PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PRODUK
ROKOK ELEKTRIK: IMPLEMENTASI UU NO. 8 TAHUN 1999
Nadia Octavira
Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya
nadia.octvr@gmail.com
Keywords |
Abstract |
Consumer Protection, E-Cigarettes, Legal Regulations |
Tobacco use in Indonesia causes various serious health
problems such as cancer, lung disease, heart disease, stroke and diabetes.
Indonesia is the country with the third largest number of smokers in the
world, with a significant increase in the number of adult smokers. Smoking
habits not only affect individual health but also have major social and
economic impacts. In addition, electronic cigarettes (vapes) are increasingly
popular as an alternative to conventional cigarettes, but they still contain
health risks that require strict regulation and consumer education. This
research aims to analyze the protection of consumer rights in the use of
e-cigarettes in Indonesia, as well as examine the regulations and supervision
needed to protect consumers from the health risks associated with this
product. This research uses a normative legal method (normative juridical),
which focuses on analyzing legislation related to the distribution and
supervision of e-cigarette e-liquid. This method aims to find relevant legal rules,
principles and doctrines to answer the legal issues faced. The Consumer
Protection Law (UU No. 8 of 1999) provides a legal basis for protecting
consumer rights, including the right to correct, clear and honest information
regarding the condition of goods. Business actors who do not include complete
and accurate information on their products may be subject to criminal
sanctions. In the context of e-cigarettes, many products do not comply with
applicable regulations, such as the absence of health warning labels and
expiration dates. BPOM has the authority to supervise and take action against
e-cigarette products that do not meet safety and product information
standards. The Consumer Protection Law aims to create a balance between the
rights and obligations of consumers and business actors, ensuring consumer
protection from detrimental trade practices. BPOM has an important role in
monitoring and taking action against e-cigarette products that do not meet
safety standards, with significant criminal sanctions for these violations.
Appropriate regulations and education are needed to protect consumers from
the health risks associated with e-cigarette use. |
Kata Kunci |
Abstrak |
Perlindungan Konsumen, Rokok Elektrik, Regulasi Hukum |
Corresponding
Author: Nadia Octavira
Nadia.octvr@gmail.com
PENDAHULUAN
Selain isu ekonomi,
Indonesia juga dihadapkan dengan masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh
penggunaan tembakau. Rokok konvensional terkait dengan berbagai penyakit serius
seperti penyakit paru-paru, kanker, stroke, jantung, dan diabetes. Kebiasaan
merokok sangat umum di masyarakat, entah itu di pedesaan ataupun di perkotaan.
Menurut WHO, “Indonesia adalah negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di
dunia setelah Cina dan India.” Jumlah perokok pria di Indonesia dinyatakan sebagai yang
tertinggi di dunia oleh Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021(Hijawati, 2020), dengan meningkatnya kuantitaas
perokok dewasa dengan jumlah 8,8 juta dalam satu dekade, mencapai 69,1 juta
pada 2021.
Tidak hanya kesehatan individu yang dipengaruhi oleh kebiasaan merokok,
tetapi dampak sosial dan ekonomi yang signifikan juga dimiliki. Secara sosial, merokok menjadi
bagian dari budaya dan gaya hidup masyarakat. Secara ekonomi, industri rokok
memberikan kontribusi besar melalui pajak, namun juga menyebabkan beban biaya
kesehatan yang tinggi akibat penyakit terkait merokok. Upaya mengurangi
prevalensi merokok membutuhkan pendekatan holistik yang mempertimbangkan dampak
sosial dan ekonomi, serta edukasi tentang bahaya merokok dan regulasi ketat
terhadap industri tembakau.
Dengan perkembangan
teknologi, banyak konsumen beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik
(vape). Vape, yang terdiri dari alat hisap dan cairan (e-juice), dikembangkan
oleh Hon Lik pada 2003. Rokok elektrik bekerja dengan mengubah cairan menjadi uap
dan dinilai kurang berbahaya dibandingkan rokok konvensional. Namun, penelitian
FDA pada 2009 menemukan bahwa rokok elektrik masih mengandung zat berbahaya
seperti nitrosamin spesifik tembakau (TSNA) dan dietilenglikol (DEG).
