PENGATURAN TINDAK PIDANA PENIPUAN SECARA
ONLINE DENGAN MODUS KERJA PARUH WAKTU
Mahendra Nurrazaq1, Erny
Herlin Setyorini2
Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya, Indonesia
caknurrazaqwinarto2000@gmail.com1,
ernyherlin@untag-sby.ac.id2
Keywords |
Abstract |
Crime,
Online Fraud; Part-Time Work |
In the current
era of technological advancement, online fraud crimes are increasingly
becoming a serious threat to society. This research aims to provide an
overview of how the criminal act of online fraud with the mode of part-time
work according to positive law in Indonesia. This research uses a statutory
approach and conceptual approach with primary legal materials in the form of
laws and decisions and secondary law in the form of literature books. The
results of this study indicate that online fraud with part-time work mode is
a complex problem that often occurs in the digital era. Although the Criminal
Code (KUHP) is more directed towards conventional fraud, the Electronic
Information and Transaction Law (UU ITE) explains the elaboration of the
foundation of a more specific law related to fraud committed online. Article
28 paragraph (1) of the ITE Law is the relevant legal basis in dealing with
online fraud which refers to the dissemination of false and misleading news
that can cause harm to consumers in electronic transactions. |
Kata Kunci |
Abstrak |
Tindak
Pidana, Penipuan Online, Kerja Paruh Waktu |
Dalam
era kemajuan teknologi saat ini, kejahatan penipuan secara online semakin
menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk
memberikan ulasan tentang bagaimana tindak pidana penipuan secara online
dengan modus kerja paruh waktu menurut hukum positif di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan pendekatan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
konseptual dengan bahan hukum primer berupa undang-undang serta putusan dan
hukum sekunder berupa buku-buku kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Penipuan secara online dengan modus kerja paruh waktu merupakan
permasalahan kompleks yang sering terjadi di era digital. Meskipun Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lebih mengarah pada penipuan konvensional,
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjelaskan
penjabaran landasan dari hukum yang lebih spesifik terkait dengan penipuan
yang dilakukan secara online. Pasal 28 ayat (1) UU ITE menjadi dasar hukum
relevan dalam menangani penipuan online dengan modus kerja paruh waktu, yang
mengacu pada penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi konsumen dalam transaksi elektronik |
Corresponding
Author:Mahendra Nurrazaq
caknurrazaqwinarto2000@gmail.com
PENDAHULUAN
Dalam
era kemajuan teknologi saat ini, kejahatan penipuan secara online semakin
menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Fenomena ini menggambarkan paradoks di
mana kemajuan teknologi yang seharusnya membawa kemudahan dan manfaat bagi
kehidupan sehari-hari, tetapi dalam penerapanya disalahgunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab (Budiarti,
2017). Perbuatan ini dapat merugikan pihak lain karena
penipuan. Penipuan online dengan modus kerja paruh waktu telah menjadi masalah
yang meresahkan, memperlihatkan kompleksitas dalam penanganan dan penegakan
hukum di Indonesia (Dirman
& Cornelis, 2023).
Dunia
maya, atau internet, dapat memiliki kelebihan dan kekurangan. Secara positif,
teknologi memungkinkan komunikasi yang cepat dan akses informasi yang beragam,
sehingga internet dapat mendukung segala aktivitas seseorang (Hamzah,
2015). Remaja yang menggunakan internet hanya untuk
chatting di media sosial memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan layanan
ini, yang berdampak negatif pada penyebaran informasi yang menyesatkan (hoax)
dan informasi yang kurang tepat(Anugraha & Setyorini, 2022) Pelaku kejahatan semakin canggih
dalam merancang modus operandi mereka, termasuk dalam penipuan arisan online
atau investasi berlipat ganda seperti yang terjadi pada kasus yang disebutkan
sebelumnya. Dalam konteks ini, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan
KUHP merupakan bentuk dari landasan hukum yang dibentuk dalam melakukan
penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan secara konvensional maupun
melalui media teknologi informasi dan komunikasi.
