihak yang berkehendak untuk melakukan suatu
perikatan yang digambarkan dengan ijab dan qabul seperti yang terjadi dalam
jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya, sehingga tidak sah dalam pengertian
akad wakaf(Sumarlan,
n.d.).
4. jenis-jenis wakaf
Dari
segi pendistribusiannya, wakaf dilihat dari siapa yang menerima, apakah
organisasi keagamaan atau sosial, wakaf dibagi menjadi dua jenis:
1. Wakaf
ahli, yaitu wakaf yang ditunjukkan kepada orang-orang tertentu, satu orang atau
lebih, baik anggota keluarga Wakif maupun bukan. Wakaf seperti ini disebut juga
dengan Wakaf Dana Keagamaan. Misalnya, seseorang mewakafkan sebidang tanah
untuk anaknya, kemudian untuk cucunya, atau organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan, maka wakaf tersebut sah dan berlaku bagi yang menerimanya.
Manfaatnya adalah yang disebutkan dalam pernyataan wakaf. Dalam hal ini,
menjadi salah satu wakif ahli sangat baik karena wakif mendapatkan dua manfaat
dari pemberian harta kepada organisasi keagamaan dan masyarakat.
2.
Wakaf Khairi, yaitu dana keagamaan yang digunakan semata-mata untuk kepentingan
keagamaan atau kemasyarakatan (universal good), seperti wakaf untuk masjid,
sekolah, jembatan, rumah sakit, rumah yatim piatu yang perlu dibangun untuk
anak-anak yatim, dan lain-lain. Dalam meninjau tujuan, jenis-jenis organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan. Organisasi-organisasi ini memiliki manfaat yang
lebih banyak daripada organisasi keagamaan dan komunitas khusus karena
organisasi ini tidak memiliki manfaat pengguna yang terbatas. Ini adalah jenis
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Bahkan, secara keseluruhan paling
sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri (Saprida
et al., 2022).
5. Wakaf
dalam hukum Islam
Dalam hukum Islam, masalah wakaf juga mencakup
apakah wakaf diberikan dalam jangka waktu tertentu. Lingkungan syariah, bukan
hukum syariah. Ini berarti bahwa semua aturan dan peraturan wakaf yang relevan
adalah fikih yang merupakan hasil dari sudut pandang manusia, yang tunduk pada
faktor penentu sosiologis. Pada dasarnya substansi yang tercakup dalam
ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 41 Tahun 2004 mengatur tentang nilai harta
benda wakaf yang berasal dari harta benda milik organisasi keagamaan dan organisasi
kemasyarakatan, sehingga pada prinsipnya kemanfaatan suatu benda wakaf menjadi
dasar yang paling relevan dengan eksistensi benda wakaf itu sendiri.
Konsekuensi logis dari keberadaan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang
bersifat jangka panjang (temporer) adalah semakin banyaknya organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan yang mewakafkan hartanya karena agama dan
masyarakat selalu (selamanya) sama dengan meniadakan kepemilikan. Karena
semakin banyak masyarakat yang tertarik dengan organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan. Secara tidak langsung aset organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan juga bertambah, sehingga memungkinkan untuk terus mengoptimalkan
pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Contoh pelaksanaan wakaf
berjangka adalah ketika seseorang mewakafkan aset berupa rumah untuk disewakan
kemudian dikelola secara produktif oleh orang yang dititipi untuk jangka waktu
yang disepakati bersama, misalnya 10 tahun. Kemudian rumah sewa tersebut
dikelola secara produktif oleh orang yang diamanahkan dan diperoleh keuntungan,
keuntungan tersebut diberikan kepada penerima manfaat (beneficiary) selama 10
tahun dan ketika tahun ke-10 telah tiba, maka harta wakaf tersebut dikembalikan
kepada wakif (pemilik) secara utuh(Sari, 2020).
6. Piagam dalam UU No. 41 Tahun 2004
Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan merupakan
salah satu pilar. Ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan ekonomi syariah.
Masalah sosial ekonomi di masyarakat. Banyak organisasi keagamaan dan
masyarakat di negara berkembang yang dapat menyelesaikan masalah sosial
ekonomi. Namun, sejauh yang m1 ketahui, masyarakat Indonesia telah tertarik
dengan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan selama berabad-abad. Organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan sangat terbatas pada bidang real estate, seperti
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berbasis lahan. Sehingga sangat
logis, Wael B. Hallaq menyamakan wakaf dengan masjid; musholla dan
sekolah-sekolah agama. bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan menjadi sasaran peraturan perundangan. Hanya harta
benda berupa tanah yang tunduk pada peraturan pemerintah, Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dana keagamaan untuk barang
bergerak, terutama uang menjadi pembahasan terakhir umat Islam di Indonesia
sekitar akhir tahun 2001. Oleh karena itu, organisasi keagamaan dan sosial
untuk barang bergerak, khususnya wakaf uang, dikenal luas oleh masyarakat
1.Wakaf Tunai/Wakaf al-Nuqud adalah kegiatan
keagamaan dan kemasyarakatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang,
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai..
2.Definisi uang termasuk sekuritas.
3.Wakaf uang halal (diperbolehkan) untuk Jawaz.
4.Uang tunai dari dana keagamaan hanya dapat
didistribusikan dan digunakan untuk tujuan yang diizinkan oleh hukum.
5.Nilai pokok wakaf uang harus dijamin. Simpan,
jangan dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan (Saprida et al., 2022).
