PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK ROKOK ELEKTRIK: IMPLEMENTASI UU NO. 8 TAHUN 1999

 

Nadia Octavira

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

nadia.octvr@gmail.com

Keywords

Abstract

Consumer Protection, E-Cigarettes, Legal Regulations

Tobacco use in Indonesia causes various serious health problems such as cancer, lung disease, heart disease, stroke and diabetes. Indonesia is the country with the third largest number of smokers in the world, with a significant increase in the number of adult smokers. Smoking habits not only affect individual health but also have major social and economic impacts. In addition, electronic cigarettes (vapes) are increasingly popular as an alternative to conventional cigarettes, but they still contain health risks that require strict regulation and consumer education. This research aims to analyze the protection of consumer rights in the use of e-cigarettes in Indonesia, as well as examine the regulations and supervision needed to protect consumers from the health risks associated with this product. This research uses a normative legal method (normative juridical), which focuses on analyzing legislation related to the distribution and supervision of e-cigarette e-liquid. This method aims to find relevant legal rules, principles and doctrines to answer the legal issues faced. The Consumer Protection Law (UU No. 8 of 1999) provides a legal basis for protecting consumer rights, including the right to correct, clear and honest information regarding the condition of goods. Business actors who do not include complete and accurate information on their products may be subject to criminal sanctions. In the context of e-cigarettes, many products do not comply with applicable regulations, such as the absence of health warning labels and expiration dates. BPOM has the authority to supervise and take action against e-cigarette products that do not meet safety and product information standards. The Consumer Protection Law aims to create a balance between the rights and obligations of consumers and business actors, ensuring consumer protection from detrimental trade practices. BPOM has an important role in monitoring and taking action against e-cigarette products that do not meet safety standards, with significant criminal sanctions for these violations. Appropriate regulations and education are needed to protect consumers from the health risks associated with e-cigarette use.

Kata Kunci

Abstrak

Perlindungan Konsumen, Rokok Elektrik, Regulasi Hukum

Penggunaan tembakau di Indonesia menimbulkan berbagai masalah kesehatan serius seperti kanker, penyakit paru-paru, jantung, stroke, dan diabetes. Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia, dengan peningkatan jumlah perokok dewasa yang signifikan. Kebiasaan merokok tidak hanya mempengaruhi kesehatan individu tetapi juga berdampak sosial dan ekonomi yang besar. Selain itu, rokok elektrik (vape) semakin populer sebagai alternatif rokok konvensional, namun tetap mengandung risiko kesehatan yang memerlukan regulasi ketat dan edukasi konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hak konsumen dalam penggunaan rokok elektrik di Indonesia, serta mengkaji regulasi dan pengawasan yang diperlukan untuk melindungi konsumen dari risiko kesehatan yang terkait dengan produk ini. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif (yuridis normatif), yang berfokus pada analisis perundang-undangan terkait peredaran dan pengawasan e-liquid rokok elektrik. Metode ini bertujuan menemukan aturan, prinsip, dan doktrin hukum yang relevan untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) memberikan landasan hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, termasuk hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan informasi yang lengkzap dan akurat pada produk mereka dapat dikenai sanksi pidana. Dalam konteks rokok elektrik, banyak produk tidak mematuhi peraturan yang berlaku, seperti ketiadaan label peringatan kesehatan dan tanggal kadaluarsa. BPOM memiliki wewenang untuk mengawasi dan menindak produk rokok elektrik yang tidak memenuhi standar keamanan dan informasi produk. Undang-Undang Perlindungan Konsumen bertujuan menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha, memastikan perlindungan konsumen dari praktik perdagangan yang merugikan. BPOM memiliki peran penting dalam pengawasan dan penindakan terhadap produk rokok elektrik yang tidak memenuhi standar keamanan, dengan sanksi pidana yang signifikan untuk pelanggaran tersebut. Regulasi dan edukasi yang tepat sangat diperlukan untuk melindungi konsumen dari risiko kesehatan yang terkait dengan penggunaan rokok elektrik..

Corresponding Author: Nadia Octavira

Nadia.octvr@gmail.com

 

 

 

PENDAHULUAN

Selain isu ekonomi, Indonesia juga dihadapkan dengan masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh penggunaan tembakau. Rokok konvensional terkait dengan berbagai penyakit serius seperti penyakit paru-paru, kanker, stroke, jantung, dan diabetes. Kebiasaan merokok sangat umum di masyarakat, entah itu di pedesaan ataupun di perkotaan. Menurut WHO, “Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India.” Jumlah perokok pria di Indonesia dinyatakan sebagai yang tertinggi di dunia oleh Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021(Hijawati, 2020), dengan meningkatnya kuantitaas perokok dewasa dengan jumlah 8,8 juta dalam satu dekade, mencapai 69,1 juta pada 2021.

