PERAN ANAK SEBAGAI PELAKU PASIF DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

 

Yuli Kurniati1, Wiwik Afifah2

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya1,2

yulikurniaa5@gmail.com1, wiwik4fifah@gmail.com2

Keywords

Abstract

Money Laundering, Passive Child Offenders, Juvenile Criminal Justice System

This research examines complex issues related to the role of children as passive perpetrators in money laundering crimes in Indonesia, a phenomenon that is increasingly disturbing and requires serious attention from various parties. By using a comprehensive normative juridical method, this research carries out an in-depth analysis of various related legal and social aspects. The research results show that the criminal responsibility of children as passive perpetrators in money laundering cases has different nuances, depending on the child's age and various other factors, as regulated in Law no. 11 of 2012. This research reveals that handling cases of this kind requires a very careful and multidimensional approach, taking into account not only legal aspects, but also psychological factors and the best interests of the child. Furthermore, this research emphasizes the importance of a juvenile criminal justice system that prioritizes the principles of restorative justice. In conclusion, handling money laundering cases involving children as passive perpetrators requires a very careful and comprehensive approach, taking into account various complex and interrelated aspects, in order to achieve true justice and optimal protection for the children involved.

Kata Kunci

Abstrak

Pencucian Uang, Anak Pelaku Pasif, Sistem Peradilan Pidana Anak

Penelitian ini mengkaji permasalahan kompleks terkait peran anak sebagai pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia, sebuah fenomena yang semakin meresahkan dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Dengan menggunakan metode yuridis normatif yang komprehensif, penelitian ini melakukan analisis mendalam terhadap berbagai aspek hukum dan sosial yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana anak sebagai pelaku pasif dalam kasus pencucian uang memiliki nuansa yang berbeda-beda, tergantung pada usia anak dan berbagai faktor lainnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012. Penelitian ini mengungkapkan bahwa penanganan kasus-kasus semacam ini memerlukan pendekatan yang sangat hati-hati dan multidimensi, dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek hukum, tetapi juga faktor psikologis dan kepentingan terbaik anak. Lebih lanjut, penelitian ini menekankan pentingnya sistem peradilan pidana anak yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Kesimpulannya, penanganan kasus pencucian uang yang melibatkan anak sebagai pelaku pasif membutuhkan pendekatan yang sangat cermat dan komprehensif, dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang kompleks dan saling terkait, demi tercapainya keadilan yang sebenar-benarnya dan perlindungan optimal bagi anak-anak yang terlibat.

Corresponding Author:Yuli Kurniati

Yulikurniaa5@gmail.com

 

 

 

PENDAHULUAN

Perbuatan kriminal korupsi di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, merusak tujuan kehidupan bernegara, dan mengancam stabilitas serta keamanan masyarakat. Dalam era reformasi, korupsi menjadi masalah serius yang membuat berbahaya pembangunan ekonomi, sosial, politik, serta moralitas demokrasi dan moralitas. Korupsi telah menjadi budaya yang mengancam keinginan masyarakat yang adil dan sejahtera, sehingga pemberantasannya menjadi prioritas dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana diatur di Pasal 25 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001.

Tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait erat dengan korupsi, judi, penggelapan, dan pembelian saham. UU No. 8 Tahun 2010 menjelaskan bahwa TPPU adalah tindakan yang melengkapi unsur pidana berdasar ketentuan hukum. TPPU dianggap sebagai kejahatan kerah putih yang sulit dibuktikan(Ifrani, 2018), tetapi berdampak besar terhadap ekonomi, mengganggu integritas pasar keuangan, dan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.(Probojati et al., 2022)

Contoh kasus besar adalah PT Jiwasraya, di mana beberapa petinggi didakwa dengan TPPU, menyebabkan kerugian negara sekitar 16 triliun rupiah dan gagal membayar klaim nasabah. Kasus lain melibatkan Andhi Pramono, eks Kepala Kantor Bea Cukai Makassar, yang diduga menerima gratifikasi sebesar 28 miliar rupiah dan melakukan TPPU dengan membeli berlian, polis asuransi, dan properti.