Popularitas rokok
elektrik menuntut regulasi dan pengawasan ketat untuk melindungi kesehatan
konsumen. Meskipun dianggap lebih aman, rokok elektrik tetap memiliki risiko
kesehatan. Pemerintah perlu meningkatkan regulasi terhadap produksi, penjualan,
dan pemasaran rokok elektrik. Edukasi konsumen mengenai risiko kesehatan
terkait vape juga penting untuk memungkinkan konsumen membuat keputusan yang
sadar dan bertanggung jawab. Regulasi ketat dan edukasi yang tepat dapat
membantu mengurangi permintaan produk ini dan mendorong pencarian alternatif
yang lebih sehat. Peningkatan transparansi informasi tentang kandungan
bahan dalam rokok elektrik juga perlu dilakukan agar keputusan yang berdasarkan
informasi akurat dan lengkap dapat dibuat oleh konsumen.
Di Indonesia, rokok
elektrik semakin populer sebagai alternatif yang dianggap lebih aman daripada
rokok konvensional. Banyak pelaku usaha mulai menjual perangkat rokok elektrik
dan cairannya (E-Juice atau liquid) (Prayogo,
2017). Namun, penjualan ini seringkali tidak mematuhi
peraturan yang berlaku, terutama terkait dengan produk cairan rokok elektrik.
Banyak liquid lokal yang diproduksi oleh industri kecil tanpa pengawasan
pemerintah, menimbulkan kekhawatiran akan kualitas dan keamanannya. Oleh
karenanya, diperlukan adanya penegakan hukum yang lebih ketat untuk melindungi
konsumen dari risiko kesehatan yang terkait dengan penggunaan produk ini.
Rokok elektrik dan
cairannya semakin diminati, namun tidak semua produk dipantau oleh Food and
Drug Administration (FDA). Banyak cairan dijual tanpa tanggal kadaluarsa yang
akurat, dan banyak wirausaha tidak mencantumkan informasi dan label peringatan
kesehatan pada produk mereka, melanggar UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. UU ini mengharuskan “pelaku usaha memberikan informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang, serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.”
Dalam konteks hukum
Indonesia, hak atas kesehatan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H
ayat (1), yang menyatakan “bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2023 tentang Kesehatan menekankan bahwa upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat harus didasarkan pada prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan
berkelanjutan.
Peringatan kesehatan
pada kemasan produk tembakau, termasuk rokok elektrik, penting untuk melindungi
hak konsumen atas informasi dan kesehatan (Ekawati
& Dermawan, 2019). Ketiadaan label peringatan
kesehatan melanggar hak konsumen dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan
UU No. 8 Tahun 1999. Pelaku usaha yang tidak mencantumkan label atau informasi
yang diperlukan dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal 2
miliar rupiah.
UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur larangan perdagangan barang yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan. Menurut UU
Perlindungan Konsumen, standar keamanan pangan dan mutu pangan harus dipenuhi,
dan penjualan barang yang tidak memenuhi standar ini merupakan pelanggaran. Pengusaha yang
melanggar aturan ini dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 62 Ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan ancaman penjara paling lama 5 tahun
atau denda maksimal 2 miliar rupiah.
Perlindungan hukum
untuk konsumen pemakai rokok elektrik yang tidak tercantum label peringatan
kesehatan di kemasannya merupakan isu penting dalam hukum konsumen dan
kesehatan publik. Konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat dan
transparan mengenai risiko kesehatan terkait penggunaan produk. Perlu ada
keseimbangan antara hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat dan
kebebasan individu dalam membuat pilihan konsumsi.
Produksi rokok
elektrik tidak memiliki izin dari Kementerian Kesehatan dan Bea Cukai karena
tidak terdapat label cukai dan label peringatan kesehatan pada kemasannya (Wulansari,
2021). Produk ini tidak melewati pemeriksaan standar
tertentu, sehingga berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Ketiadaan label
cukai dan peringatan kesehatan juga menimbulkan kekhawatiran tentang pengawasan
produksi dan penjualan rokok elektrik ilegal. Diperlukan langkah tegas
pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan industri ini guna
melindungi konsumen.