Tidak hanya kesehatan individu yang dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, tetapi dampak sosial dan ekonomi yang signifikan juga dimiliki. Secara sosial, merokok menjadi bagian dari budaya dan gaya hidup masyarakat. Secara ekonomi, industri rokok memberikan kontribusi besar melalui pajak, namun juga menyebabkan beban biaya kesehatan yang tinggi akibat penyakit terkait merokok. Upaya mengurangi prevalensi merokok membutuhkan pendekatan holistik yang mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi, serta edukasi tentang bahaya merokok dan regulasi ketat terhadap industri tembakau.

Dengan perkembangan teknologi, banyak konsumen beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik (vape). Vape, yang terdiri dari alat hisap dan cairan (e-juice), dikembangkan oleh Hon Lik pada 2003. Rokok elektrik bekerja dengan mengubah cairan menjadi uap dan dinilai kurang berbahaya dibandingkan rokok konvensional. Namun, penelitian FDA pada 2009 menemukan bahwa rokok elektrik masih mengandung zat berbahaya seperti nitrosamin spesifik tembakau (TSNA) dan dietilenglikol (DEG).

Popularitas rokok elektrik menuntut regulasi dan pengawasan ketat untuk melindungi kesehatan konsumen. Meskipun dianggap lebih aman, rokok elektrik tetap memiliki risiko kesehatan. Pemerintah perlu meningkatkan regulasi terhadap produksi, penjualan, dan pemasaran rokok elektrik. Edukasi konsumen mengenai risiko kesehatan terkait vape juga penting untuk memungkinkan konsumen membuat keputusan yang sadar dan bertanggung jawab. Regulasi ketat dan edukasi yang tepat dapat membantu mengurangi permintaan produk ini dan mendorong pencarian alternatif yang lebih sehat. Peningkatan transparansi informasi tentang kandungan bahan dalam rokok elektrik juga perlu dilakukan agar keputusan yang berdasarkan informasi akurat dan lengkap dapat dibuat oleh konsumen.

Di Indonesia, rokok elektrik semakin populer sebagai alternatif yang dianggap lebih aman daripada rokok konvensional. Banyak pelaku usaha mulai menjual perangkat rokok elektrik dan cairannya (E-Juice atau liquid) (Prayogo, 2017). Namun, penjualan ini seringkali tidak mematuhi peraturan yang berlaku, terutama terkait dengan produk cairan rokok elektrik. Banyak liquid lokal yang diproduksi oleh industri kecil tanpa pengawasan pemerintah, menimbulkan kekhawatiran akan kualitas dan keamanannya. Oleh karenanya, diperlukan adanya penegakan hukum yang lebih ketat untuk melindungi konsumen dari risiko kesehatan yang terkait dengan penggunaan produk ini.

Rokok elektrik dan cairannya semakin diminati, namun tidak semua produk dipantau oleh Food and Drug Administration (FDA). Banyak cairan dijual tanpa tanggal kadaluarsa yang akurat, dan banyak wirausaha tidak mencantumkan informasi dan label peringatan kesehatan pada produk mereka, melanggar UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU ini mengharuskan “pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang, serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.”

Dalam konteks hukum Indonesia, hak atas kesehatan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat (1), yang menyatakan “bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menekankan bahwa upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat harus didasarkan pada prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.

Peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau, termasuk rokok elektrik, penting untuk melindungi hak konsumen atas informasi dan kesehatan (Ekawati & Dermawan, 2019). Ketiadaan label peringatan kesehatan melanggar hak konsumen dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan label atau informasi yang diperlukan dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal 2 miliar rupiah.

UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur larangan perdagangan barang yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan. Menurut UU Perlindungan Konsumen, standar keamanan pangan dan mutu pangan harus dipenuhi, dan penjualan barang yang tidak memenuhi standar ini merupakan pelanggaran. Pengusaha yang melanggar aturan ini dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 62 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan ancaman penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimal 2 miliar rupiah.