Subjek TPPU mencakup orang perseorangan dan korporasi, sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010. Korporasi didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berbadan hukum maupun tidak.(Bidang et al., 2021). Tindak pidana pencucian uang sering melibatkan pelaku aktif yang menyembunyikan hasil kejahatan dengan melibatkan pihak lain, termasuk anak-anak sebagai pelaku pasif. Pelaku utama menggunakan transaksi keuangan kompleks untuk menyamarkan asal usul dana, memperumit pelacakan audit. Menurut Pasal 5 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010, pelaku pasif dapat dipidana jika mengetahui atau patut menduga dana berasal dari tindak pidana.

Pengaturan ini menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai sejauh mana dugaan tersebut harus dilakukan. Anak sebagai pelaku pasif dalam pencucian uang menuntut penelusuran lebih lanjut terhadap harta kekayaan hasil kejahatan(Talaohu et al., 2023). Namun, tidak ada pengaturan eksplisit tentang kecakapan anak dalam melakukan tindak pidana. UU No. 1 Tahun 2023 menyatakan anak di bawah 12 tahun tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sementara UU No. 11 Tahun 2012 mengatur bahwa anak yang berusia 12-18 tahun dapat diperkirakan melaksanakan tindak pidana.(Abia & Wirasila, 2018)

Sebagai pihak yang rentan, anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjamin “hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Sistem peradilan pidana anak sebagai lex specialis bertujuan menciptakan keadilan restoratif. Meski aturan ada, penegakan hukum terhadap pencucian uang oleh anak sebagai pelaku pasif masih lemah.(Jufri Ahmad, 2011)

Pencucian uang sering terjadi dalam keluarga, di mana anak sebagai penerima harta mungkin tidak mengetahui asal usul dana tersebut, sehingga menjadi pelaku pasif. Ini menjadi polemik terkait hak anak dalam sistem peradilan, termasuk hak untuk diversi, karena pencucian uang bukan tindak pidana ringan. Analisis tentang tanggung jawab anak sebagai pelaku pasif dalam perbuatan kriminal pencucian uang menjadi penting, termasuk kemungkinan penerapan diversi dan pembuktian tindak pidana tersebut.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif, berfokus pada kajian landasan hukum, tatanan hukum, derajat konsistensi hukum, perkembangan hukum, dan komparasi hukum terkait peran anak dalam tindak pidana pencucian uang. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, terutama mengacu pada UU No. 8 Tahun 2010 dan UU No. 11 Tahun 2012. Sumber data terdiri dari sumber hukum utama (regulasi dan undang-undang), sumber hukum pendukung (buku, artikel jurnal, hasil penelitian), dan sumber hukum pelengkap (kamus hukum, ensiklopedia). Data dikumpulkan melalui studi pustaka serta pencatatan. Pengolahan data dilakukan secara preskriptif dengan pendekatan preskriptif-analitis, meliputi identifikasi fakta dan masalah hukum, pengumpulan bahan hukum, penelusuran masalah hukum, interpretasi dan analisis sistematis, serta penarikan kesimpulan. Penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman komprehensif tentang peran anak sebagai partisipan pasif dalam kejahatan pencucian uang di Indonesia, dengan fokus pada aspek pertanggungjawaban pidana dan penerapannya yang beragam.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Anak Sebagai Pelaku Pasif Dalam Pencucian Uang Dapat Dilakukan Diversi

Tindak Pidana Pencucian Uang

            Perbuatan kriminal pencucian uang dinilai sebagai kejahatan yang extrem memerlukan penanganan khusus, termasuk penyidik ​​dan penuntutan tanpa harus dibuktikan perbuatan kriminal mulanya terlebih dahulu, sesuai UU No. 8/2010. Pencucian uang dimungkinkan pelaku kejahatan tersembunyinya asal usul aset yang dihasilkan dari kejahatan, sehingga terlihat legal. Berbeda dengan kejahatan konvensional, pencucian uang berdampak luas pada ekonomi negara, termasuk merebaknya sektor swasta, mengganggu keutuhan pasar keuangan, menempatkan privatisasi BUMN dalam risiko, merusak kepercayaan pasar, serta menyebabkan pengeluaran sosial dan risiko ekonomi (Dewi, 2001).