Pemasaran produk
rokok elektrik yang tidak berfokus pada standar dan perlindungan konsumen
menimbulkan masalah serius (Nabila
& Sakti, 2023). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Produk
Tembakau Bagi Kesehatan, kurangnya informasi yang diberikan kepada konsumen
tentang penggunaan dan bahaya zat dalam cairan rokok elektrik menunjukkan
perlunya penegakan hukum lebih ketat. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengatur kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang benar, tetapi masih perlu peningkatan
kesadaran dan penegakan hukum terkait informasi kepada konsumen. Mudahnya akses
konsumen mendapatkan rokok elektrik dan liquid juga meningkatkan risiko tanpa
pertimbangan informasi cukup tentang risiko kesehatan (Wulansari,
2021). Oleh karena itu, diperlukan upaya pemerintah dan
pihak terkait untuk meningkatkan kesadaran, regulasi, dan penegakan hukum
perlindungan konsumen dalam konteks rokok elektrik.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif (yuridis normatif), yang
berfokus pada analisis perundang-undangan terkait peredaran dan pengawasan
e-liquid rokok elektrik. Tujuannya adalah menemukan aturan, konsep, dan doktrin
hukum yang relevan untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum
normatif berupaya mengatasi masalah hukum dengan memberikan preskripsi mengenai
perumusan masalah yang diajukan, berfokus pada norma hukum tanpa
mempertimbangkan praktik di lapangan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, “penelitian
hukum adalah proses menemukan aturan, prinsip, atau doktrin hukum untuk
menjawab isu hukum yang dihadapi(Marzuki, 2017).”
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) memberikan
landasan hukum utama untuk “melindungi hak-hak konsumen, termasuk hak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang.” Orang yang memakai
barang/jasa untuk keperluannya sendiri, dan tidak untuk dijual kembali, disebut
konsumen (Mayana, 2017). Transaksi
konsumen adalah perpindahan kepemilikan atau penggunaan barang/jasa dari
penyedia ke konsumen.
Pasal 4 UUPK menyebutkan “hak konsumen seperti memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai nilai tukar dan kondisi yang dijanjikan, serta mendapatkan
informasi yang benar dan kompensasi jika barang/jasa tidak sesuai perjanjian.”
Pasal 7 menjelaskan “kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang
benar dan kompensasi jika barang/jasa tidak sesuai perjanjian.” Pasal 8
melarang pelaku usaha memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan
janji dalam label, iklan, atau promosi.
Jika pelaku usaha tidak patuh, mereka dapat dikenai sanksi pidana sesuai
Pasal 62 UUPK, dengan ancaman penjara hingga lima tahun atau denda maksimal dua
miliar rupiah. Penciptaan keberimbangan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku
usaha merupakan tujuan dari UU No. 8 Tahun 1999, serta memastikan perlindungan
hukum bagi konsumen dari praktik perdagangan yang merugikan.
Menurut Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis, “merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa
gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua)
dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua)
atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi
oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”(Mayana, 2017) Selain
pengertian di dalam pasal tersebut dijelaskan jenis-jenisnya seperti berikut:
1.
Merek Dagang (Pasal 1 Angka 2): “Merek
yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa
orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang
sejenis lainnya.”
2.
Merek Jasa (Pasal 1 Angka 3): “Merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis
lainnya.”
3.
Merek Kolektif (Pasal 1 Angka 4): “Merek
yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama, yang
memiliki sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang
akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama
untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.”
4.
Hak atas Merek (Pasal 1 Angka 5): “Hak
eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk
jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”
Pasal 8 ayat (1) huruf i
Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mewajibkan pelaku usaha untuk
memberikan informasi yang lengkap dan akurat pada produk yang mereka produksi
dan/atau perdagangkan, termasuk “nama barang, ukuran, berat/isi bersih, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain yang harus dicantumkan sesuai ketentuan.” (Wahjuni et al., 2023)
1.
Nama Barang
Label harus
dicantumkan pada kemasan produk oleh setiap pelaku usaha pangan olahan sebelum
produk tersebut diedarkan ke masyarakat. Pengemasan produk pangan dilakukan
untuk melindungi makanan dari kerusakan, kotoran, dan mikroorganisme patogen.
Label harus dicantumkan sesuai ketentuan yang berlaku dan harus memuat
informasi minimal seperti nama produk, yang mencakup nama jenis pangan olahan
dan nama dagang. Nama jenis pangan olahan harus menunjukkan karakteristik
spesifik produk sesuai kategori pangan, sementara“nama dagang dapat berupa
gambar, kata, huruf, angka, susunan warna, dan/atau bentuk lain yang memiliki
daya pembeda.”
a.