Banyak
kasus penipuan online yang terjadi di Indonesia, sebagai contoh mantan model
berinisial RAK (24) didakwa menggunakan beberapa investasi dan arisan online
untuk menipu ratusan korban dalam sejumlah kasus penipuan online. Renny
menghilang setelah korban memberinya uang dalam jumlah besar. Tidak ada
interaksi langsung selama pertemuan dan investasi virtual ini. Melalui Grup
WhatsApp, korban dan pelaku berkomunikasi (WAG). Terakhir, RAK masih terlihat
di rumahnya di Persijam, Jambi Selatan. Para tetangga mengaku RAK sudah tidak
terlihat lagi sejak 19 Juli 2020. Dina Aulia, korban, telah melaporkan RAK ke
Polda Jambi dengan tuduhan melakukan penipuan dan melanggar Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Cara pelaku melakukannya melalui postingan
pengumuman Instagram tentang adanya arisan online. Semakin banyak orang yang
mendaftar, beragam investasi tersedia (Wahyudi
et al., 2022).
Berdasarkan
kasus-kasus diatas, tentu saja sangat merugikan para korban. Namun, penegakan
hukum terhadap penipuan online dengan modus kerja paruh waktu masih menghadapi
sejumlah kendala. Mulai dari kesulitan dalam membedakan iklan atau postingan
lowongan kerja yang asli dengan yang diduga sebagai penipuan, hingga
keterbatasan alat dan sarana untuk membuktikan dugaan tindak pidana. Selain
itu, kesulitan dalam mengetahui identitas pelaku dan lokasi dilakukannya tindak
pidana juga menjadi tantangan serius bagi aparat penegak hukum (Rahmanto
et al., 2019).
Meningkatnya
kesadaran akan perlunya menjamin kepastian hukum dan UU ITE yang juga dikenal
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Informasi Elektronik
dilandasi oleh upaya untuk memperkuat jaminan pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain. Hal ini dikarenakan penelitian mengenai korban
penipuan semakin banyak terjadi (Rizkinaswara,
2023). Dalam rangka penegakan hukum
terhadap tindak pidana penipuan, baik secara umum maupun melalui media
teknologi informasi dan komunikasi, maka disahkanlah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang sering disebut dengan KUHP dan UU
ITE. Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 KUHP No. 1 Tahun 2023 yang mengatur tentang
hukuman bagi tindak pidana penipuan juga masuk dalam UU ITE dan KUHP. Meski
begitu, masih banyak penipu yang memanfaatkan lowongan kerja lewat media
sosial. Selain itu, para penipu lowongan kerja juga mempunyai kemudahan dengan
tingginya tingkat pengangguran di Indonesia dan meningkatnya permintaan akan
lowongan pekerjaan. Sementara itu, masih sedikit kasus penipuan yang melibatkan
jabatan terbuka di bidang penegakan hukum yang sampai ke pengadilan.
Dalam
konteks tersebut, penelitian tentang tindak pidana penipuan secara online
dengan modus kerja paruh waktu menjadi relevan dan penting untuk dilakukan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam
tentang dinamika dan tantangan dalam penegakan hukum terhadap kejahatan semacam
ini. Dengan demikian, upaya penegakan hukum dapat ditingkatkan untuk melindungi
masyarakat dari ancaman penipuan online yang semakin kompleks dan merugikan.
Oleh karena hal-hal tersebut maka penulis bermaksud mengkaji penelitian untuk
memberikan penjelasan bagaimana tindak pidana penipuan secara online dengan
modus kerja paruh waktu menurut hukum positif di Indonesia.
METODE
PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pendekatan konseptual dan pendekatan
perundang-undangan. Metode legislatif meliputi penelaahan terhadap rasio
ontologis, filosofis, dan legislatif serta substansi peraturan perundang-undangan
yang relevan. Sementara itu, metode konseptual mengkaji teori-teori dan sudut
pandang yang muncul dalam bidang ilmu hukum, termasuk ide-ide yang ada dalam
undang-undang, peraturan, dan putusan pengadilan. Hasilnya, para sarjana dapat
memahami konsep-konsep inti dari ilmu hukum dan mengidentifikasi teori-teori
yang relevan dengan topik yang sedang diteliti.(Marzuki, 2017)
Data yang digunakan dalam
penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer dari bahan hukum primer berupa
putusan dan perundang-undangan. Kemudian, data sekunder dari studi kepustakaan berupa
buku-buku hukum, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal-jurnal hukum. Data yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari bahan
hukum primer yang mencakup putusan pengadilan dan perundang-undangan. Data
primer ini dikumpulkan melalui proses identifikasi dan penelaahan
dokumen-dokumen hukum yang relevan dengan topik penelitian. Proses ini
melibatkan pengumpulan dan analisis teks undang-undang, peraturan, serta
putusan pengadilan yang memiliki kaitan langsung dengan permasalahan hukum yang
dikaji (PANGGABEAN,
2022).