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU No. 15/2003) tidak menjelaskan secara langsung pencucian uang. Kita dapat mengamati ini dalam pengaturan pencucian uang pertama di Indonesia hanya menjelaskan pencucian uang melalui bentuk kejahatannya, yaitu seperti dalam pasal 1:

“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang-kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.”

Dalam hal anak menerima atau membelanjakan hasil pencucian uang, anak dapat dikatakan atau dikualifikasikan Sebagai pelaku yang tidak aktif di dalam kejahatan pencucian uang sesuai dengan pasal 1 UU No. 15/2003 tentang Tindak Pidana Money Laundry. Selain dalam Pasal 5 disebutkan bahwa

“setiap orang yang menerima atau membelanjakan harta kekayaan dan patut diduga merupakan hasil tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Adapun dalam UU No. 8/2010 tersebut yang mengatur mengenai jenis-jenis kejahatan yang dimaksud diatur dalam Pasal 5. Berikut isi dari Pasal 5 Ayat (1):

“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dan dalam Ayat (2):

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Diversi dapat diberikan kepada anak yang berusia antara 12 hingga 18 tahun dan menghadapi ancaman pidana di bawah 7 tahun. Dalam konteks kejahatan pencucian uang, seorang anak yang terlibat sebagai pelaku pasif bisa mendapatkan diversi, berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang menetapkan hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda sampai Rp. 1 miliar.

Indonesia tidak memberikan definisi yang spesifik tentang kejahatan pencucian uang. Hal ini memudahkan dalam mengakomodasi berbagai bentuk kejahatan pencucian uang yang terus berubah sejalan dengan perkembangan teknologi dan metode kriminal. Dengan demikian, perubahan dan evolusi cara-cara kejahatan pencucian uang semakin sederhana diakomodasi. Meski demikian, filosofi dari TPPU tetap terlihat jelas yaitu upaya untuk mengaburkan asal muasal aset yang diperoleh secara ilegal agar tampak legal.

Hubungan hukum dalam tindak pidana bergantung pada keadaan yang diatur oleh undang-undang. Dalam tanggung jawab pidana, unsur "kesalahan" tidak dapat diabaikan. Unsur ini mencakup:

a.    Kondisi mental individu yang melakukan tindakan.

b.    Korelasi antara kondisi mental dan tindakan sehingga orang tersebut dapat dicela.

Kedua unsur ini dikenal sebagai kesalahan karena kedekatannya. Asas legalitas menyatakan bahwa suatu perbuatan dianggap melanggar hukum jika sudah ada peraturan yang melarangnya dan disertai sanksi. Menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP, seseorang baru dapat disebutkan melakukan tindak pidana jika Tindakannya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang pidana.

Kejahatan pencucian uang terbagi menjadi dua bentuk:

1.       Tindak pidana pencucian uang aktif melibatkan tindakan langsung seperti menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, atau menyembunyikan asal-usul kekayaan yang diketahui atau diperkirakan berasal dari tindak pidana.

2.       Tindak pidana pencucian uang pasif melibatkan menerima atau menguasai kekayaan yang diketahui atau diduga kuat berasal dari kejahatan.

Seorang pelaku pasif dianggap terlibat jika ia menyadari atau seharusnya menduga bahwa dana tersebut berasal dari tindak kriminal. Dalam hal ini, Partisipasi anak sebagai pelaku pasif dapat dihubungkan dengan respons psikologis dan kesadaran pribadi terhadap tindakan itu.

Variasi dapat diterapkan pada anak usia 12-18 tahun yang dalam keterlibatan perbuatan kriminal pencucian uang pasif, karena ancaman hukumannya di bawah 7 tahun. Undang-undang Indonesia berfokus pada penjelasan bentuk-bentuk tindak pidana pencucian uang, bukan definisi eksplisit, untuk mengakomodasi perkembangan modus operandi.