Perlindungan hukum untuk konsumen pemakai rokok elektrik yang tidak tercantum label peringatan kesehatan di kemasannya merupakan isu penting dalam hukum konsumen dan kesehatan publik. Konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat dan transparan mengenai risiko kesehatan terkait penggunaan produk. Perlu ada keseimbangan antara hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat dan kebebasan individu dalam membuat pilihan konsumsi.

Produksi rokok elektrik tidak memiliki izin dari Kementerian Kesehatan dan Bea Cukai karena tidak terdapat label cukai dan label peringatan kesehatan pada kemasannya (Wulansari, 2021). Produk ini tidak melewati pemeriksaan standar tertentu, sehingga berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Ketiadaan label cukai dan peringatan kesehatan juga menimbulkan kekhawatiran tentang pengawasan produksi dan penjualan rokok elektrik ilegal. Diperlukan langkah tegas pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan industri ini guna melindungi konsumen.

Pemasaran produk rokok elektrik yang tidak berfokus pada standar dan perlindungan konsumen menimbulkan masalah serius (Nabila & Sakti, 2023). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan, kurangnya informasi yang diberikan kepada konsumen tentang penggunaan dan bahaya zat dalam cairan rokok elektrik menunjukkan perlunya penegakan hukum lebih ketat. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang benar, tetapi masih perlu peningkatan kesadaran dan penegakan hukum terkait informasi kepada konsumen. Mudahnya akses konsumen mendapatkan rokok elektrik dan liquid juga meningkatkan risiko tanpa pertimbangan informasi cukup tentang risiko kesehatan (Wulansari, 2021). Oleh karena itu, diperlukan upaya pemerintah dan pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran, regulasi, dan penegakan hukum perlindungan konsumen dalam konteks rokok elektrik.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif (yuridis normatif), yang berfokus pada analisis perundang-undangan terkait peredaran dan pengawasan e-liquid rokok elektrik. Tujuannya adalah menemukan aturan, konsep, dan doktrin hukum yang relevan untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif berupaya mengatasi masalah hukum dengan memberikan preskripsi mengenai perumusan masalah yang diajukan, berfokus pada norma hukum tanpa mempertimbangkan praktik di lapangan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, “penelitian hukum adalah proses menemukan aturan, prinsip, atau doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi(Marzuki, 2017).”

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlindungan Hak Konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) memberikan landasan hukum utama untuk “melindungi hak-hak konsumen, termasuk hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang.” Orang yang memakai barang/jasa untuk keperluannya sendiri, dan tidak untuk dijual kembali, disebut konsumen (Mayana, 2017). Transaksi konsumen adalah perpindahan kepemilikan atau penggunaan barang/jasa dari penyedia ke konsumen.

Pasal 4 UUPK menyebutkan “hak konsumen seperti memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai nilai tukar dan kondisi yang dijanjikan, serta mendapatkan informasi yang benar dan kompensasi jika barang/jasa tidak sesuai perjanjian.” Pasal 7 menjelaskan “kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar dan kompensasi jika barang/jasa tidak sesuai perjanjian.” Pasal 8 melarang pelaku usaha memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji dalam label, iklan, atau promosi.

Jika pelaku usaha tidak patuh, mereka dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 62 UUPK, dengan ancaman penjara hingga lima tahun atau denda maksimal dua miliar rupiah. Penciptaan keberimbangan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha merupakan tujuan dari UU No. 8 Tahun 1999, serta memastikan perlindungan hukum bagi konsumen dari praktik perdagangan yang merugikan.

Konsep-Konsep Pasal 8 Huruf I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang Dihubungkan Peraturan-Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia dan Konsep-Konsep Umum

 

Konsep menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

            Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, “merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”(Mayana, 2017) Selain pengertian di dalam pasal tersebut dijelaskan jenis-jenisnya seperti berikut:

1.    Merek Dagang (Pasal 1 Angka 2): “Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.”

2.    Merek Jasa (Pasal 1 Angka 3): “Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya.”

3.    Merek Kolektif (Pasal 1 Angka 4): “Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama, yang memiliki sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.”