Unsur-Unsur Nama Barang/Nama Produk/Label
Produk/Branding(Pangestika, 2022)
1)
Nama Merek: Elemen pertama dalam proses
branding yang memberikan identitas pada produk.
2)
Logo: Penting untuk memperhatikan“keunikan
dan citra yang sesuai dengan brand.”Logo bisa berupa logotype, monogram, atau
bendera.
3)
Tampilan Visual: Diterapkan pada desain
produk, kemasan, seragam, dan lain-lain. Warna-warna cerah atau elegan dapat
meningkatkan citra produk.
4)
Penggunaan Juru Bicara:“Co-founder
perusahaan, maskot, tokoh perusahaan, atau orang terkenal dapat diundang untuk
bekerja sama dalam meningkatkan pemasaran produk”sebagai juru bicara.
5)
Suara (Lagu Tematik): Lagu tematik
memadukan elemen visual dan menjadikan lebih indah serta mudah dihapal.
6)
Kata-kata (Slogan, Tagline, Jingle,
Akronim):“Slogan yang cerdas dapat meninggalkan kesan mendalam.”Gunakan
kata-kata yang ceria, positif, mudah diingat, dan berbeda dari brand lain.
b.
Jenis-Jenis Nama Barang/Nama Produk/Label
Produk/Branding(Agra, 2022)
1)
Label Merek: Tulisan atau logo yang
menunjukkan identitas perusahaan dan membedakan merek tersebut dari yang lain.
2)
Label Produk: Berisi informasi lengkap
terkait produk seperti bahan baku, negara asal, tanggal pembuatan, dan
informasi penting lainnya.
3)
Label Tingkat: Menunjukkan ukuran atau
tingkatan produk, seperti ukuran pakaian atau celana.
4)
Label Deskriptif: Memberikan informasi
tambahan mengenai produk, seperti "Tanpa bahan pengawet" atau
"Dibuat 100% dari bahan organik."
c.
Fungsi dan Tujuan Nama Barang/Nama
Produk/Label Produk/Branding(Pangestika, 2022)
1)
Sebagai Pembeda: Memudahkan pembeda antara
produk yang satu dengan yang lain.
2)
Promosi dan Daya Tarik: Mempermudah
promosi karena pelanggan cenderung loyal terhadap brand yang sudah dikenal
baik.
3)
Membangun Citra: Membantu menampilkan
citra positif, keyakinan pembeli, terjaminannya kualitas, dan prestise.
4)
Pengendali Pasar: Brand yang dikenal luas
dapat mengendalikan pasar karena sudah memiliki reputasi yang kuat di mata
masyarakat.
2. Ukuran
Ukuran barang
harus dicantumkan agar konsumen mengetahui dimensi fisik produk. Ini penting
dalam manajemen persediaan, logistik, distribusi, dan penjualan di berbagai
industri (Martono, 2018). Beberapa jenis
satuan barang yang umum digunakan adalah:
a.
Unit: Ukuran paling dasar dari suatu
barang.
b.
Karton atau Boks: Kemasan yang digunakan
untuk mengemas beberapa unit barang.
c.
Dus atau Paket: Satuan yang lebih besar
dari karton untuk pengiriman dan penyimpanan.
d.
Palet: Platform datar yang digunakan untuk
menumpuk dan mengangkut barang.
e.
Meter Persegi atau Meter Kubik: Digunakan
untuk barang-barang yang diukur berdasarkan dimensi ruang.
f.
Berat (Kilogram, Pon, dll.): Digunakan
untuk mengukur barang-barang yang dijual atau dikirim berdasarkan beratnya.
g.
Satuan Jual (Kemasan Ritel): Mengacu pada
cara barang dijual kepada konsumen.
3.
Berat/Isi Bersih atau Netto
Neto adalah berat
bersih dari suatu barang tanpa kemasannya. Penting untuk dicantumkan pada
kemasan produk untuk memberikan informasi kuantitatif tentang produk yang
dibeli oleh konsumen. Informasi ini membantu konsumen mengetahui berapa banyak
produk yang mereka dapatkan tanpa mempertimbangkan kemasan, serta mempengaruhi
keputusan pembelian dan strategi penetapan harga.
4.
Komposisi
Komposisi
atau daftar bahan-bahan yang digunakan dalam produk pangan harus dicantumkan
secara lengkap pada label kemasan (Chotim & Subhan, 2014). Ini penting
untuk memberikan transparansi dan memastikan bahwa konsumen dapat membuat
keputusan yang tepat mengenai apa yang mereka makan, serta membantu konsumen
dengan alergi atau preferensi diet khusus.