Pertanggungjawaban pidana mempertimbangkan unsur kesalahan dan keadaan batin pelaku. Asas legalitas menjadi dasar istilah tindak pidana. Ada dua bentuk tindak pidana pencucian uang: aktif (pelaku langsung) dan pasif (penerima atau pengguna hasil pencucian uang) (Prasetyo, 2011). Keterlibatan anak sebagai pelaku pasif terkait dengan respons psikologis dan pemahaman individu terhadap tindakan tersebut.

Pertanggungjawaban Anak Sebagai Pelaku Pasif

            Pertanggungjawaban adalah hubungan sebab-akibat dari sebuah peristiwa hukum, di mana tanggung jawab timbul akibat perbuatan hukum dari subjek hukum yang memberikan dampak tertentu. Setiap individu, termasuk anak-anak, yang melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan dampak hukum negatif seperti kesalahan, pelanggaran, atau kejahatan, memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Tanggung jawab ini berlaku untuk semua, tanpa pengecualian, meskipun kapasitas dan porsi tanggung jawab berbeda sesuai dengan usia dan status hukum.

Pertanggungjawaban hukum terkait anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana mencakup konsep actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat). Anak-anak dianggap bertanggung jawab berdasarkan kematangan psikologis dan kapasitasnya. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pertanggungjawaban anak dibagi sebagai berikut:

1.       Di bawah 12 tahun: Tidak dapat dikenai tanggung jawab pidana dan diserahkan kembali kepada orang tua atau wali.

2.       12-14 tahun: Hanya dapat dikenakan tindakan non-penal, seperti pendidikan atau rehabilitasi.

3.       14-18 tahun: Dapat dikenakan pidana anak sesuai dengan undang-undang.

Sistem ini menekankan penyelesaian konflik di luar pengadilan, dengan tujuan menghindari stigmatisasi anak. Prinsip-prinsipnya meliputi:

1.       Mendorong anak bertanggung jawab.

2.       Memfasilitasi rekonsiliasi antara pelaku dan korban.

3.       Mengedepankan keadilan dan kepentingan terbaik anak.

Kasus anak tidak semuanya terselesaikan dengan diversi; hanya kasus dengan ancaman pidana di bawah 7 tahun. Diversi bertujuan menciptakan damai dan mencegah pelanggaran lebih lanjut.

Actus reus adalah unsur objektif dari sebuah tindakan, sedangkan mens rea adalah unsur subjektifnya. Pemberian tanggung jawab pidana kepada anak harus mempertimbangkan kemajuan serta kebutuhan terbaik bagi anak di masa depan. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memiliki unsur-unsur yang mirip dengan tindak pidana lainnya, baik unsur subjektif maupun objektif. TPPU dapat digolongkan menjadi dua: TPPU aktif dan TPPU pasif, yang masing-masing memiliki pelaku aktif dan pasif. Kesalahan actus reus berhubungan dengan pelanggaran standar etis yang diformulasikan dalam undang-undang, sedangkan kesalahan mens rea berhubungan dengan sikap batin pelaku yang diukur menurut nilai-nilai masyarakat.

Keadaan struktur sosial dan budaya dapat menyebabkan delinkuensi atau kenakalan anak. Delinkuensi lebih tepat disebut sebagai kenakalan anak daripada kejahatan, mengingat masa peralihan menjelang kedewasaan yang dialami anak. Ada dua kategori perilaku anak yang menyebabkan konflik dengan hukum: Status of Offender (perilaku yang tidak dianggap sebagai pelanggaran jika dilakukan oleh orang dewasa) dan Juvenile Delinquency (perilaku yang diperlakukan sebagai tindak pidana jika dilakukan oleh orang dewasa) (Kamil, 2013).