4.    Hak atas Merek (Pasal 1 Angka 5): “Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”

Perlindungan Konsumen

            Pasal 8 ayat (1) huruf i Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan akurat pada produk yang mereka produksi dan/atau perdagangkan, termasuk “nama barang, ukuran, berat/isi bersih, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain yang harus dicantumkan sesuai ketentuan.” (Wahjuni et al., 2023)

1.       Nama Barang

Label harus dicantumkan pada kemasan produk oleh setiap pelaku usaha pangan olahan sebelum produk tersebut diedarkan ke masyarakat. Pengemasan produk pangan dilakukan untuk melindungi makanan dari kerusakan, kotoran, dan mikroorganisme patogen. Label harus dicantumkan sesuai ketentuan yang berlaku dan harus memuat informasi minimal seperti nama produk, yang mencakup nama jenis pangan olahan dan nama dagang. Nama jenis pangan olahan harus menunjukkan karakteristik spesifik produk sesuai kategori pangan, sementara“nama dagang dapat berupa gambar, kata, huruf, angka, susunan warna, dan/atau bentuk lain yang memiliki daya pembeda.”

a.       Unsur-Unsur Nama Barang/Nama Produk/Label Produk/Branding(Pangestika, 2022)

1)        Nama Merek: Elemen pertama dalam proses branding yang memberikan identitas pada produk.

2)        Logo: Penting untuk memperhatikan“keunikan dan citra yang sesuai dengan brand.”Logo bisa berupa logotype, monogram, atau bendera.

3)        Tampilan Visual: Diterapkan pada desain produk, kemasan, seragam, dan lain-lain. Warna-warna cerah atau elegan dapat meningkatkan citra produk.

4)        Penggunaan Juru Bicara:“Co-founder perusahaan, maskot, tokoh perusahaan, atau orang terkenal dapat diundang untuk bekerja sama dalam meningkatkan pemasaran produk”sebagai juru bicara.

5)        Suara (Lagu Tematik): Lagu tematik memadukan elemen visual dan menjadikan lebih indah serta mudah dihapal.

6)        Kata-kata (Slogan, Tagline, Jingle, Akronim):“Slogan yang cerdas dapat meninggalkan kesan mendalam.”Gunakan kata-kata yang ceria, positif, mudah diingat, dan berbeda dari brand lain.

b.       Jenis-Jenis Nama Barang/Nama Produk/Label Produk/Branding(Agra, 2022)

1)        Label Merek: Tulisan atau logo yang menunjukkan identitas perusahaan dan membedakan merek tersebut dari yang lain.

2)        Label Produk: Berisi informasi lengkap terkait produk seperti bahan baku, negara asal, tanggal pembuatan, dan informasi penting lainnya.

3)        Label Tingkat: Menunjukkan ukuran atau tingkatan produk, seperti ukuran pakaian atau celana.

4)        Label Deskriptif: Memberikan informasi tambahan mengenai produk, seperti "Tanpa bahan pengawet" atau "Dibuat 100% dari bahan organik."

c.       Fungsi dan Tujuan Nama Barang/Nama Produk/Label Produk/Branding(Pangestika, 2022)

1)        Sebagai Pembeda: Memudahkan pembeda antara produk yang satu dengan yang lain.

2)        Promosi dan Daya Tarik: Mempermudah promosi karena pelanggan cenderung loyal terhadap brand yang sudah dikenal baik.

3)        Membangun Citra: Membantu menampilkan citra positif, keyakinan pembeli, terjaminannya kualitas, dan prestise.

4)        Pengendali Pasar: Brand yang dikenal luas dapat mengendalikan pasar karena sudah memiliki reputasi yang kuat di mata masyarakat.

2.       Ukuran

Ukuran barang harus dicantumkan agar konsumen mengetahui dimensi fisik produk. Ini penting dalam manajemen persediaan, logistik, distribusi, dan penjualan di berbagai industri (Martono, 2018). Beberapa jenis satuan barang yang umum digunakan adalah:

a.       Unit: Ukuran paling dasar dari suatu barang.

b.       Karton atau Boks: Kemasan yang digunakan untuk mengemas beberapa unit barang.

c.       Dus atau Paket: Satuan yang lebih besar dari karton untuk pengiriman dan penyimpanan.

d.       Palet: Platform datar yang digunakan untuk menumpuk dan mengangkut barang.

e.       Meter Persegi atau Meter Kubik: Digunakan untuk barang-barang yang diukur berdasarkan dimensi ruang.

f.        Berat (Kilogram, Pon, dll.): Digunakan untuk mengukur barang-barang yang dijual atau dikirim berdasarkan beratnya.

g.       Satuan Jual (Kemasan Ritel): Mengacu pada cara barang dijual kepada konsumen.