Selain itu,
data sekunder dikumpulkan dari studi kepustakaan yang mencakup berbagai sumber
literatur hukum seperti buku-buku hukum, skripsi, tesis, disertasi, dan
jurnal-jurnal hukum. Studi kepustakaan ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman
yang mendalam tentang teori-teori dan sudut pandang yang telah dikemukakan oleh
para ahli hukum sebelumnya. Proses pengumpulan data sekunder melibatkan
pencarian, pengumpulan, dan penelaahan literatur-literatur hukum yang telah
dipublikasikan, sehingga peneliti dapat memperoleh gambaran yang komprehensif
tentang konsep-konsep dan teori-teori yang mendasari bidang hukum yang diteliti
(Juliandi & Manurung, 2014).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Kejahatan dunia maya dapat
dilakukan dengan berbagai cara, dari yang sederhana hingga yang rumit. penipuan
yang mudah, seperti menyebarkan informasi yang menyesatkan atau menggunakan
internet untuk menyamar sebagai orang lain guna melakukan penipuan. Mengingat
hal ini, ketentuan penipuan dalam KUHP akan sulit untuk mengizinkan kegiatan
semacam itu. Awalnya, pelaku menggunakan sistem komputer untuk melakukan
penipuan. Kedua, sebagaimana telah disebutkan tentang pedoman langkah yang
diatur KUHP kepada individu, bukan sistem komputer, sehingga sulit untuk
memasukkan rangkaian tindakan pidana ke dalam kategori yang telah ditentukan(Maskun,
2022).
Hukum pidana teknologi informasi
juga dapat menjadi alat untuk mentransformasikan masyarakat menjadi lebih
tertib. Hal ini terjadi ketika anggota masyarakat memanfaatkan teknologi
informasi untuk melakukan kegiatan yang ada ketentuan pidananya (Ginting,
2008). Hukum pidana terkait
teknologi diatur oleh undang-undang yang tidak termasuk dalam KUHP; apabila
tidak ada ketentuan khusus maka pedoman umum penerapannya terdapat dalam Buku I
KUHP.
Tergantung pada industri tertentu
yang dikelolanya, terdapat berbagai hukum dan peraturan yang mengatur tentang
kejahatan siber yang bukan merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHP). Salah satu peraturan perundang-undangan tentang kejahatan
siber yang mengatur tentang kejahatan yang berhubungan dengan berbagai pasal
yang diatur dalam KUHP dengan tujuan untuk memudahkan penyelesaiannya adalah UU
No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Peraturan perundang-undangan yang mengantisipasi
isu-isu seperti dampak buruk dari kemajuan teknologi informasi yang berdampak
luas bagi masyarakat dan akomodatif terhadap perkembangan diharapkan dapat
berperan signifikan sebagai iusticulendum dalam rangka memenuhi tuntutan dan
mengatasi tantangan perkembangan komunikasi global (Nababan,
2023).
Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, undang-undang siber pertama di Indonesia, memberikan
landasan hukum bagi masyarakat umum untuk melakukan transaksi online. Secara
khusus, dokumen elektronik, informasi elektronik, data elektronik, dan sistem
elektronik yang tidak dapat diakses oleh masyarakat umum dan dilindungi, serta
kepentingan lain yang sah menurut hukum seperti uang, kehormatan, kesusilaan,
dan negara, serta milik pribadi dan negara. UU ITE dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang kejahatan siber menyiratkan
adanya keamanan dan hal-hal lain yang dapat menjadi sasaran atau objek
kejahatan siber.(Suseno,
2012)
Cybercrime merupakan salah satu jenis kegiatan kriminal yang
memanfaatkan kemajuan teknologi komputer, khususnya internet. Realitas virtual,
yang dimungkinkan oleh internet, memberi orang akses ke dunia yang penuh
kemudahan dan peluang (BENI
SETIAWAN, 2019). Dengan kata lain,
tindakan ilegal yang melibatkan komputer atau jaringan komputer disebut sebagai
kejahatan dunia maya. Karena perkembangan dunia maya, ada masalah yang muncul
berupa kejahatan yang dikenal dengan istilah cybercrime. Kejahatan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai alat atau sebagai sasaran melalui
jaringan komputer. menjadi sasaran, alat, atau tempat kejadian dalam suatu
kasus.(Arief,
2006)
Kejahatan dunia maya (cybercrime) adalah tindakan kriminal
berskala global yang sering dilakukan secara transnasional dalam melintasi
batas negara, sehingga tindakan ini sulit untuk menentukan yurisdiksi hukum
negara yang menjadi tempat pelaku kejahatan. Beberapa negara telah mengkodifikasikan
pelanggaran-pelanggaran ini ke dalam undang-undang nasional mereka
masing-masing, baik dengan menambahkan undang-undang baru di luar kodifikasi
hukum pidana atau dengan mengubah undang-undang yang sudah ada dan kemudian
memasukkannya ke dalam undang-undang tersebut (Rafiie,
2018). Seiring dengan
berkembangnya kejahatan dunia maya, jenis kejahatan yang terlibat di dalamnya
pun semakin meningkat, termasuk pembajakan. , penipuan, pencurian, pornografi,
pelecehan, fitnah, dan pemalsuan.(Maskun,
2022)
Penipuan berbasis transaksi
elektronik sebelumnya disebut-sebut sebagai salah satu bentuk kejahatan cybercrime. Maraknya penipuan berbasis
transaksi elektronik disebabkan oleh keinginan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya secara cepat, murah, dan mudah. Ada banyak cara untuk melakukan
penipuan ini, dari yang mudah hingga yang sulit. Meskipun bersifat virtual,
aktivitas dunia maya termasuk dalam kategori hukum yang sama dengan tindakan
hukum sebenarnya. Penipuan ini merupakan contoh kejahatan dunia maya yang
mengeksploitasi pola penggunaan internet dan kelemahan keamanan.
Dalam kajian penyalahgunaan
teknologi informasi, penipuan terkait komputer termasuk dalam kelompok
kejahatan Konten Ilegal, yang mencakup tindak pidana penipuan berdasarkan
transaksi elektronik. Konten ilegal didefinisikan sebagai data atau informasi
yang dimasukkan ke dalam media sosial atau internet secara tidak benar, tidak
bermoral, dan dapat melanggar hukum. Penipuan yang berhubungan dengan komputer
didefinisikan sebagai penipuan atau skema penipuan yang dimaksudkan untuk
merugikan atau menguntungkan diri sendiri.(Suseno,
2012)
Menurut Bruce D. Mandelblit,
penipuan yang dilakukan pada Platform online seperti papan pesan, ruang
obrolan, email, dan situs web digunakan oleh para pelaku penipuan berbasis
internet berbasis transaksi dengan menggunakan lembaga keuangan seperti bank dan
lembaga lain yang memiliki hubungan khusus dengan penipu. Sehingga tindakan ini
dapat memberikan kemudahan bagi penipu. Menurut Bruce, penipuan berbasis
transaksi elektronik didefinisikan sebagai penipuan dengan layanan internet
atau berbasis perangkat lunak yang dapat diaskes secara luas diinternet untuk
mengelabui korban agar dapat dieksploitasi.(Maskun,
2022)
Pasal 378 KUHP yang menjadi
landasan hukum pidana Indonesia melarang
terjadinya tindak pidana penipuan, yang menyatakan bahwa
"Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu (hoedaningheid),
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun." Kemudian di dalam
Pasal 492 KUHP Undang-Undang No.1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang Hukum Pidana
berbunyi : Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu,
menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya
menyerahkan suatu Barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau
menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Rumusan Pasal 378 KUHP mengandung
aspek-aspek yang bersifat obyektif, seperti: (a) mengorganisir orang;
(a) membalikkan keadaan suatu
barang;
(b) mengadakan perjanjian utang;
(c) menghapuskan piutang; dan
(d) memakai tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, ataupun rangkaian kebohongan dengan memakai nama palsu
atau keadaan palsu:
(a) melanggar hukum; dan
(b) ingin menolong orang lain
atau diri sendiri..