Pelaksanaan diversi dan keadilan restoratif mendukung perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum. Prinsip utama dari keduanya adalah menghadirkan pelaku dalam sistem hukum resmi dan memberi peluang bagi anak untuk menjalani sanksi pengganti tanpa pidana penjara. Diversi mencegah anak terstigmatisasi akibat proses peradilan dan sesuai dengan Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice. Diversi sistem keadilan restoratif yang mendorong akuntabilitas anak atas tindakannya, memberikan peluang bagi anak untuk memperbaiki kesalahannya, dan melibatkan korban dalam proses.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur usia pertanggungjawaban pidana anak. Anak di bawah usia 12 tahun tidak dapat dipidanakan dan harus dikembalikan kepada orang tua atau wali. Anak berusia 12-14 tahun hanya dapat diberlakukan tindakan, sementara anak berusia 14-18 tahun dapat dijatuhi pidana anak. Penetapan usia ini berdasarkan pada pertimbangan psikologis dan kematangan emosional, intelektual, serta mental anak.

Dalam penanganan kenakalan anak, pendekatan penanganannya berbeda dengan orang dewasa, memerlukan langkah-langkah penal maupun non-penal yang terintegrasi dengan politik kesejahteraan masyarakat dan perlindungan hak-hak anak. Diversi bertujuan untuk memediasi perdamaian antara pelaku dan korban serta memberikan kesempatan bagi anak untuk memperbaiki kesalahan tanpa terlibat dalam proses hukum yang lebih berat (Purwati & Alam, 2015).

Keterlibatan Anak Sebagai Pelaku Pasif

            Penentuan keterlibatan anak sebagai pelaku pasif dalam tindak pidana perlu ditinjau dari kronologi fakta yang konkret. Hal ini untuk memastikan apakah anak tersebut benar-benar tidak sengaja terlibat dalam tindak pidana atau sebenarnya sengaja terlibat tetapi dirancang sebagai pelaku pasif (Devi, 2014). Dalam hukum pidana, terdapat beberapa pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk menilai keterlibatan sebagai pelaku pasif, salah satunya adalah:

a.       Teori Netralisasi

Menurut teori netralisasi, pelaku pasif seringkali menggunakan teknik netralisasi seperti “deny of responsibility” (penyangkalan tanggung jawab). Mereka mungkin mengklaim bahwa tindakan melanggar hukum yang mereka lakukan bukanlah kesalahan mereka sendiri. Teori ini menguraikan bahwa pelaku pasif membantah tanggung jawab dengan alasan tindakan tak disengaja atau diluar kendali, merasa sebagai korban keadaan atau lingkungan.

Teori netralisasi menggambarkan bahwa pelaku kejahatan menggunakan dalih pembenaran untuk menetralisir rasa bersalah mereka, seperti "Saya tidak bermaksud melakukannya," atau "Saya tidak melakukannya untuk diri saya sendiri." Dengan demikian, mereka dapat melakukan kejahatan tanpa rasa bersalah atau bahkan tanpa penyesalan menyadari bahwa mereka terlibat dalam kejahatan tersebut (Prayitno, 2012).

b.       Unsur Pelaku Pasif dalam Pasal 5 UU No. 8/2010

Pasal 5 UU No. 8/2010 menjelaskan beberapa tolok ukur untuk menentukan keterlibatan pelaku pasif:

a.       Setiap Orang: Mengacu pada siapa saja yang terlibat dalam tindak pidana ini.

b.       Menerima atau Menguasai Harta Kekayaan: Meliputi menerima, mentransfer, membayar, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau penggunaan harta kekayaan.

c.       Patut Diduga: Kondisi di mana pelaku seharusnya memiliki pengetahuan, keinginan, atau tujuan saat melakukan transaksi yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum.

Konsep "patut diduga" mencakup kealpaan atau culpa, di mana pelaku tidak memiliki niat untuk melakukan pencucian uang tetapi tetap bersalah karena tidak menerapkan prinsip tersebut. Ini mencakup pengetahuan yang seharusnya dimiliki pelaku berdasarkan pendidikannya, pergaulan, atau latar belakang keluarga (Fauzi et al., 2013).