3.       Berat/Isi Bersih atau Netto

Neto adalah berat bersih dari suatu barang tanpa kemasannya. Penting untuk dicantumkan pada kemasan produk untuk memberikan informasi kuantitatif tentang produk yang dibeli oleh konsumen. Informasi ini membantu konsumen mengetahui berapa banyak produk yang mereka dapatkan tanpa mempertimbangkan kemasan, serta mempengaruhi keputusan pembelian dan strategi penetapan harga.

4.       Komposisi

Komposisi atau daftar bahan-bahan yang digunakan dalam produk pangan harus dicantumkan secara lengkap pada label kemasan (Chotim & Subhan, 2014). Ini penting untuk memberikan transparansi dan memastikan bahwa konsumen dapat membuat keputusan yang tepat mengenai apa yang mereka makan, serta membantu konsumen dengan alergi atau preferensi diet khusus.

5.       Aturan Pakai

Aturan pakai atau petunjuk penggunaan harus disertakan pada label produk pangan untuk memastikan penggunaan produk dengan benar dan aman. Ini mencakup proses persiapan, cara penyimpanan, dan instruksi penggunaan yang sesuai, serta peringatan khusus untuk menghindari risiko tertentu.

6.       Tanggal Pembuatan

Tanggal dan kode produksi pada label produk pangan memberikan informasi tentang riwayat produksi dan memastikan transparansi bagi konsumen mengenai umur dan kualitas produk. Tanggal kedaluwarsa juga penting untuk memastikan keamanan konsumsi.

7.       Akibat Sampingan

Pencantuman informasi mengenai akibat samping atau efek samping dari produk adalah penting untuk memastikan bahwa konsumen menerima informasi yang lengkap dan tidak menyesatkan (Harahap, 2019). Hal ini diatur dalam regulasi yang berlaku untuk obat-obatan dan kosmetik.

8.       Nama dan Alamat Pelaku Usaha

Pencantuman nama dan alamat produsen atau pelaku usaha pada produk adalah penting untuk menjamin tanggung jawab dan transparansi. Ini memberikan konsumen akses langsung ke informasi yang mereka butuhkan jika terjadi masalah terkait produk.

9.       Keterangan Lain

a.       Sertifikasi Produk: Memberikan nilai tambah bagi bisnis dan keamanan yang lebih terjamin bagi konsumen. Sertifikasi menunjukkan bahwa produk telah memenuhi standar tertentu.

b.       Perbedaan Sertifikasi Produk dan Pengujian Produk: Sertifikasi melibatkan penilaian terhadap pemenuhan syarat-syarat yang mengacu pada standar, sementara pengujian produk melibatkan evaluasi kualitas dan keselamatan produk berdasarkan pengujian laboratorium.

Konsumen dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau pengadilan negeri berdasarkan Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen (Samosir, 2018).

Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen

            Sengketa Konsumen:

            Sengketa konsumen terjadi antara pelaku usaha dan konsumen yang merasa dirugikan oleh barang atau jasa yang dikonsumsi (Hamzani, 2011).“Hak untuk menggugat pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau peradilan umum diberikan kepada konsumen oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”(UUPK).

Metode Penyelesaian Sengketa:

1.       Di Luar Pengadilan:

a.       BPSK: Melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.

b.       Forum Alternatif: Negosiasi, konsultasi, penilaian ahli.

2.       Di Pengadilan:

a.       Melalui pengadilan negeri, mengikuti hukum acara perdata yang berlaku (HIR untuk Jawa-Madura, RBg untuk luar Jawa-Madura).

3.       Proses Penyelesaian:

a.       Langkah Awal: Upaya damai harus diutamakan.

b.       Jika Gagal: Konsumen dapat membawa kasus ke BPSK atau pengadilan.

c.       Hak Menggugat: Konsumen yang dirugikan, ahli waris, kelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen, atau pemerintah.

4.       Tanggung Jawab Pelaku Usaha:

a.       Pasal 19 UUPK: Pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen dalam waktu tujuh hari.

b.       Pasal 28 UUPK: Pelaku usaha harus membuktikan tidak adanya kesalahan untuk bebas dari tanggung jawab.

5.       Konsumen Rokok Elektrik:

a.       Konsumen yang dirugikan oleh rokok elektrik dapat menuntut ganti rugi melalui BPSK atau pengadilan negeri, baik secara individu maupun class action, sesuai dengan Pasal 45 UUPK.

Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat melakukan pengawasan dan penindakan terhadap produk rokok elektrik yang tidak memenuhi syarat keamanan dan informasi produk (Suryani, 2020).