5.
Aturan Pakai
Aturan
pakai atau petunjuk penggunaan harus disertakan pada label produk pangan untuk
memastikan penggunaan produk dengan benar dan aman. Ini mencakup proses
persiapan, cara penyimpanan, dan instruksi penggunaan yang sesuai, serta
peringatan khusus untuk menghindari risiko tertentu.
6.
Tanggal Pembuatan
Tanggal dan kode
produksi pada label produk pangan memberikan informasi tentang riwayat produksi
dan memastikan transparansi bagi konsumen mengenai umur dan kualitas produk.
Tanggal kedaluwarsa juga penting untuk memastikan keamanan konsumsi.
7.
Akibat Sampingan
Pencantuman
informasi mengenai akibat samping atau efek samping dari produk adalah penting
untuk memastikan bahwa konsumen menerima informasi yang lengkap dan tidak
menyesatkan (Harahap, 2019). Hal ini
diatur dalam regulasi yang berlaku untuk obat-obatan dan kosmetik.
8.
Nama dan Alamat Pelaku Usaha
Pencantuman
nama dan alamat produsen atau pelaku usaha pada produk adalah penting untuk
menjamin tanggung jawab dan transparansi. Ini memberikan konsumen akses
langsung ke informasi yang mereka butuhkan jika terjadi masalah terkait produk.
9.
Keterangan Lain
a.
Sertifikasi Produk: Memberikan nilai
tambah bagi bisnis dan keamanan yang lebih terjamin bagi konsumen. Sertifikasi
menunjukkan bahwa produk telah memenuhi standar tertentu.
b.
Perbedaan Sertifikasi Produk dan Pengujian
Produk: Sertifikasi melibatkan penilaian terhadap pemenuhan syarat-syarat yang
mengacu pada standar, sementara pengujian produk melibatkan evaluasi kualitas
dan keselamatan produk berdasarkan pengujian laboratorium.
Sengketa Konsumen:
Sengketa konsumen terjadi
antara pelaku usaha dan konsumen yang merasa dirugikan oleh barang atau jasa
yang dikonsumsi (Hamzani, 2011).“Hak untuk
menggugat pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau
peradilan umum diberikan kepada konsumen oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen”(UUPK).
Metode Penyelesaian Sengketa:
1.
Di Luar Pengadilan:
a.
BPSK: Melalui konsiliasi, mediasi, atau
arbitrase.
b.
Forum Alternatif: Negosiasi, konsultasi,
penilaian ahli.
2.
Di Pengadilan:
a.
Melalui pengadilan negeri, mengikuti hukum
acara perdata yang berlaku (HIR untuk Jawa-Madura, RBg untuk luar Jawa-Madura).
3.
Proses Penyelesaian:
a.
Langkah Awal: Upaya damai harus
diutamakan.
b.
Jika Gagal: Konsumen dapat membawa kasus
ke BPSK atau pengadilan.
c.
Hak Menggugat: Konsumen yang dirugikan,
ahli waris, kelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen, atau pemerintah.
4.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha:
a.
Pasal 19 UUPK: Pelaku usaha wajib
memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen dalam waktu tujuh hari.
b.
Pasal 28 UUPK: Pelaku usaha harus
membuktikan tidak adanya kesalahan untuk bebas dari tanggung jawab.
5.
Konsumen Rokok Elektrik:
a.
Konsumen yang dirugikan oleh rokok
elektrik dapat menuntut ganti rugi melalui BPSK atau pengadilan negeri, baik
secara individu maupun class action, sesuai dengan Pasal 45 UUPK.
Wewenang untuk
mengawasi dan menindak produk rokok elektrik“yang tidak memenuhi standar
keamanan dan informasi produk dimiliki oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan”(BPOM) yang dijalankan oleh pemerintah (BPOM, 2016).
Berdasarkan“Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen,”BPOM dapat menggunakan Pasal 61 dan Pasal 62 untuk menuntut pidana
terhadap“pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang terlibat dalam
pelanggaran,”seperti ketidakpatuhan terhadap ketentuan keamanan produk atau
informasi produk yang jelas kepada konsumen. Sanksi termasuk“pidana penjara
maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp. 2.000.000.000,00
KESIMPULAN
Undang-Undang“Perlindungan
Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) adalah memberikan landasan hukum yang kuat untuk
melindungi hak-hak konsumen”di Indonesia. UU ini “menegaskan hak konsumen untuk
mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk atau jasa
yang mereka beli.” Selain itu, UU ini juga mengatur “kewajiban pelaku usaha
untuk memberikan informasi yang akurat serta mengatur sanksi pidana bagi
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut.”