Dalih bahwa pelaku pasif tidak terlibat langsung atau tidak mengetahui asal usul harta sering digunakan untuk membenarkan tindakan mereka dan menghindari sanksi hukum. Namun, pelaku pasif tetap harus ditindak tegas secara hukum untuk mencegah adanya kesempatan bagi pelaku utama dalam mengalirkan dana hasil kejahatan.

c.       Kondisi Mental Anak

Analisis keterlibatan anak sebagai pelaku pasif juga perlu mempertimbangkan kondisi mental anak sebelum dan sesudah peristiwa pidana. Misalnya, gangguan mental seperti kleptomania, di mana individu mencuri barang tanpa memikirkan konsekuensinya, bisa menjadi faktor.(Citra & Hapsari, 2023) Pengidap kleptomania mencuri untuk kepuasan batin mereka, seringkali tanpa melihat nilai ekonomi barang tersebut.

Meskipun pengidap gangguan mental tetap bisa bertanggung jawab atas tindakannya, mereka biasanya hanya bertanggung jawab sebagian. Diagnosa gangguan mental memerlukan observasi psikiatri forensik yang berlangsung antara dua minggu hingga tiga bulan di rumah sakit jiwa untuk menentukan apakah seseorang memiliki gangguan mental.

Anak dengan gangguan mental, seperti kleptomania, memiliki potensi terlibat dalam kejahatan pencucian uang sebagai pelaku pasif, terutama jika berada di lingkungan yang tidak sehat. Pelaku aktif dapat memanfaatkan kondisi mental anak ini untuk memperlancar tindakan pidana mereka. Dengan melibatkan anak yang memiliki gangguan mental, pelaku aktif bisa menggunakan kondisi anak tersebut sebagai dalih tidak bersalah atau ketidaksengajaan jika perbuatan mereka terungkap oleh penegak hukum.

Kleptomania adalah gangguan mental di mana penderita memiliki dorongan kuat untuk mencuri barang milik orang lain demi memenuhi kebutuhan pribadi. Anak dengan kleptomania mungkin tidak memahami nilai dari harta yang mereka miliki atau cara menggunakannya. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku aktif dalam tahapan pencucian uang (penempatan, pelapisan, integrasi), di mana anak dengan kleptomania hanya tertarik untuk memiliki kekayaan tanpa mengonsumsinya, sehingga harta tersebut tetap utuh dan menguntungkan pelaku aktif.

Dalam konteks penerapan diversi, pelaksanaan hak-hak anak merupakan bagian dari prinsip-prinsip hak asasi manusia (Aqsa et al., 2012). Anak merupakan generasi masa depan bangsa, termasuk anak dengan disabilitas. Disabilitas dapat dibagi menjadi beberapa jenis:

a. Disabilitas fisik: Ketidakmampuan dalam fungsi gerak tubuh.

b. Disabilitas intelektual: Keterbatasan kecerdasan di bawah rata-rata.

c. Disabilitas mental: Gangguan dalam fungsi berpikir, emosi, dan perilaku.

d. Disabilitas sensorik: Ketidakmampuan dalam fungsi panca indera.

e. Disabilitas ganda/multi: Kombinasi dua atau lebih jenis disabilitas.

Anak dengan disabilitas mental melakukan pelanggaran hukum mungkin tidak dikenakan pidana atau dibebaskan dari hukuman jika hasil pemeriksaan kesehatan jiwa menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya (Pradana, 2015). Jika pemeriksaan kesehatan jiwa menunjukkan bahwa anak tidak mampu bertanggung jawab secara hukum karena kondisi mentalnya, maka mereka bisa dibebaskan dari tuntutan pidana. Hakim dapat memerintahkan agar anak tersebut ditempatkan di rumah sakit jiwa untuk percobaan yang berlangsung paling lama satu tahun.