            Wewenang untuk mengawasi dan menindak produk rokok elektrik“yang tidak memenuhi standar keamanan dan informasi produk dimiliki oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan”(BPOM) yang dijalankan oleh pemerintah (BPOM, 2016). Berdasarkan“Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,”BPOM dapat menggunakan Pasal 61 dan Pasal 62 untuk menuntut pidana terhadap“pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang terlibat dalam pelanggaran,”seperti ketidakpatuhan terhadap ketentuan keamanan produk atau informasi produk yang jelas kepada konsumen. Sanksi termasuk“pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp. 2.000.000.000,00

 

KESIMPULAN

Undang-Undang“Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) adalah memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak konsumen”di Indonesia. UU ini “menegaskan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk atau jasa yang mereka beli.” Selain itu, UU ini juga mengatur “kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang akurat serta mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.”

Dalam konteks penggunaan produk rokok elektrik,“BPOM memiliki peran penting dalam memastikan bahwa produk tersebut memenuhi standar keamanan yang ditetapkan.”Jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan keamanan atau informasi produk, BPOM dapat melakukan pengawasan dan menindak pelaku usaha sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen. Ini mencakup kemungkinan pidana penjara atau denda yang signifikan sebagai sanksi.

Dengan demikian, UU Perlindungan Konsumen bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara“hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha,”serta memastikan bahwa konsumen dilindungi dari praktik perdagangan yang merugikan.

 

BIBLIOGRAFI

 

Agra. (2022). Ada 4 Jenis Label Produk Yang Sering Kita Jumpai, Intip Kegunaannya.

Bpom, R. I. (2016). Standar Keamanan Dan Mutu Minuman Beralkohol. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Ri Nomor, 14, 1–17.

Chotim, M., & Subhan, M. (2014). Evaluasi Penulisan Label Pangan Yang Tidak Lengkap Dan Iklan Pangan Menyesatkan Pada Industri Rumah Tangga Pangan Di Kabupaten Temanggung Tahun 2013. Jurnal Riset Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha Program Magister Manajemen, 1(1), 78–92.

Ekawati, D., & Dermawan, E. S. (2019). Analisis Implementasi Kebijakan Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan Peringatan Kesehatan Pada Kemasan Rokok. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: Jkki, 81–94.

Hamzani, A. I. (2011). Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Luar Pengadilan Menurut Undang-Undang Ri Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen; Tinjauan Hukum Islam. Sosekhum, 7(10).

Harahap, A. R. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Iklan Yang Menyesatkan. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Hijawati, H. (2020). Peredaran Obat Illegal Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen. Solusi, 18(3), 394–406.

Martono, R. (2018). Manajemen Logistik. Gramedia Pustaka Utama.

Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.

Mayana, R. F. (2017). Perlindungan Merek Non Tradisional Untuk Produk Ekonomi Kreatif Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek, Indikasi Geografis Dan Perspektif Perbandingan Hukum. Jurnal Bina Mulia Hukum, 2(1), 26–41.

Nabila, T., & Sakti, M. (2023). Perlindungan Konsumen Atas Iklan Produk Rokok Sebagai Upaya Menurunkan Prevalensi Perokok Anak. Jurnal Interpretasi Hukum, 4(2), 367–376.

Pangestika, W. (2022). Branding: Unsur, Jenis, Tujuan, Dan Manfaatnya Yang Harus Anda Ketahui.

Prayogo, F. T. (2017). Legalitas Peredaran Cairan Rokok Elektrik (Liquid) Dalam Tinjauan Maqashid Syariah. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Samosir, A. (2018). Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang Dilakukan Badan Penyelesaian Perlindungan Konsumen. Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum, 2(2), 133–142.

Suryani, Y. I. (2020). Pelaksanaan Pengawasan Produk Pangan Dalam Kemasan Kategori “Md” Oleh Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan (Bbpom) Di Semarang Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Konsumen Atas Kesehatan Di Kota Semarang. Unika Soegijapranata Semarang.

Wahjuni, E., Adonara, F. F., & Kurniawati, E. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Produk Kosmetik Dengan Sistem Share In Jar. Jurnal Rechtens, 12(2), 157–176.

Wulansari, S. (2021). Pengaruh Ekuitas Merek, Harga, Dan Distribusi Terhadap Trend Keputusan Pembelian Rokok Elektrik (Vape) Di Kalangan Mahasiswa Di Kota Palangka Raya. Iain Palangka Raya.