Penipuan konvensional atau
penipuan yang diterapkan pada segala sesuatu yang dilakukan secara real atau
nyata merupakan salah satu aspek penipuan yang diatur dalam pasal 378 KUHP.
Penggunaan pasal ini dilakukan untuk menangkap tindak pidana penipuan berdasarkan
transaksi elektronik penipuan pasa dunia maya dengan menggunakan media
elektronik sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana yang dapat merugikan
pihak lainnya.
Di sisi lain, para pihak yang bertransaksi
tidak harus bertemu secara fisik di dunia maya. Masing-masing pihak dapat
memperkenalkan diri atas nama pihak lain dalam suatu transaksi elektronik.
Faktor-faktor ini memfasilitasi penawaran barang dan informasi oleh pelaku
melalui internet, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan keadaan sebenarnya.
Pelanggan mungkin disesatkan oleh materi ini dan menderita kerugian sebagai
akibatnya. Hal ini menjadi landasan aturan yang tertuang dalam Pasal 28 ayat
(1) UU ITE yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang dengan sengaja dan
tanpa izin menyebarkan informasi yang tidak benar dan menyesatkan menimbulkan
kerugian bagi konsumen dalam transaksi elektronik.(Mediatama,
2009)
Selain itu, Pasal 45 ayat (2) UU
ITE yang menyatakan, “Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun. tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)," mengatur ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal
28 ayat (1).(Mediatama,
2009)
Penipuan kerja paruh waktu di
internet memenuhi syarat komponen objektif dan subjektif yang terkandung dalam
Pasal 378 KUHP. Cara pelaku menggerakkan korban, dalam hal ini dengan cara
mempengaruhi atau menggunakan pengaruh, agar korban mau menyerahkan sesuatu
(dalam hal ini uang) merupakan tujuan Pasal 378 KUHP dalam cara tersebut
komponen sistem ditunjukkan dengan jelas. Hal ini sering kali menjadi jebakan
bagi pelaku penipuan. Pelaku mengaku sebagai bagian penting dari perusahaan dan
berhak atas hak-hak tertentu dengan menggunakan gelar atau karakter yang salah.
Namun demikian, alasan pelaku untuk menguntungkan diri sendiri-yaitu, alasan
pelaku untuk menggerakkan korban untuk menukarkan sejumlah uang tunai dalam
perbuatan melawan hukum-menjadikan komponen subyektif dari Pasal 378 KUHP
menjadi jelas. Tentu saja, dalam kasus ini, pelaku sadar bahwa bergerak untuk
mendapatkan keuntungan dari tipu muslihat adalah melanggar hukum, yang berarti
melawan hukum dan bukan sesuatu yang dihargai oleh masyarakat. Kesadaran ini
memang ada beberapa saat setelah tindakan pemindahan dilakukan atau dimulai.
Oleh karena itu, Pasal 378 KUHP
yang mengatur tindak pidana penipuan dapat diterapkan pada tindakan penipuan
dengan memberikan pekerjaan melalui email karena terdapat komponen-komponen
yang memenuhi syarat obyektif dan subyektif yang tercantum dalam Pasal 378
KUHP. Karena perbuatan curang berupa penawaran pekerjaan melalui email
merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer,
jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya, maka hal tersebut juga
dapat diterapkan pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
Tindak pidana penipuan secara online dengan modus
kerja paruh waktu memiliki implikasi yang kompleks dalam ranah hukum di
Indonesia. Pertama-tama, penting untuk diingat bahwa perkembangan teknologi
informasi telah menghadirkan tantangan baru dalam penegakan hukum, terutama
dalam hal pengaturan tindak pidana yang terjadi di dunia maya atau cyberspace.
Pasal 378 KUHP mengacu pada penipuan konvensional yang
umumnya terjadi dalam dunia nyata, sedangkan kejahatan online sering kali
melibatkan cara-cara yang lebih kompleks dan menggunakan teknologi sebagai
sarana utama pelaksanaannya. Namun demikian, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memberikan landasan hukum yang lebih
spesifik terkait dengan penyalahgunaan teknologi informasi, termasuk penipuan
yang dilakukan secara online. Pasal 28 ayat (1) UU ITE menjelaskan tentang
penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
konsumen dalam transaksi elektronik. Sementara itu, Pasal 45 ayat (2) UU ITE
memberikan sanksi pidana terhadap pelanggaran tersebut.