7. Tujuan dan Fungsi Wakaf
Fungsi organisasi keagamaan dan sosial adalah untuk
menjaga kepentingan objek organisasi keagamaan dan sosial sesuai dengan
tujuannya. agar harta kekayaan organisasi keagamaan dan sosial digunakan
semata-mata untuk kepentingan pelaksanaan tujuan dan fungsi organisasi
keagamaan dan sosial:
1. Fasilitas dan kegiatan keagamaan.
2. Fasilitas dan kegiatan pendidikan dan kesehatan.
3. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar,
yatim piatu, beasiswa dan sebagainya, memajukan dan meningkatkan ekonomi umat
serta memajukan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
tujuan wakaf untuk memanfaatkan benda wakaf sesuai dengan fungsinya dan
mendayagunakan fungsi wakaf untuk mewujudkan potensi dan kepentingan umum,
harta benda wakaf organisasi keagamaan dan sosial digunakan untuk kepentingan
peribadatan dan kemajuan kesejahteraan umum(Amriah, 2023).
KESIMPULAN
Berdasarkan
tujuan penelitian dan analisis data penelitian wakaf termasuk infaq fi
sabilillah, itulah dasar yang digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan
konsep wakaf berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah yang menjelaskan tentang
infaq fi sabilillah. Yang dimaksud dengan wakaf secara sederhana adalah
mengatur peruntukan wakaf hanya kepada orang atau tempat yang memenuhi
persyaratan tersebut, namun menurut hukum di Indonesia sendiri, definisi wakaf
dimaknai secara khusus dengan pengertian beberapa pendapat menurut ulama empat
madzhab sesuai dengan definisi wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004, yang berbunyi
sebagai berikut: "wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah" Sedangkan menurut
Badan Wakaf Indonesia atau yang sering disingkat dengan BWI, wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan syari'ah. Dasar hukum wakaf terdapat dalam Al-Qur'an surat Ali-Imran
ayat 92 dan Al-Baqarah ayat 267 serta hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dan Bukhari, jika syarat dan rukunnya terpenuhi maka wakaf dinyatakan sah.
Rukun wakaf menurut hukum syariah ada 4 (empat) macam, yaitu;
1)
Wakif (Donatur)
2)
Mauquf'alaih (pihak yang mewakafkan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan)
3)
Mauquf (Harta yang disumbangkan)
4)
Pengakuan
BIBLIOGRAFI
Afandi, M. (2014). Revitalisasi Manajemen Wakaf Produktif di
Indonesia. Et-Tijarie: Jurnal Hukum Dan Bisnis Syariah, 1(1).
Amriah, P. (2023). Implementasi Undang-Undang Wakaf No. 41
Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 terhadap Pengelolaan
Harta Wakaf. Journal of Comprehensive Islamic Studies, 2(1),
17–32.
Budi, I. S. (2016). Revitalisasi wakaf sebagai penggerak
ekonomi masyarakat. Al-Iqtishadiyah: Ekonomi Syariah Dan Hukum Ekonomi
Syariah, 2(2).
DI BAITUL, M. H. S. (n.d.). ANALISIS TERHADAP PENGELOLAAN
WAKAF UANG.
Halim, A., & Rasidin, M. (2005). Hukum perwakafan di
Indonesia. (No Title).
Hazami, B. (2017). Peran dan aplikasi wakaf dalam mewujudkan
kesejahteraan umat di Indonesia. Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 16(1),
173–204.
Ibn, A.-I. K. al-D. (1970). „Abd al-Rahid al-Sirasi Ibn
al-Humam, Sharh Fath al-Qadir, jil. 6. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Kholis, N., & Mu’allim, A. (2018). Transaksi dalam
Ekonomi Islam. Program Pascasarjana dan Penerbit Quantum Madani.
Lestari, A. I. (2018). Revitalisasi Wakaf Untuk Kemaslahatan
Umat. ZISWAF: Jurnal Zakat Dan Wakaf, 4(1), 55–72.
Mukti Fajar, N. D., & Achmad, Y. (2010). Dualisme
penelitian hukum: normatif & empiris. Pustaka pelajar.
Permatasari, E., Fatimah, S., & Kholijah, S. (2022).
Wakaf Produktif Dalam Hukum Islam. EKSYDA: Jurnal Studi Ekonomi Syariah,
2(2), 36–47.
Sahidin, A. (2021). Pendayagunaan Zakat dan Wakaf untuk
Mencapai Maqashid Al-Syari’ah. Al-Awqaf: Jurnal Wakaf Dan Ekonomi Islam,
14(2), 97–106.
Saprida, S., Raya, F., & Umari, Z. F. (2022). Manajemen
Wakaf Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. Ekonomica
Sharia: Jurnal Pemikiran Dan Pengembangan Ekonomi Syariah, 8(1),
59–74.
Sari, E. (2020). Pengelolaan Wakaf Produktif di Lembaga
Amil Zakat Nurul Fikri Sampit Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Sumarlan, S. (n.d.). Analisis Implementasi Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 Terhadap Legalitas Tanah Wakaf (Studi Di Kantor Kementerian
Agama Kota Salatiga). Jurnal Daulat Hukum, 1(1).
Taufiq, A., Anam, S., Hasbullah, H., Efendi, J., & Amar,
S. S. (2023). Pelatihan Kewirausahaan untuk Peningkatan Pendapatan Kelompok
Perempuan Usaha Mikro di Desa Larangan Luar Kabupaten Pamekasan. Jurnal
Literasi Pengabdian Dan Pemberdayaan Masyarakat, 2(2), 107–116.