 

KESIMPULAN

Tindak kriminal korupsi dan pencucian uang merupakan masalah serius di Indonesia yang berdampak luas pada stabilitas ekonomi dan sosial negara. Undang-undang telah dibuat untuk menangani kejahatan ini, termasuk UU No. 8 Tahun 2010 yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang. Dokumen ini juga membahas keterlibatan anak sebagai pelaku tidak aktif dalam tindak kriminal pencucian uang, yang menimbulkan pertanyaan tentang pertanggungjawaban pidana dan penerapan yang berbeda. Sistem peradilan pidana anak di Indonesia membedakan pertanggungjawaban berdasarkan usia, dengan fokus pada keadilan restoratif dan kepentingan anak terbaik. Dalam menentukan keterlibatan anak sebagai pelaku pasif, perlu dilakukan penelusuran menyeluruh terhadap kasus, termasuk mempertimbangkan kondisi mental anak. Berbagai penerapan dimungkinkan untuk anak berusia 12-18 tahun dalam kasus pencucian uang pasif, mengingat ancaman hukumannya di bawah 7 tahun. Kesimpulannya, penanganan kasus pencucian uang yang melibatkan anak sebagai pelaku pasif memerlukan pendekatan yang hati-hati dan komprehensif, dengan mempertimbangkan aspek hukum, psikologis, dan kepentingan anak terbaik.

 

BIBLIOGRAFI

Abia, F. Junus P., & Wirasila, A. N. (2018). Pengaturan Hak Hak Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perundang-Undangan. Jurnal Harian Regional.

Aqsa, A., Gurning, E. H., Yonesta, F., Isnur, M., Hutabarat, R. F., Untoro, V., & Tobing, T. A. M. (2012). Mengawal Perlindungan Anak Berhadap Dengan Hukum: Pendidikan Dan Laporan Monitoring Paralegal Lbh Jakarta Untuk Anak Berhadapan Dengan Hukum. Jakarta Legal Aid Institute.

Bidang, J. P., Nasichin, M., & Putri Nofita, N. (2021). Jurnal Pro Hukum: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. 10, 36–45.

Citra, N. S., & Hapsari, I. P. (2023). Alasan Pemaaf Yang Dijadikan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menuntut Anak Sebagai Pelaku Kleptomania Di Indonesia. Unes Law Review, 6(1), 2831–2839. Https://Doi.Org/10.31933/Unesrev.V6i1.1060

Devi, C. P. P. (2014). Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam.

Dewi, E. (2001). Tindak Pidana Pencucian Uang Erna Dewi Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Jl.Soemantri Brojonegoro No.1 Rajabasa Bandar Lampung. 1.

Fauzi, F. Y., Arianto, I., & Solihatin, E. (2013). Peran Guru Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Dalam Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik. Jurnal Ppkn Unj Online, 1(2), 1–15.

Ifrani, I. (2018). Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa. Al-Adl: Jurnal Hukum, 9(3), 319–336.

Jufri Ahmad, M. (2011). Perlindungan Anak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Dih: Jurnal Ilmu Hukum, 7(13), 45–56. Https://Doi.Org/10.30996/Dih.V7i13.257

Kamil, M. I. (2013). Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum. Universitas Diponegoro.

Pradana, A. M. (2015). Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi Dan Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak Yang Terlibat Dalam Prostitusi. Jurnal Hukum & Pembangunan, 45(2), 276.

Prasetyo, E. D. (2011). Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Money Laundering Dengan Menggunakan Sarana Bank (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 944 K/Pid/2006).

Prayitno, K. (2012). Restorative Justice Untuk Peradilan Di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis Dalam Penegakan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 407–420.

Probojati, B., Pandu, S., & Devbrina, P. (2022). Pengenalan Terhadap Bahaya Dan Dampak Pencucian Uang Serta Kontribusi Yang Bisa Diberikan Guna Mencegh Praktik Pencucian Uang Di Lingkungan Sekitar. Seminar Hasil Pengabdian Kepada Mayarakat, 165–169.

Purwati, A., & Alam, A. S. (2015). Diversi Sebagai Wujud Kebijakan Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. De Jure: Jurnal Hukum Dan Syar’iah, 7(2), 181–190.

Talaohu, A. R., Sopacua, M. G., & Leasa, E. Z. (2023). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif. Matakao Corruption Law Review, 1(1), 1–18. Https://Doi.Org/10.47268/Matakao.V1i1.9041