Penipuan konvensional dan
penipuan berbasis transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Meskipun UU ITE tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan,
namun Pasal 28 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa "Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik" dan memuat
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kerugian yang berkaitan dengan
kerugian korban dalam transaksi elektronik. Dengan beberapa pengecualian,
komponen tindak pidana penipuan tradisional yang tercantum dalam pasal 378 KUHP
sama dengan yang tercantum dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE. pengakuan alat bukti
dalam UU ITE, perluasan alat bukti, kewenangan, dan penggunaan media
elektronik.(Suseno,
2012)
Faktor-faktor yang mengatur perbuatan yang dikaitkan
dengan pasal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara Pasal 28 ayat (1) UU ITE
dengan Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 KUHP Undang-Undang No.1 Tahun 2023.
Pasal 28 ayat (1) UU ITE memuat unsur berikut:
a)
Unsur obyektif:
Penyebaran
informasi palsu dan menyesatkan adalah langkah pertama; kerugian pelanggan
dalam transaksi elektronik adalah akibat dari tindakan tersebut. Penyebaran
informasi palsu dan menyesatkan adalah yang kedua.
b)
Unsur subyektif:
1) Faktor kesalahan, yaitu kesengajaan menyebarkan
informasi yang tidak benar dan menyesatkan sehingga menimbulkan kerugian bagi
nasabah dalam transaksi elektronik;
2) Tanpa hak dan melawan hokum
Pasal 28 ayat (1) UU ITE dirumuskan untuk melindungi kepentingan dan hak konsumen. Perbedaan
utama antara pengertian penipuan dalam KUHP dengan pasal 28 ayat (1) UU ITE
adalah bahwa pengertian “menguntungkan diri sendiri” dalam pasal tersebut sudah
tidak terdapat
dalam pasal tersebut. Hal ini mempunyai
dampak hukum yaitu tetap mempertahankan unsur pidana perbuatannya dengan
ketentuan UU ITE, terlepas apakah pelaku mendapatkan keuntungan atau tidak.
Perilaku ini terbukti merugikan orang lain.
Seperti diketahui, unsur Pasal
378 dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur hal yang berbeda. Penipuan diatur
dalam Pasal 378 KUHP, dan berita palsu yang merugikan nasabah saat bertransaksi
online diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Meskipun demikian, terdapat
kesamaan antara kedua aktivitas ilegal ini: keduanya berpotensi menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya ayat (1), mengatur tentang penyebaran
informasi yang tidak akurat dan menipu yang dapat menyebabkan konsumen
mengalami kerugian saat melakukan transaksi elektronik. Dasar hukum yang mendasar
untuk penipuan online yang melibatkan pekerjaan paruh waktu ditemukan dalam
Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
Penipuan secara online dengan
modus pemberian pekerjaan paruh waktu sering kali melibatkan penyebaran
informasi palsu atau menyesatkan melalui internet, misalnya melalui email,
situs web, atau media sosial. Para pelaku menggunakan teknik tipu daya untuk menarik
perhatian korban, yang kemudian diarahkan untuk melakukan tindakan tertentu
yang dapat mengakibatkan kerugian bagi mereka. Dalam hal ini, Pasal 28 ayat (1) UU ITE memberikan
landasan hukum untuk menuntut mereka yang melakukan penipuan online saat bekerja
paruh waktu. Menurut pasal ini, dapat dikenakan pidana bagi siapa saja yang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang tidak benar dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Dengan demikian, dengan modus
kerja paruh waktu, Pasal 28 ayat (1) UU ITE menawarkan kerangka hukum yang
krusial dalam penegakan hukum di Indonesia terhadap penipuan online. Hal ini
merupakan cerminan dari upaya yang dilakukan oleh pembuat undang-undang untuk
menangani isu-isu yang muncul di ranah digital dan melindungi masyarakat dari
kejahatan yang dilakukan secara online.