Dalam konteks
penggunaan produk rokok elektrik,“BPOM memiliki peran penting dalam memastikan
bahwa produk tersebut memenuhi standar keamanan yang ditetapkan.”Jika terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan keamanan atau informasi produk, BPOM dapat
melakukan pengawasan dan menindak pelaku usaha sesuai dengan UU Perlindungan
Konsumen. Ini mencakup kemungkinan pidana penjara atau denda yang signifikan
sebagai sanksi.
Dengan demikian, UU
Perlindungan Konsumen bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara“hak dan
kewajiban konsumen serta pelaku usaha,”serta memastikan bahwa konsumen
dilindungi dari praktik perdagangan yang merugikan.
BIBLIOGRAFI
Agra. (2022). Ada 4 Jenis Label Produk Yang Sering Kita
Jumpai, Intip Kegunaannya.
Bpom, R. I. (2016). Standar Keamanan Dan Mutu Minuman
Beralkohol. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Ri Nomor, 14,
1–17.
Chotim, M., & Subhan, M. (2014). Evaluasi Penulisan Label
Pangan Yang Tidak Lengkap Dan Iklan Pangan Menyesatkan Pada Industri Rumah
Tangga Pangan Di Kabupaten Temanggung Tahun 2013. Jurnal Riset Manajemen
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Wiwaha Program Magister Manajemen, 1(1),
78–92.
Ekawati, D., & Dermawan, E. S. (2019). Analisis
Implementasi Kebijakan Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan Peringatan
Kesehatan Pada Kemasan Rokok. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: Jkki,
81–94.
Hamzani, A. I. (2011). Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Luar
Pengadilan Menurut Undang-Undang Ri Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen; Tinjauan Hukum Islam. Sosekhum, 7(10).
Harahap, A. R. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Akibat Iklan Yang Menyesatkan. Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara.
Hijawati, H. (2020). Peredaran Obat Illegal Ditinjau Dari
Hukum Perlindungan Konsumen. Solusi, 18(3), 394–406.
Martono, R. (2018). Manajemen Logistik. Gramedia
Pustaka Utama.
Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi.
Prenada Media.
Mayana, R. F. (2017). Perlindungan Merek Non Tradisional
Untuk Produk Ekonomi Kreatif Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek, Indikasi Geografis Dan Perspektif Perbandingan Hukum. Jurnal
Bina Mulia Hukum, 2(1), 26–41.
Nabila, T., & Sakti, M. (2023). Perlindungan Konsumen
Atas Iklan Produk Rokok Sebagai Upaya Menurunkan Prevalensi Perokok Anak. Jurnal
Interpretasi Hukum, 4(2), 367–376.
Pangestika, W. (2022). Branding: Unsur, Jenis, Tujuan, Dan
Manfaatnya Yang Harus Anda Ketahui.
Prayogo, F. T. (2017). Legalitas Peredaran Cairan Rokok
Elektrik (Liquid) Dalam Tinjauan Maqashid Syariah. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim.
Samosir, A. (2018). Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang
Dilakukan Badan Penyelesaian Perlindungan Konsumen. Legal Standing: Jurnal
Ilmu Hukum, 2(2), 133–142.
Suryani, Y. I. (2020). Pelaksanaan Pengawasan Produk
Pangan Dalam Kemasan Kategori “Md” Oleh Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan
(Bbpom) Di Semarang Sebagai Upaya Pemenuhan Hak Konsumen Atas Kesehatan Di Kota
Semarang. Unika Soegijapranata Semarang.
Wahjuni, E., Adonara, F. F., & Kurniawati, E. (2023).
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Produk Kosmetik Dengan
Sistem Share In Jar. Jurnal Rechtens, 12(2), 157–176.
Wulansari, S. (2021). Pengaruh Ekuitas Merek, Harga, Dan
Distribusi Terhadap Trend Keputusan Pembelian Rokok Elektrik (Vape) Di Kalangan
Mahasiswa Di Kota Palangka Raya. Iain Palangka Raya.