KESIMPULAN
Penipuan
secara online dengan modus kerja paruh waktu merupakan permasalahan kompleks
yang sering terjadi di era digital. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) lebih mengarah pada penipuan konvensional, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan landasan hukum yang lebih spesifik
terkait dengan penipuan yang dilakukan secara online. Pasal 28 ayat (1) UU ITE
menjadi dasar hukum yang relevan dalam menangani penipuan online dengan modus
kerja paruh waktu, yang mengacu pada penyebaran berita hoax dan menyesatkan yang
dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen dalam transaksi elektronik. Hal ini
mencerminkan upaya untuk melindungi warga negara dari kejahatan digital dan
memberikan kerangka hukum bagi Indonesia untuk penegakan hukum terhadap pelaku
penipuan online.
Dengan
demikian, pelaku penipuan online dengan modus kerja paruh waktu dapat dijerat
dengan ketentuan Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE, yang bertujuan
melindungi konsumen dari kerugian akibat penipuan digital dan memberikan
kerangka hukum untuk penegakan hukum terhadap pelaku penipuan online
BIBLIOGRAFI
Anugraha, M. H., & Setyorini, E. H. (2022). Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Cyberbullying. Seminar
Nasional-Hukum Dan Pancasila, 1, 34–46.
Arief, B. N. (2006). Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan
Kajian Cyber Crime Di Indonesia.
Beni Setiawan, B. S. (2019). Penegakan Hukum Pidana
Terhadap Akses Sistem Komputer Secara Ilegal (Hacking) Dan Menimbulkan
Kerusakan (Cracking) Dalam Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) Menurut Perspektif
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Universitas
Batanghari.
Budiarti, L. (2017). Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Penipuan Jual Beli Online Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Dirman, M., & Cornelis, V. I. (2023). Tinjauan Yuridis
Terhadap Putusan Tindak Pidana Penipuan Online Terhadap Lowongan Kerja: Studi
Kasus No. Perkara 1470/Pid. B/2022/Pn Sby. Bureaucracy Journal: Indonesia
Journal Of Law And Social-Political Governance, 3(3), 2650–2666.
Ginting, P. (2008). Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana
Teknologi Informasi Melalui Hukum Pidana. Program Sarjana Universitas
Diponegoro.
Hamzah, R. E. (2015). Penggunaan Media Sosial Di Kampus Dalam
Mendukung Pembelajaran Pendidikan. Wacana: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi,
14(1), 45–70.
Juliandi, A., & Manurung, S. (2014). Metodologi
Penelitian Bisnis, Konsep Dan Aplikasi: Sukses Menulis Skripsi & Tesis
Mandiri. Umsu Press.
Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi.
Prenada Media.
Maskun, S. H. (2022). Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu
Pengantar. Prenada Media.
Mediatama, G. (2009). Undang-Undang Internet Dan Transaksi
Elektronik. Jakarta: Transmedia Pustaka.
Nababan, D. (2023). Pengaturan Kegagalan Perlindungan Data
Pribadi Terhadap Penyalahgunaan Data Pribadi Pada Tindak Pidana Dunia Maya.
Hukum Pidana.
Panggabean, C. D. C. (2022). Analisis Yuridis Peranan
Penyidik Terhadap Tindak Pidana Penipuan Pembiayaan Pekerjaan Proyek
Pembangunan Drainase Ditinjau Dari Kuhap (Studi Putusan Nomor 1193/Pid.
B/2020/Pn. Kisaran). Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara.
Rafiie, M. (2018). Kejahatan Carding Dalam Perspektif
Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Ite) Di Negara Republik
Indonesia. Justicia Journal, 7(1), 60–73.
Rahmanto, T. Y., Kav, J., & Kuningan, J. S. (2019).
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik. Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, 19(1), 31.
Rizkinaswara, L. (2023). Perubahan Kedua Atas Uu Ite Wujudkan
Kepastian Hukum Ruang Digital. Kominfo.
Suseno, S. (2012). Yurisdiksi Tindak Pidana Siber.
Refika Aditama.
Wahyudi, D., Samosir, H. S., & Devi, R. S. (2022). Akibat
Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana Penipuan Online Melalui Modus Arisan Online Di
Media Sosial Elektronik. Jurnal Rectum: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak
Pidana, 4(2), 326–336.